Senin, 26 Maret 2012

Kepepet is The Best


Behind Odet & Ranting Ajaib

Kalau boleh jujur, sebenarnya aku mulai panik. Meski waktu tiga minggu sudah semakin berkurang, tapi otak ini masih terasa buntu. Rasanya, aku masih belum menemukan ide yang unik serta menarik.
Tapi biasanya dalam waktu yang mepet, segala hal bisa jadi inspirasi. Saat melihat ponakanku yang sedang menikmati susu coklat kesukaannya, suatu waktu. Tiba-tiba saja muncul sebuah ide, sesaat kemudian hadirlah kisah “Secangkir Susu Coklat Panas”.
Tanpa kusadari, akhirnya aku sanggup menyelesaikan bab pertama tepat waktu. Selepas itu, aku memang sengaja membiarkan draft tersebut, begitu saja. Meski sebenarnya, aku bisa saja melanjutkan kisah ini. Bukankah sudah ada outline yang sudah aku buat sebelumnya?
Sayangnya, aku masih enggan. Sepertinya, aku masih belum yakin dengan kemampuan diri sendiri. Syukur-syukur, kalau memang naskah ini masih bisa berlanjut. Jika tidak, itu sangat menyakitkan. Karena itulah, aku sengaja membiarkan naskah itu seadanya.
Beberapa minggu berselang, t’Evi Indriani salah seorang peserta workshop Yogyakarta tempo hari mengirimku sebuah sms.
“Hei teman sebangku. Selamat ya! Naskah kita berdua lolos.”
“Benarkah?” sambutku seolah tak percaya.
“Assyfa Nurhalimah – Odet & Ranting ajaib, kan?”
“Iya benar.”
“Nama itu kan, ada di urutan pertama yang lulus seleksi. Pengumumannya ada di facebook.”
Tak lama berselang, giliran m’Ale yang menyusul mengirimku sms, “syfa naskahmu lolos seleksi, tuuh!”
Kalau sudah dua orang yang memberikan kabar yang sama, berarti aku nggak mimpi. Tanpa membuang waktu, aku buru-buru membuka akun facebook, untuk memastikan.
Ternyata benar, namaku tercatat dalam daftar orang-orang yang masuk seleksi pertama. Mereka berhak melanjutkan seluruh naskah novelnya hingga rampung dalam waktu empat minggu ke depan. Haa… seleksi lagi?
Kenapa harus ada seleksi lagi sih? tempo hari saja, langkahku sudah terseok untuk menyelesaikan bab pertama. Sekarang, aku hanya diberi waktu empat minggu saja untuk menyelesaikannya sampai selesai? Apa aku sanggup bertahan hingga bab terakhir?
Meski sudah berhasil hingga sejauh ini, perasaanku masih datar-datar saja. Tak ada euphoria ataupun kebanggaan. Justru saat itu, aku malah mengurung diri di kamar tanpa tahu apa yang harus aku perbuat. Bagaimana bisa aku menyelesaikan naskah itu hingga utuh??
Ternyata kepanikanku masih terus berlanjut hingga saat itu. Dengan waktu yang semakin mepet, bukanlah ide menarik yang mengalir di kepalaku. Tapi, kepalaku benar-benar mentok, aku tak bisa berpikir sama sekali. Tiba-tiba saja, aku terkena syndrome block’s writer.
Tak ada hal lain yang bisa ku lakukan selain berdo’a dan berdo’a. Oh, aku benar-benar membutuhkan keajaiban lagi. Tak cukup sampai di situ, aku sengaja menyetop semua aktifitas luar dan mencoba fokus hanya pada naskah First Novel ini.     
Bahkan aku sengaja pasang status di facebook “Jika orang menganggapku bisa, berarti aku bisa… jika orang menganggapku sanggup berarti aku sanggup.
Setelah cukup lama aku merenung. Hingga akhirnya, pikiranku melayang pada bawang. Salah satu jenis sayuran yang paling dekat dengan keseharian kita. Meski kaya manfaat, tapi masih banyak orang yang tidak mau menyadarinya.
Kemudian, aku mulai mengumpulkan keragaman bawang dan memolesnya sedikit. Ada keluarga bawang putih yang baik hati, tinggal di dekat istana. Ada keluarga bawang merah yang paling banyak dibutuhkan penduduk, sehingga tinggal di dekat pasar.
Ada keluarga bawang daun yang tinggal di pinggir sungai. Dengan tubuhnya yang tinggi diharapkan bisa menjaga tanah di sekitar sungai agar tidak erosi. Sementara kelurga bawang bombay, tinggal di lapisan terluar negeri bawang.
Dengan tubuhnya yang tinggi besar, diharapkan mereka mampu menghalau segala jenis ancaman yang akan mengganggu ketentraman negeri bawang. Selain itu, keluarga bawang goreng yang senang mengganggu ketertiban umum, tinggal di tempat terasing.  
Entah dari mana datangnya, semua ide itu. Yang jelas, ide-ide itu mengalir begitu saja, tanpa aku sadari. Aku jadi teringat ucapan m’Ale beberapa waktu yang lalu.
“Jangan pernah takut ide kita diambil orang. Tapi, berharaplah agar kita bisa membuat ide yang lebih bagus lagi di kemudian hari.”
Hingga saat ini pun, aku masih belum percaya kalau dengan tangan inilah keluarga bawang, bisa terbang ke Tiga serangkai. But, It’s real. My dreams come true..

Ketika Detak Jantungku Berhenti

 Demi mengejar waktu yang makin mepet, bis antar kota menjadi pilihan utamaku. Selain waktunya yang lebih fleksible, harganya juga jauh lebih bersahabat daripada kereta eksekutif. Kuharap, badan ini bisa sedikit rileks di dalam bis.
Sayangnya, bis tujuan Bandung masih belum kelihatan di terminal. Aku terpaksa harus bersabar menunggu. Ternyata bukan aku saja yang menanti kedatangannya, banyak penumpang lain yang ikut menunggu bersamaku.
Setengah jam berselang, akhirnya bis itu datang juga. Maka,  begitu memasuki terminal, bis tersebut langsung diserbu oleh para penumpang, termasuk aku. Kemudian kami memilih tempat duduk masing-masing. Tak lama berselang, bis sudah mulai berjalan meninggalkan terminal.
Selama perjalanan pulang, aku berusaha memejamkan mata. Badanku memang sudah sangat kelelahan. Perjalanan ini, memang tidak mudah untukku. Mengingat workshop tadi siang, pikiranku jadi melayang ke mana-mana.
Sepertinya, aku harus segera mengubah semua konsep yang ada, jika ingin bersaing dengan mereka. Tapi... isi kepalaku masih kosong. Belum terlintas sedikit pun, aku mau menulis apa, mau bercerita tentang apa. Padahal, waktu yang kumiliki tidak begitu lama.
Hanya tiga minggu… Yups, pihak Tiga Serangkai hanya memberi waktu tiga minggu untuk menyelesaikan bab pertama. Aku kembali menghela nafas, pandanganku beralih ke luar jendela. Cuaca yang tadinya panas, kini mulai meredup. Bahkan lambat laun mulai gelap dan pekat.
Apa aku sanggup menyelesaikan semua ini? Rasanya, aku butuh keajaiban saat ini, batinku
Ah sudahlah! Aku tidak ingin terus memikirkannya. Bisa-bisa, semangatku bakal menyusut sebelum berkembang. Yang terpenting sekarang, aku harus bisa beristirahat. Syukur-syukur tidur beberapa saat, agar esok pagi kondisiku bisa tetap fit .
Saking lelahnya, aku langsung terlelap selama perjalanan. Hingga akhirnya, bis tersebut sampai juga ke kota Bandung tanpa terasa. Bertepatan dengan adzan Shubuh, aku tiba di rumah dengan selamat, Alhamdulillah.
****

Meski mata ini masih sangat mengantuk, aku tidak bisa langsung tidur usai shalat shubuh. Aku terlalu asyik bercerita tentang pengalaman yang baru saja kualami di kota gudeg. Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan hampir pukul 6.30 pagi.
Buru-buru aku memejamkan mata dan terlelap beberapa sesaat. Akan tetapi, ketika tersadar waktu sudah menunjukkan pukul 9.00 pagi. Padahal acara launcing akan segera dimulai dalam waktu yang sama.
Sontak, aku buru-buru bangun dengan kepala yang masih terasa berat. Ah, rasanya aku tak sanggup berada di tempat acara tepat waktu. Terlambat sedikit tak apalah, mereka masih bisa memulainya tanpa aku.
Sambil mengumpulkan kesadaran, aku sengaja mengaktifkan ponsel. Kebetulan, ponselku memang kehabisan batere tadi. Tak lama berselang, ponsel itu langsung tak berhenti berbunyi. Semua bernada sama, “Teteeh, dimanaa?”
Setelah badan ini terasa lebih baik, aku mulai bersiap-siap dan pergi ke Salman ITB. Ternyata, acara launching sudah berlangsung sedari tadi. Acara diskusi buku menjadi lebih seru dengan hadirnya bunda Pipiet senja serta kang Taufik Mulyana sebagai narasumber.

Seperti yang telah direncanakan, semua dana yang terkumpul akan kami serahkan pada pihak keluarga almh. Nurul F Huda. Sayangnya, tak ada pihak keluarga yang datang menghadiri acara ini. Ujung-ujungnya, aku yang mewakili pihak keluarga, dalam serah terima secara simbolis..
Sekitar pukul 13.30 acara launcing ini pun harus segera berakhir. Meski demikian, kami tidak bisa pulang begitu saja. Selain harus membereskan tempat acara, kami juga harus melakukan evaluasi. Di luar itu semua, acara launcing dapat berjalan lancar.
 Sungguh, aku tak menyangka dapat menghadiri dua acara yang awalnya kuanggap mustahil. Benar-benar suatu keajaiban. Ternyata bila Allah mengijinkan, tak ada yang tak mungkin. Usai launching ini, tinggal giliranku memikirkan First Novel yang akan aku garap sebentar lagi...

Rabu, 21 Maret 2012

Tiga Permintaan

"Ternyata Allah tak pernah membiarkanku sendirian. Itulah anugerah terindah yang pernah kumiliki..."

Berawal dari keisenganku  memasang status di salah satu jejaring sosial, tiada kusangka akan menuai berbagai reaksi dari orang-orang terdekat. Padahal, aku cuma takjub atas do'a tulus dari semua teman dan juga sahabat yang tersebar di bumi Allah yg luas. Mulai dari Aceh, Bandung, Bogor, Malaysia, Karawang, Samarinda Semarang, Surabaya, Malaysia, Jepang hingga Belanda. Hingga aku merasa tak sendirian di hari Ulang Tahunku ^_^

Meski telah lama  berlalu, namun hal tersebut tetap menjadi moment yang paling istimewa selama beberapa tahun terakhir.Tanpa selebrasi apapun, kulalui hari itu seadanya. Tak ada kue istimewa, apalagi sahabat sejati yang datang menemuiku. Hanya meniup lilin pun, baru kulakukan tadi malam. Itu pun karena mati lampu :D

Aku jadi ingat. Kata orang, usai meniup lilin, seseorang yang berulang tahun akan mengucapkan permintaan maka permintaan tersebut akan dikabulkan. Saat ini, aku memiliki tiga permintaan. Masih bisakah Engkau mengabulkanya?

Pertama, aku ingin menikah...
Aku memang ingin menikah tahun ini. Tapi, aku nggak ingin terburu-buru. Aku ingin memilih yang terbaik untuk segala-galanya. Baik untuk diri sendiri atau pun kehidupan orang-orang di sekitarku. 
Aku tak ingin membuat mereka terluka dan kecewa hanya gara-gara aku. Aku hanya ingin menikah dengan restu dan kebahagiaan dari mereka. Jika tidak, aku harus bersabar menunggu saatnya tiba daripada menyesal seumur hidup.     
Tapi... entah suatu kebetulan atau tidak. 
Dua hari menjelang hari Ulang Tahunku, salah seorang kenalan di luar kota mengajakku menikah. Biarpun sedang dikejar target nikah tapi saat ini, sungguh kepalaku tidak sedang berpikir ke arah sana. 
Terlintas sedikit pun tidak. Kalaupun aku iya, aku takkan memilih dia. Bukannya aku terlalu pemilih, tapi semenjak pertama kali bertemu dengannya dan mengenal pribadinya, aku memang tidak begitu suka dengannya. 
Kata orang, kalau kita merasa setengah hati, lebih baik tinggalkan. Maka aku memilih menolak lamarannya. Boro-boro setengah hati, yang ada malah ill feel padanya. Aku pasrah, kalau memang keputusanku ini memang salah... T_T
Lagipula, ada hal lain yang lebih menyita perhatianku.  Sementara itu, aku tak ingin lagi mengeksplornya lebih  jauh. Cukup hanya Allah yang mendengar semua keluh kesahku. Cukup hanya mereka saja yang tahu seperti apa hidupku selama ini. Biarkan semua tertutup rapat hingga akhirnya hilang tertelan waktu..
Biarlah mereka mau berkata apa tentang aku, biarkan mereka mau berpikir apa tentang diriku. Tanpa peduli apa kata orang, biarkanlah aku jalani hidupku ini apa adanya. Meski saat ini, semua teman-temanku telah lama menikah. Aku takkan pernah berhenti berharap, agar jodohku akan segera datang...

Kedua, kuharap orang tuaku masih tetap ada dan sehat.
Terkadang, pikiran egois selalu memenuhi kepalaku. Kenapa harus aku yang tertinggal disini, kenapa bukan salah satu dari kakakku? Tapi... bagaimana pun keadaannya, inilah jalan hidup yang harus kujalani dengan ikhlas. Biarpun hingga kini masih terasa sulit, aku akan terus berusaha.
Melihat keduanya hidup rukun, berdampingan di sisa usianya adalah impian terbesarku. Tapi sepertinya, aku harus menguburnya dalam-dalam. Bagaimana tidak, selalu saja hal yang membuat mereka cekcok, setiap hari. Entah apa yang mereka ributkan, toh penyebab utamanya juga nggak jelas. Keadaan seperti ini, sudah menjadi hal lumrah di rumahku.
Bukan hanya itu, perasaan mereka benar-benar sensitif. Ada sedikit saja hal yang melukai perasaannya, akan membuatnya tersinggung dan marah-marah. Terkadang, sikapku yang kuanggap lumrah, bisa melukai perasaannya.
Ya Allah apa yang harus kulakukan? Prilaku keduanya benar-benar menguji kesabaranku.
Aku hanya manusia biasa, di mana kesabaranku sangat terbatas. Aku sering kali bingung menghadapinya. Ingin rasanya aku pergi sesuka hati, menapaki kehidupan yang sesungguhnya. 
Akan tetapi aku tak pernah tahu, kapan ajal akan datang menjemput. Bisa esok, bisa lusa, bulan depan, atau bahkan tahun depan. Bisa saja, aku yang pergi meninggalkan keduanya lebih dulu. Biarlah aku tak punya apa-apa, asalkan aku tidak menyesal seumur hidup. 
Aku hanya bisa menjalani kehidupan ini sewajarnya, sebatas aku mampu. Semoga Allah memudahkan langkahku serta memberi keberkahan dalam kehidupanku.  

Ketiga, mimpiku
Satu waktu, salah seorang teman mengirimiku sms. Dia bertanya tentang novel "Diorama Sepasang Al Banna." Entah kenapa pikiranku jadi teringat pada sebuah cover buku bergambar seorang wanita berjilbab yang bertengger di salah satu toko buku langgananku. Ah, palingan juga novel islami biasa, begitu pikirku saat itu.
"Saya lagi butuh banget novel itu! Sebenernya saya udah baca, pinjam punya temen. Tapi sekarang, bukunya hilang. Jadi saya harus menggantinya. Padahal di mana-mana udah nggak ada,  best seller sih!" katanya lagi.
Mendengar kata best seller, hatiku jadi tergerak untuk ikut mencari novel tersebut. