Senin, 17 Mei 2010

Kapan, aku di Jemput Pulang?

Dalam sebuah pelatihan SSQ di Bandung, KH. Fahmi Basya memberikan sebuah pertanyaan singkat kepada para peserta “Jika anda diberi kesempatan, kira-kira berapa lama lagi anda ingin hidup di dunia ini?” Sebuah pertanyaan yang sederhana tapi cukup membingungkan untuk dijawab.

Hmm, berapa ya? Kalau sekarang, suami dan anak-anak masih membutuhkan saya. Tapi kalau nanti, pasti teman-teman saya sudah lebih dulu pergi...,” kilah seorang ibu sambil menghtung jari jemarinya yang sudah tak lentik.

Dan tentunya jawaban dari para peserta lainnya cukup beragam. Ada yang menjawab 10, 20 dan bahkan ada yang menyebut 100 tahun lagi seperti kata Chairil Anwar, seorang Pujangga. Nah, seandainya memang Allah mengabulkan keinginan tersebut, apa yang akan dilakukan? Apakah dapat menjamin kebahagiaa seseorang? Jawabnya belum tentu.

Sebuah fakta menyebutkan, pada tahun 2005 ada seorang wanita yang merayakan Ulang Tahunnya yang ke-135. Hampir semua orang turut berbahagia dan berdecak kagum padanya. Mereka bertanya, apa resep yang digunakan nenek itu hingga dirinya mampu mempertahankan stamina dalam usia selanjut itu?

Namun apakah benar nenek itu memang sedang berbahagia? Ternyata tidak. Biarpun Allah telah memberikan semua kelebihan itu, tapi dirinya tidak pernah merasa bahagia apalagi sampai menikmati semua itu. Kenapa? Karena tidak satu pun orang yang dikenalnya ada disisinya. Suami, sudah lama meninggal. Anak-anak, sudah lebih dulu meninggal. Teman-temannya, apalagi. Jadi untuk apa memiliki umur yang panjang apabila tidak barokah dan hanya menambah dosa saja?

Allah menciptakan kamu kemudian mewafatkan kamu dan diantara kamu ada yang dikembalkan kepada umur yang paling lemah (pikun) supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Q.S A-Nahl, 16: ayat 70)

Kisah tersebut mengingatkan saya pada salah seorang kenalan. Dia adalah seorang nenek yang memiliki enam orang putera dengan cucu dan cicit yang tidak terhitung jumlahnya. Dia mengaku pernah mengalami pahit getirnya hidup pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Selepas masa kemerdekaan dan dalam keadaan serba kekurangan, bersama almarhum suaminya mereka berusaha membesarkan dan mendidik semua puteranya.

Saat ini mungkin ia bisa bernafas lega karena semua anaknya telah dewasa dan masing-masing sudah membentuk keluarga yang mapan. Banyak orang yang memuji akan keberhasilannya. Tapi dirinya tidak bahagia. Dia masih merasa tidak nyaman dengan kehidupannya. Kenapa? Karena tidak ada satu pun dari anak cucunya yang peduli dengan kehadirannya. Keberadaanya sudah dianggap tiada, apalagi kalau sudah benar-benar tiada

Mungkin juga, sebagian dari mereka ada yang berharap agar nenek itu segera meninggal dunia dan harta warisnya yang tersebar dimana-mana akan segera dibagikan pada anak cucunya. Tapi Allah berkehendak lain, dari tahun ke tahun, dari masa ke masa, kondisi nenek itu tetap sehat, paling hanya sedikit masuk angin atau flu biasa. Padahal orang-orang yang sebaya dengannya telah lama meninggalkannya, termasuk juga suaminya. Dan bahkan orang-orang yang usianya jauh dibawahnya juga telah lebih dulu meninggalkannya.

Apalah artinya hidup lebih lama apabila keberadaannya sudah tidak diterima lagi oleh orang-orang yang ada disisinya? Itu semua sungguh merupakan penderitaan yang luar biasa. Semua hal yang ia kumpulkan selama puluhan tahun ternyata tidak bisa membantunya, walau hanya ditukar dengan sebuah senyuman bahagia. Semua kenikmatan itu sudah tidak berguna lagi di dunia ini, apalagi diakhirat nanti?

Kini, nenek itu hanya bisa diam sambil duduk terpaku menatap langit, bathinnya terus bergelut dengan sebuah tanya “kapan aku dijemput pulang?

v

Malam Ahad, 18 Rabiul Akhir 1429 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar