Minggu, 02 Oktober 2016

Urusan Hate Moal Pahili

Ini adalah kisah sederhana, yang sayang untuk dilewatkan. Hanya ada satu, diantara sekian ribu. Tentang seseorang yang memperjuangkan cintanya..
Di suatu siang selepas lebaran, ada seorang wanita paruh baya datang bertamu ke rumahku. Rasanya, baru kali ini aku melihatnya. Aku tidak mengenalnya, lalu siapa dia sebenarnya? Untunglah kakak perempuanku mengenalnya.

Ternyata, dia adalah seseorang yang telah dikenal keluarga kami, puluhan tahun silam. Aku belum lahir, saat dia sering datang berkunjung ke rumah kami. Ooh, pantas saja aku tidak mengenalnya, hhee.. Lalu, apa tujuannya datang kemari?

Rupanya, tujuannya masih tetap sama seperti puluhan tahun silam. Ingin menemui cinta pertamanya, yang tak lain adalah saudara sepupuku, seorang kakek dengan lima orang anak dan empat cucu. Dulunya, dia memang tinggal disebelah rumah kami. Tapi sekarang, saudara sepupuku sudah tinggal di tempat lain.

"Syukurlah, kalau masih ada di kota ini. Mmm, boleh minta alamatnya yg sekarang?" pintanya.
"Siapa tahu ada waktu dan bisa mampir kesana," lanjutnya lagi.
Sementara aku dan kakakku saling berpandangan heran. Apalagi yang akan dilakukannya sekarang? Mungkinkah dia berani datang ke rumah saudara sepupuku itu? Kami hanya bisa menduga-duga.
"Kalau alamat lengkapnya, kami tidak begitu tahu. Tapi rumahnya, berada tepat di depan sebuah SMK favorit di kota ini," ujar kakak perempuanku mencoba menengahi.

Beberapa menit kemudian, keduanya sudah mengobrol dengan akrab. Dari obrolan mereka, tampak sekali dia berusaha mencari-cari informasi tentang cinta pertamanya itu sedetil mungkin. Karena tidak begitu paham dengan obrolan keduanya, aku lebih tertarik menonton info mudik yang ada di televisi.

Sungguh, aku salut dengan perjuangannya. Tapi jodoh itu ditangan Allah, sekuat apapun manusia berusaha, tetap saja Allah yang menentukan hasilnya. Yaa... seperti kisah wanita paruh baya tadi, dia berusaha mempertahankan cintanya hingga usia senja. Sekalipun dirinya harus menikah dengan orang lain dan kandas. Sementara saudara sepupuku juga sudah menikah dengan orang lain. Bahkan mungkin telah menemukan cinta yang lain.

Aku tidak habis pikir sekuat apa cinta mereka di masa lalu. Tapi rasanya, kondisi tersebut jarang sekali terjadi. Lazimnya dalam masyarakat kita, bila orang yang kita cintai telah menikah dengan orang lain, ya sudah habis perkara. Tapi ini, sungguh dluar nalar manusia. Benar-benar cinta sejati, yang akan dibawa hingga mati.

Selepas dia pamit pulang, aku jadi merenung. Ternyata, cinta sejati itu tetap ada hingga usia senja bahkan di jaman serba canggih seperti saat ini. Lalu, dimana cinta sejatiku? Aku hanya tersenyum, terkenang masa lalu. Siapa cinta pertamaku dan siapa pula cinta sejatiku? Apakah itu orang yang sama ataukah orang yang berbeda. Hatiku pasti tahu, hal yang sebenarnya. Aku yakin, dia sudah bahagia dengan kehidupan barunya tanpa ada aku disampingnya.
Yup, seperti yang pernah ibuku bilang, " urusan hate moal pahili "




Rumah Abu, Syawal 1437 H

Jumat, 11 Maret 2016

Love

Untuk sebuah kisah sederhana
Yang tak akan pernah kita lupa
Antara kau, aku dan Tuhan kita

Bukanlah harta yang menyatukan kita
Ketulusanmu, menjadi bukti
Kesabaranku, menjadi saksi
Bahwa ikatan yang telah kita bina
Jauh lebih indah dari mereka

Hanya ada satu diantara sekian ribu
Tapi semua itu ada dan nyata

Karena DIA telah mengatur segalanya dengan sempurna...



Maret'16

Jumat, 20 Februari 2015

Demi Sebuah Balas Budi

      Dulu, aku tidak pernah mengerti. Kenapa kau lebih memilih balas budi daripada masa depanmu sendiri. Kini barulah aku pahami, kalau balas budi itu tidak bisa digantikan oleh apapun. Bebannya bisa dibawa hingga mati.
      Beberapa tahun yang lalu, kuliah menjadi cita-cita yang harus aku kubur dalam-dalam. Tapi saat ini, kuliah menjadi aktifitas rutin yang enggan kujalani. Kenapa? Karena semua ini demi balas budi. Demi seorang sahabat yang kebaikannya sudah tak bisa kuhitung dengan jari, yang kebaikannya tak bisa kusebutkan dengan kata-kata.
      Ketika dia memberi tawaran untuk kuliah, aku malah bingung harus menjawab apa. Bukannya aku tidak ingin kuliah, tapi masalahnya kondisi saat ini telah berbeda. Ketika Ibu tiada, maka hidupku juga berubah drastis, mau tak mau.
      Kini, aku harus berperan sebagai Ibu Rumah Tangga yang harus memastikan kondisi rumah baik-baik saja. Mulai dari kebersihan, kenyamanan hingga makanan. Yup, sekarang aku harus menyiapkan makanan untuk orang seisi rumah. Bisa tidak bisa, aku harus turun ke dapur untuk memasak untuk mereka. Dengan memperhitungkan, kalau memasak itu bisa lebih irit dan jauh lebih hygenis, tentunya. Padahal biasanya, aku menyerahkan urusan masak memasak pada Ibu. Karena Ibuku paling pintar memasak, masakannya selalu enak. Paling, aku hanya membantunya sedikit. 
      Di sisi lain, aku juga harus tetap menjalankan tugasku sebagai freelancer, yakni admin di salah satu sekolah online milik seorang penulis terkenal di Indonesia. Biarpun penghasilannya tidak seberapa, tapi aku tetap senang menjalaninya. Karena jadwalnya bisa disesuaikan dengan kesibukan dan padatnya jadwal perkuliahan di kampusku
     Terakhir, kuliahku.. Kampus memang kecil dan terhimpit, meski berada di tengah kota. Tapi kalau urusan tugas dan perkulian, jangan pernah ditanya. Kualitas lulusan kampus kami tidak bisa disepelekan, kami sanggup bersaing dengan para lulusan Universitas ternama.
     Akan tetapi dengan kesibukanku sekarang, aku mulai miris. Rasanya sulit sekali untuk mengejar nilai maksimal seperti teman-temanku yang lain. Terlalu banyak hal yang kupikirkan, terlalu banyak hal yang berseliweran di kepala ini yang ingin kuselesaikan satu-persatu.
     Terkadang, aku merasa tak sanggup dan ingin mengakhirinya sampai di sini. Apakah harus kukubur dalam-dalam saja semua mimpi ini? Toh, sudah aku alami seperti apa rasanya kuliah itu. Aku janji tidak akan menuntut atau beralasan dan tentunya tidak akan merasa penasaran lagi.
     Tapi... jika aku menyerah begitu saja. Apa aku masih sanggup menemuinya dan mengemukakan alasanku. Apa aku tidak malu dengan semua kebaikannya? Rasanya sangat sulit kubayangkan, sungguh aku lebih merasa tidak sanggup lagi bila harus mengecewakan dirinya. Mungkin, aku harus bisa tetap bertahan semampuku. Semua ini, demi balas budi...



Bandung, Februari 2015   


Sebuah Protes Untuk Tuhan



Sebuah protes untuk Tuhan, rasanya kalimat itu pernah kubaca dalam blog seorang teman.
Tapi entah kenapa, aku ingin menuliskannya sekarang. Dengan versi yang berbeda tentunya.
Mungkin semua ini berawal dari kekecewaanku terhadap orang-orang di sekelilingku.

Hya benar, mereka selalu menanyakan hal yang sama. Kapan aku punya seorang kekasih? Kapan aku akan segera menikah. Memangnya, tak ada hal lain yang lebih penting yang bisa mereka tanyakan selain kabar pernikahanku? Lalu keluargaku? Rasanya tak ada bedanya dengan mereka.

Kakakku yang satu, selalu sibuk dengan urusannya sendiri, acuh tak acuh dan selalu kurang respect dengan kondisi adiknya yang tinggal satu-satunya ini. Sedangkan yang lainnya, sama saja. Dia selalu sibuk mencarikan jodoh untukku. Tanpa menayakan pendapatku terlebih dahulu. Aah, itu sangat menyebalkan.  Kenapa dia dan suaminya begitu kompak, berusaha agar aku bisa segera menikah?

