Selasa, 18 Mei 2010

Hanya kepada Allah lah, sebaik-baiknya tempat kembali

Saat ini aku benar-benar sedih. Tiba-tiba saja seorang sahabat yang amat kusayangi pergi meningggalkanku tanpa alasan yang pasti. Seandainya memang dia harus pindah ke tempat lain atau mungkin lebih dulu berpulang kepada-Nya, tentu masih bisa aku terima. Tapi disaat dia masih berada disisi namun sikapnya benar-benar berubah, seolah tak pernah mengenaliku. Sungguh, semua ini membuatku tersiksa.

Memang aku hanya seorang manusia yang tak pernah luput dari salah dan khilaf. Dan aku tak pernah menyadari apa salahku padanya. Seandainya dia mau mengatakan, tentunya aku akan merusaha memperbaiki kesalahan ini di kemudian hari. Namun kata itu pun tak pernah terucap.

Sejak dulu, aku selalu berprinsip kalau ‘Persahabatan itu nilainya lebih tinggi daripada cinta’. Benarkah begitu? Ataukah prinsip hidup seperti ini yang salah? Apa mungkin diriku terlalu egois untuk melihat cinta yang ada dihadapan mata demi mempertahankan sebuah persahabatan? sehingga sampai saat ini sudah ketiga kalinya aku gagal mempertahankan keduanya.

Peristiwa seperti ini memang sudah berulang kali terjadi. Namun tetap saja semua itu membuatku merana dan sangat tersiksa hingga kenangan pahit yang sudah ditutup rapat dalam relung hati itu kembali menyeruak dan tak dapat terbendung lagi.

Ø Kisah 1

Entah dari mana awalnya hingga kami menjadi dekat setelah memasuki kelas yang sama di tingkat akhir SMP. Aku benar-benar menaruh kepercayaan besar kepadanya.

Dan aku merasa menjadi orang yang sangat beruntung. Bagaimana tidak, aku bisa mendapatkan seorang sahabat yang cantik, pintar, pengertian dan ilmu agamanya jauh lebih dari cukup. Tidak sia-sia ayahnya yang seorang ustadz menggemblengnya siang dan malam.

Selama satu tahun berjalan kami menjalani persahabatan ini dengan indah. Secara kebetulan kami juga melanjutkan ke sekolah yang sama. Tapi ternyata aku terlalu pongah dan lupa diri dan melupakan keberadaan Allah hingga Allah menegurku.

Pada saat itu kami masih sama-sama duduk di kelas satu sekolah lanjutan atas, dimana setiap siswa diwajibkan untuk mengikuti acara ‘mentoring dhuha’. Saat itu dirinya berbisik kepadaku kira-kira seperti ini:

“Aku mau pamit, sepertinya aku mau pindah ke pesantren untuk mendalami ilmu agama.”

“Lalu aku bagaimana? Cuma kamu satu-satunya orang yang selama ini aku percaya…,”

“Kan masih ada Aming, Indah…juga teman-teman lain. sahabatmu masih banyak selain aku. Tanpa aku, hidupmu masih penuh warna.” Kilahnya.

“Hhh, kenapa semua orang menghalangi niat baikku ini!” keluhnya lagi

Akhirnya aku mengalah “Ya pergilah kalau menurutmu ini adalah keputusan terbaik, aku tidak akan menghalangimu. Aku hanya ingin menjadi sahabat terbaikmu,”

Selang beberapa minggu kemudian, dia memang tidak jadi pindah tapi entah angin apa gerangan yang membuat dirinya berubah. Tiba-tiba saja dia menjauhiku. Seandainya kami berpapasan pun dia berlaku seolah tak mengenaliku. Ya Allah apa yang salah dengan diriku, kenapa dia sampai begitu membenci aku? Itulah terakhir kalinya aku bertemu dengannya.

