Mien, kau tahu, kan?
Aku sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta.
Apa aku akan terus melamun memikirkannya?
Apa aku akan kehilangan selera
makan karena perasaanku yang sedang berbunga-bunga. Apa aku bisa bahagia dengan
rasa cinta yang ada? Ataukah aku harus kembali merana seperti pengalamanku
sebelumnya. Entahlah,
Mien,
Aku bukan tak ingin jatuh cinta lagi. Hanya saja, aku tak sanggup
membayangkan. Bagaimana bila perasaan ini kembali terluka dan kecewa. Apa yang
baru saja aku alami belakangan ini, membuatku harus berpikir ulang.
Please, move on!
Sungguh, bukan inginku untuk terus berkutat di masa lalu. Aku juga ingin
melupakan dia dan mencari pengganti dirinya. Tapi kenapa, semua usahaku selalu
menemui jalan buntu?
Padahal selama ini, aku sudah berusaha membuka hati untuk orang lain. Mulai
dari orang yang belum kukenal sebelumnya. Hingga orang yang kehidupannya
benar-benar asing bagiku. Kupikir, kami bisa memulai segalanya dari awal.
Karena itulah, aku mencoba menepis semua keraguanku padanya.
Tapi hasilnya, sungguh mengecewakan. Rasanya semua usahaku tidak ada
artinya. Terkadang, aku sering merenung sendiri. Apa mungkin, diri inilah yang
bermasalah? Hingga akhirnya, mereka tetap meninggalkanku seorang diri.
Mien,
Saat ini, aku merasa sendirian dan kesepian.
Kini, tak ada seorang teman ataupun sahabat yang tersisa untukku.
Bahkan, kini tak ada satu tempat pun yang bisa aku kunjungi saat hati
ini, benar-benar terluka dan kecewa...
Apa yang harus kulakukan, Mien?
Meski begitu, aku tetap tak ingin menyalahkan siapapun. Aku juga tak
ingin berharap pada siapapun. Apalagi sampai meminta bantuan makhluk apapun.
Biarlah Allah yang mengatur hidupku, hendak ke mana arah hidupku di kemudian
hari.
Kata orang, pasrah menyerah dengan menerima kenyataan itu beda tipis.
Benarkah? Lalu, bagaimana harus aku bersikap. Setelah sebuah pilihan yang telah
aku putuskan beberapa tahun ke belakang.
Entahlah, tapi kurasa alasanku hanya satu. Aku masih belum punya pilihan
lain yang lebih baik. Hingga aku menemukan penggantinya maka semua ini masih
tetap tak akan berubah, hingga kapan pun.
Mungkin pula, aku terlambat meminta. Ingin bertemu jodoh dan menikah
saat usiaku sudah menginjak kepala tiga. Padahal bagi orang lain, sudah meminta
hal yang serupa saat dia masih duduk di bangku sekolah atau pada saat kuliah.
Sungguh, bukan aku tak pernah memikirkannya. Tapi, rasanya kenyataan
dihadapanku yang tak pernah memberikan kesempatan untuk melakukannya. Aku juga
ingin seperti orang lain, ingin menata hidupku sendiri.
Aku jadi teringat pada obrolanku dengan seorang teman suatu waktu,
“Minta jodoh itu, harus rinci dan jelas. Jangan ngasal dan seadanya. Saya juga
butuh waktu lima tahun, hingga bertemu istri saya ini.”
Ya Allah,.. Tolonglah, jangan selama itu.
Aku tak sanggup menunggu hingga lima tahun
Sungguh, aku benar-benar membutuhkannya, saat ini.