It's all okay. Tapi, apa mereka pernah berpikir sedikit saja tentang anaknya yang berada di sini. Seorang anak yang telah mereka telantarkan selama bertahun-tahun lamanya. Anak yang lebih memilih tinggal bersama kakek dan tantenya daripada dengan orang tuanya sendiri. Pernahkah mereka berpikir, bagaimana nasib anak mereka kelak?

Apapun keadaannya, anak itu masih menjadi darah daging mereka dan menjadi tanggung jawab mereka sepenuhnya. Lalu aku bisa apa? Tanganku hanya dua. Sungguh, aku tidak sanggup bila harus menyelesaikan semua beban ini sendiri. Aku tak sanggup menjadisingle parent untuknya. Kalian tahu sendiri, aktifitasku selama ini sudah cukup menguras waktu dan tenagaku. Lalu ditambah dengan
anak itu, apa pantas kalau aku masih berpikir akan pernikahanku, kebahagiaanku?

Kini sepeninggal Ibu, bukanlah kabar gembira yang aku dapatkan. Akan tetapi, kabar yang membuatku terpaku dan tergugu. Awal tahun ini, mereka memiliki bayi lagi. Jujur saja, kebahagian mereka membuatku kecewa. Meski sebenarnya, bayi tersebut tidak berdosa tetap saja. 
Lalu sekarang, nasib anak mereka di sini, bagaimana?
Yaa Tuhaan, benarkah hal ini sudah menjadi ketentuan-Mu?

Satu waktu, salah seorang tetanggaku berkata, "Kamu ini, harusnya menikah bukan kuliah,"
Aku hanya bisa tersenyum getir mendengarnya. Yaa, siapa orangnya yang tidak ingin menikah? Aku juga ingin membangun keluargasendiri seutuhnya, seperti mereka. Aku ingin menggenapkan setengah dien, aku ingin mengubah dosa menjadi pahala. Tapi yang ada, mereka hanya melukai perasaankudan meninggalkanku begitu saja. 
Lalu sekarang, aku harus mencari suami kemana? Hanya satu orang, diantara ratusan ribu orang
yang hidup di dunia ini. Tapi kenapa begitu sulitnya bagiku. Rasanya lebih sulit daripada mencari sebongkah berlian.

Yaa Allah, sampai manakah batas kesabaranku?
Yaa Allah, sampai titik manakah aku harus tetap bertahan?
Yaa Allah, kapankah Engkau akan mengirimkan pendamping hidup untukku?
Yaa Allah, kapankah Engkau akan menurunkan keajaiban-Mu untukku?
Yaa Allah, kapankah Engkau akan mengabulkan semua doa-doaku selama ini?
Yaa Allah... Ya Allah... Ya Allah...

Senin, 25 Maret 2013

Segar... Menyegarkan

"Kawan, jangan pernah kau berpikir lain. Karena Tuhanmu, pasti tahu isi hatimu.."

Pagi itu, aku kembali membuka-buka buku catatan harian. Siapa tahu, ada rencana keluar rumah atau janji yg sempat aku lupakan. Ternyata, tak ada catatan apapun di sana. Hanya sebuah lingkaran merah dalam kalender yang bertanggal 23 Maret ini.
Ah ya, aku baru ingat! Aku sengaja menandainya sebab pada hari itu ada perayaan Ulang Tahun FLP ke-16 di Jakarta. Di usianya yang sudah menginjak remaja, FLP terasa seperti sebuah legenda untukku. Sementara aku, baru mengenalnya sekitar tujuh tahun yang lalu.
Selama itu pula, begitu banyak ilmu serta pengalaman baru yang bisa aku dapatkan di sana.
Mampu mewujudkan impianku semenjak lama merupakan kebanggaan tersendiri. Namun tanpa FLP, aku tak yakin bisa seperti sekarang. Meski karya-karyaku masih belum seberapa, tapi setidaknya aku sudah cukup merasa lega. Karena kini, mereka lebih mengerti dengan pilihan hidupku ini.
Sayangnya, seiring dengan berjalannya waktu serta kesibukanku sendiri, aku semakin jarang mengikuti agenda FLP. Paling hanya sebatas membaca infonya sekilas, lalu melupakannya begitu saja. Padahal dulu, agenda FLP ke luar kota sekalipun selalu aku kejar ke mana pun.
Hhh, sebenarnya bukan tak ingin hadir dalam acara seperti itu. Tapi Jakarta, cukup jauh dari tempat tinggalku dan dengan kondisiku yang seperti sekarang, rasanya harus kubuang jauh-jauh keinginan itu.
Kini, aku hanya bisa tersenyum kering. Lalu melengos pergi dan kembali meneruskan cucian yang sudah kurendam sedari tadi. Namun beberapa menit berselang, tiba-tiba saja sebuah panggilan masuk ke dalam ponselku.  Rupanya m'Ale yang menghubungiku.
"Syfa, hari ini ada acara Milad FLP di Jakarta, kan?" tanyanya diujung sana.
"Yup, memangnya kenapa m'Ale?"
"Bisa gantiin saya buat datang ke sana, gak? Saya mendadak berhalangan hadir, nih!" katanya lagi.
"Ooh," jawabku sembari melongo.
"Kalau bisa, langsung hubungi Wildan Nugraha aja. Rencananya, dia beserta rombongan dari Flp Jabar mau kumpul di Baltos jam 9.30." lanjut m'Ale sembari menutup teleponnya.
Klik... sambungan telpon pun terputus.
Aku hanya menghela nafas sembari melirik jam yang ada di dinding.
"Waah, sudah hampir jam 8 pagi! Berarti aku hanya punya waktu sekitar 1,5 jam lagi," batinku.
Meski aku sadar sepenuhnya, kalau waktu yang kumiliki benar-benar mepet tapi aku malah diam, melamun. Bukannya buru-buru menyelesaikan cucian yang tertunda, lalu segera bersiap-siap pergi. Atau memilih sarapan lebih dulu, barangkali.
*****

Begitu tiba dBaltos, aku celingukan sendiri. Suasana Baltos masih terlihat lengang dan sepi. Hanya terlihat beberapa orang mengantri di sisi kiri pintu utama. Kelihatannya, mereka sedang mengantri di mobil SIM keliling.
Lalu, di mana orang-orang yang kukenal? Tak ada rombongan, apalagi teman-teman Flp Jabar. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Apa aku sudah tertinggal ataukah  mereka memang masih belum datang?
Hari sudah semakin beranjak siang, tapi kami masih tetap berlima semenjak tadi. Ada k'Farid, k'Taufik Mulyana, k'Wildan Nugraha dan istrinya Ade Fariyani serta aku sendiri.  Ternyata banyak yang batal pergi, termasuk sekertaris Flpjabar Hendra Vejay, t'Maemun Herawati serta Eka, ketua baru Flp Jatinangor. Hingga akhirnya, mobil yang kami tumpangi baru meluncur meninggalkan kota Bandung sekitar pukul 11.00 siang.
Meski perjalanan kali ini bisa dibilang lancar, namun tetap saja kami tak bisa menghindari macet di dalam kota. Jakarta memang tak pernah bisa lepas dari kemacetan. Sekalipun dalam hitungan jam kerja, sama saja. Hingga akhirnya, kami baru sampai di tempat tujuan sekitar pukul 14.30. Rupanya, rombongan "Adew Habtsa dan Rekan" sudah tiba lebih dulu. Selain menjadi pengisi salah satu acaranya, mereka juga sama-sama datang dari Bandung. Entah dari jam berapa mereka start dari Bandung, hingga bisa sampai lebih dulu.
Setelah berhaha hihi sebentar dengan mereka, aku kembali mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. 

Hmm, nyaman sekali!
Rasanya, inilah salah satu bentuk ruang kerja idaman bagi setiap orang. Segalanya sudah tersedia lengkap  di sini. Mulai dari ruang kerja, ruang meeting, perpustakaan bahkan tersedia meja pingpong pula di sudut kirinya. Kalau sudah merasa lelah dan lapar setelah berolah raga, tinggal mampir ke cafe yang telah disediakan.

Bukan hanya itu, toiletnya pun terasa cukup nyaman seperti di rumah sendiri. Belum lagi desain ruangannya, yang benar-benar unik. Perpaduan antara outdoor bernuansa kebun dengan ruang kerja yang indoor. Kurasa, membuat betah siapa saja yang ingin datang berkunjung ke tempat ini.

Suasana nyaman dan kekeluargaan langsung terasa saat kami menginjakkan kaki ke Gedung Multimedia Telkom, terutama di lt. 6 tempat acara berlangsung. Sebuah spanduk berwarna hijau menyegarkan mata kami.


Meski dalam rencana acara akan dimulai pada pukul 15.00 atau selepas ashar. Namun masih banyak peserta yang terjebak macet diperjalanan. Sehingga acara baru bisa dimulai sekitar pukul 16.00 sore. 
Dengan sambutan dari dari M'Intan Savitri selaku ketua FLP Pusat, lalu dilanjutkan dengan sambutan dari perwakilan dari Qbaca telkom. Beberapa orang anggota senior pun ikut menyumbangkan pemikirannya, demi kemajuan FLP. Ada m'Jonru Ginting, k'Taufik Mulyana (Opik) serta perwakilan dari FLP Hongkong, dll
Kemudian acara dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng disertai penyerahan potongan tumpeng Milad FLP 16, secara simbolis. Hal ini juga menandai bentuk kerjasama antara ebook platform FLP dan Qbaca Telkom.
  


Setelah itu, acara kembali dilanjutkan dengan sebuah games. Games ini memang sengaja  dirancang oleh tim Humas FLP untuk memeriahkan acara. Penasaran seperti apa gamesnya? Hmm, kasih tau nggak ya? hehe... 
Kalian masih ingat tidak, salah satu kuis yang cukup terkenal di televisi, beberapa tahun yang lalu? Jawabannya, pasti banyak. Lalu, siapa yang tidak kenal dengan kuis "Who want to be Milionare". Rasanya, semua orang pasti tahu itu.
Nah, games kali ini sengaja didesain mirip kuis tersebut. Hanya saja semua pertanyaannya, tentu berkaitan dengan pengetahuan umum FLP. Namun sangat disayangkan karena dari 16 pertanyaan yang telah dipersiapkan, hanya bisa dijawab 3 oleh peserta kuis yang berasal dari masing-masing cabang itu. Sepertinya perlu dipertanyakan lagi tentang keFLPannya, neh! whehehe


Setelah lelah bermain, acara dilanjutkan dengan hiburan dari penampilan "Adew Habtsa dan Rekan." Sebenarnya, mereka ini merupakan salah satu bentuk transformasi grup musikalisasi puisi "Kapak Ibrahim" yang pernah ada di Flp Bandung. Hanya saja, karena kesibukan dari masing-masing personilnya hingga kini berganti nama dan tentu saja berganti personil. 
Entah kenapa, anganku jadi melayang pada moment-moment konser "Kapak Ibrahim" dengan format lama, beberapa tahun silam. Ada "Adew Habsta" di vokal dan gitar, "Lian Kagura" di biola dan lead vokal, "Noel Saga" di Vokal, "Riksa al Hasil" di Biola, "Hendra Veejay" serta "Teny Shenai" selaku manajernya.
Ah, aku jadi benar-benar rindu mereka T_T
Oh ya, kembali ke acara hiburan yang tengah berlangsung dihadapanku. Tak tanggung-tanggung, "Adew Habtsa & Rekan" langsung membawakan enam lagu sekaligus. Aplaus, buat mereka.
Ck... ck... semangat amat, yak! Padahal sekalian sealbum aja guys! =D 
Saking asyiknya mendengarkan musik hiburan. Hingga akhirnya sampailah pada acara yang paling ditunggu semua orang. Apa lagi kalau bukan acara makan-makan. Segala menu sudah tersedia, mulai dari nasi tumpeng tadi, pempek palembang, baso malang, es doger hingga es cendol. Pokoknya kenyang banget deh! :p
Masih belum cukup, kami juga mendapat oleh-oleh sekotak coklat sebelum pulang. Dengar-dengar sih, itu coklat oleh-oleh dari Hongkong. Entahlah, yang jelas bentuk dan rasanya masih tetap sama seperti coklat yang ada di Indonesia =D
 

Kau tahu, kawan? Aku masih sulit mempercayai kejadian yang baru saja kualami saat ini. Padahal rasanya baru kemarin aku sempat bilang, "Ah, ingin pergi jalan-jalan ke luar kota! Ke mana aja, dengan alasan apa aja yang penting bisa jauh dari rumah!"
Sungguh, aku tak pernah menyangka kalau Allah langsung mengabulkan keinginanku ini hanya berselang hari. Di luar dugaan, keinginan tersebut langsung terwujud begitu saja, hari ini. Maka jangan pernah kau berpikiran lain, sebab siapa tahu Allah segera mengabulkannya saat itu juga. Jadi, berpikirlah dan berharaplah segala hal yang terbaik untuk dirimu dan kita semua...


Bandung - Jakarta, 23 Maret 2013
Shēngrì kuàilè 16 FLP

Selasa, 19 Maret 2013

Untuk Sebuah Kepercayaan


Rasanya baru kemarin sore, aku berkeluh kesah padamu. Rupanya, sudah hampir setahun aku tinggalkan. Ah, sesibuk apa diriku selama ini hingga tak bisa meluangkan waktu sebentar saja untuk menengokmu?? Maaaf...
Hhh, aku masih ingat betul kala itu.
Tepat dua hari menjelang Ulang Tahunku, setahun yang lalu. Tiada angin, tiada hujan, kau tiba-tiba saja menghubungiku lewat akun jejaring sosial. Lalu, kau mengajakku berjuang bersama. Aku bengong. Sungguh, aku tak mampu berpikir apapun saat itu.
Seingatku, umur perkenalan kami masih seumur jagung. Itupun hanya sebatas perkenalan biasa.  Bagaimana mungkin, aku bisa berpikir hingga sejauh itu? Sungguh, tak pernah terbersit sedikitpun di kepala ini.
Justru, aku malah meragukan kebenarannya. Apa kau bersungguh-sungguh atau hanya iseng belaka. Kalau memang benar, kenapa kau tak datang ke rumahku dan temui kedua orang tuaku?
Mungkin, ajakan seperti ini akan menjadi hal yang paling ditunggu bagi orang lain. Sayangnya, tidak untukku. Terlepas dari jujur atau tidaknya, niat baikmu. Tapi maaf, aku masih belum siap. Jujur saja, aku tak pernah bisa percaya begitu saja pada orang yang baru kukenal dari dunia maya hingga kapanpun.

Kau baru mengenalku. Kau tak pernah tahu apa-apa tentang diriku. Apa kau mau menerima semua kekuranganku? Kau tahu, kehidupanku terlalu rumit untuk dimengerti. Apa kau juga mau memakluminya? Apa kau sanggup menerima segala resiko yang akan kita hadapi dikemudian hari? Aku hanya tak ingin kau menyesal telah membuat keputusan besar seperti ini.
Andai saja, kau memang telah siap. Tapi maaf, perasaanku justru mengatakan sebaliknya. Rasanya, aku masih belum sanggup mempercayakan semua rahasia hidupku pada orang lain. Termasuk dirimu. Kau tahu? Menaruh kepercayaan pada seseorang itu tak semudah membalikan tangan. 
Sungguh, aku tak ingin salah pilih orang lagi. Aku tak ingin ketulusanku dan kepercayaanku disalah gunakan seperti dulu. Aku hanya berusaha menjadi pribadi tegar meski sebenarnya masih terlalu jauh dari harapan.


Dan kali ini, aku masih tetap memanjatkan doa yang sama,
"Berikan pengganti dirinya yang jauh lebih baik darinya, jauh lebih pengertian, tulus serta bisa aku percaya seutuhnya."
Kenapa, semua ini terasa sulit sekali aku jalani? Kapan, orang yang bisa kupercaya sepenuhnya bisa hadir dihadapanku. Hanya seorang, diantara sekian ratus juta orang yang hidup di dunia ini. Hanya seorang, yang memiliki hati yang tulus untuk menerimaku. Tapi rasanya, semua ini jauh lebih sulit daripada mengumpulkan sejentik berlian.
Apakah di masa kini, nilai sebuah kepercayaan sudah tak ada harganya lagi atau memang kepercayaan itu sudah tak ada tandingannya lagi di dunia ini?



   
Pondok Abu, Maret 2013

Selasa, 13 November 2012

Puisi Tahun Baru

Aku masih ingat betul saat itu. 
Tepat di malam pergantian tahun, ada seseorang yang mengirimiku sebuah puisi. Puisi tak berjudul, apalagi nama pengirimnya. Nomornya juga tidak aku kenal sama sekali.

Entahlah, siapa dirinya. Tapi kelihatannya, dia mengenal betul siapa diriku ini.  
Biarkanlah. Yang jelas, hatiku benar-benar terpaut dengan bait-baitnya. 
Meski sudah lama berlalu, aku sengaja menyimpannya.
 
Waktu boleh berlalu dan zaman bisa berganti…
Tapi persaudaraan, tidak boleh pudar…
Indahnya dunia hanya sementara…
Indahnya cinta hanya seketika…
Indahnya mimpi tak pernah pasti…
Tapi indahnya persaudaraan
akan selalu abadi selamanya…