Perubahan sikapnya ini benar-benar membuatku terpukul. Perangaiku yang ceria secepat kilat berubah menjadi seorang yang pemurung, pendiam dan juga penyendiri. Dan sampai saat ini kebiasaan buruk itu masih melekat dan sulit untuk dihilangkan. Aku butuh waktu yang tidak sebentar untuk memulihkan suasana hati. Tapi semenjak itu aku tak pernah lagi bisa mempercayai seseorang…

juni 1995

Ø Kisah 2

Dia adalah teman masa kecilku. Sejak dulu kami tumbuh bersama. Suatu saat nanti, aku ingin datang menghadiri pernikahannya untuk melihat dia tersenyum bahagia bersanding dengan belahan jiwanya di Pelaminan. Aku ingin ikut merasakan kebahagian pada saat yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Bukankah seorang sahabat akan selalu mendampingi dalam suka maupun duka?

Selang beberapa tahun kemudian setelah lulus sekolah, kami memang jarang sekali berjumpa. Mungkin karena kesibukan masing-masing. Hingga tiba pada suatu senja:

ayah menyapaku “Kenapa tak pergi ke rumah Dewi?

“Tidak. Memangnya ada apa?” tanyaku heran

“Lho, memangnya kamu belum tahu, dia akan menikah besok. Masa kamu tidak tahu.”

Aku hanya menggelengkan kepala mengiyakan ketidaktahuanku. Ah, mungkin dia lupa!

Kabar tersebut membuatku terus berharap agar selembar undangan itu akan segera muncul di depan pintu. Semalaman aku terus menunggu namun sampai keesokan harinya, memang tak ada selembar undangan pun yang melayang di hadapanku mengenai pernikahan itu.

Hati ini terus bertanya, kenapa bisa-bisanya seorang ‘aku’ bisa luput dari pikirannya. Padahal dulu, aku selalu berada disampingnya. Lupa? Ah, sebuah tanggapan klise yang sederhana. Tapi apakah tidak ada seorang pun disekitarnya yang mengingatkan hal ini. Bukankah selama ini, aku cukup dikenal baik oleh keluarganya.

Sampai sekarang, aku masih ingat betul peristiwa malam itu. Bagaimana tidak, toh hari itu sebenarnya adalah hari Ulang Tahunku. Disaat seharusnya aku berucap syukur karena Allah masih mempercayaiku untuk hidup di dunia ini tapi semua karunia itu harus aku bayar dengan kehilangan seorang sahabat kembali.

Di hari yang paling membahagiakan, aku malah berurai air mata. Lagi-lagi kecewa, dilupakan oleh sahabatku sendiri begitu saja. Mungkin memang begitu adanya, aku sudah tidak memiliki arti apa-apa lagi baginya. Masih lekat dalam ingatan, ditemani heningnya malam, untuk pertama kalinya aku menulis sebuah puisi, suatu hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya.

Seharusnya, ada derai tawa malam ini

Duduk melingkar bersamanya

Dalam hamparan karpet lusuh

Ditemani beberapa stoples kue

malam ini

Tawa itu telah berajak pergi

Meninggalkanku seorang diri.

Kenapa, kenapa harus malam ini

Kau torehkan luka dihati

Rasanya aku tak sanggup lagi

Jalani hidup ini seorang diri.

Tapi, putus asa itu sia-sia semata

Karena dunia takkan pernah mau peduli

Dia akan terus bergulir

Dan sang waktu akan terus berjalan

Walau aku terus menangis

hingga airmata ini mengering

takkan pernah membuat dirinya kembali

Maret 2002

Ø Kisah 3

Setiap orang yang pernah kita temui meninggalkan kesan berbeda dihati. Ada yang mengesankan, ada yang menyebalkan dan ada pula yang biasa-bisa saja. Ketika aku bertemu dengan dirinya di suatu tempat, aku sudah merasa cocok dengannya, entah mengapa. Padahal saat itu, baru pertama kalinya kami bertemu.

Dia itu baik, polos, ramah juga lucu. Ada saja ulah yang dibuatnya hingga membuatku tersenyum. Walaupun terkadang aku ikutan jengkel akan sikap polosnya itu yang tak pernah peduli, kalau ucapannya itu akan menyinggung perasaan orang lain.

Ya, tapi mau bagaimana lagi karena sifat dia memang seperti itu. Toh, setiap orang pasti memiliki kelemahan dan itulah kelemahan dia. Tapi ada satu hal yang membuatku benar-benar salut padanya yaitu tentang pandangan hidupnya yang sederhana. Pola pikirnya yang terlampau sederhana itulah yang bisa membuat dirinya selalu bisa mengatasi masalah, tanpa ada masalah. Selama aku mengenal dirinya, aku tak sekalipun melihat dirinya bersedih.

“Sudahlah. Hidup ini memang rumit, jadi jangan kau buat lebih rumit lagi. Nanti akan jadi benar-benar rumit! Nikmati saja apa adanya!” sarannya suatu waktu.

Aku begitu bahagia mendapatkan seorang sahabat seperti dirinya. Jiwaku terlena, bahwa sebenarnya dia tak kan pernah ada di sampingku selamanya. Hingga suatu hari di bulan Ramadhan, dirinya berpamitan akan pindah ke tempat yang sangat jauh.

Mengabdikan ilmu yang dimilikinya di sebuah tempat yang sangat terpencil di ujung timur pulau ini. Kabar yang begitu mendadak ini, benar-benar membuatku schok. Sungguh, aku belum siap menerima kepergiannya. Setiap malam aku selalu berharap agar dia membatalkan niatnya itu. Semoga ada hal lain yang mengalanginya untuk pergi.

Benar saja, Allah mengabulkan doa ini. Dia memang tak jadi pergi. Rencana keberangkatannya yang telah disusun begitu sempurna, gagal begitu saja tanpa alasan pasti. Ada hal lain yang menahannya di kota ini, tapi jelaslah bukan diri ini. Dia telah temukan hal lain yang lebih berharga selain aku.

Buktinya, seperti dalam kisah sebelumnya. Disaat pamit itu telah terucap, dalam kisaran putaran waktu yang sama, aku menemukan dirinya sebagai sosok lain. Sebuah sosok yang tak pernah aku kenal sama sekali. Dia benar-benar berubah menjadi orang lain. Andai, saat ini aku bertemu dengannya lagi, hati ini menjerit kesakitan. Tak sanggup rasanya mengingat semua kenangan bersamanya. Mungkin ada baiknya kalau aku tak pernah bertemu dengannya lagi, biarlah semua yang telah terjadi akan kusimpan dalam hati.

Sedangkan disaat yang sama, aku malah kehilangan orang lain. Orang yang selama ini tak pernah aku perdulikan keberadaannya. Akhirnya, orang itu pergi mengejar mimpinya. Mungkin, aku terlalu picik memandang kehidupan ini. Begitulah, aku telah salah memilih.

Maret 08

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Selama ini, aku terlalu lupa diri dan Allah telah menegurku dengan mengambil mereka kembali. Aku memang sedih harus kehilangan mereka semua. Tapi itu adalah balasan setimpal dari semua perbuatanku.

Aku sering melupakan Allah dalam hari-hariku, aku hanya mengingatnya saat shalat, itu pun hanya sebagai ibadah harian untuk menggugurkan sebuah kewajiban saja. Selama ini aku terlalu lalai, lebih mementingkan manusa daripada pencipta-Nya

Padahal Allah Maha Pencemburu. Dia tidak ingin aku menduakan cinta-Nya yang begitu sempurna. Dan memang benar adanya, tanpa mereka semua ada disisiku. Kini aku kembali, mengharapkan cinta-Nya. Semoga, aku akan selalu menyimpan cinta-Nya ini dalam setiap langkah kehidupanku. Karena hanya kepada Allah lah sebaik-baiknya tempat kembali.

v

Juni 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar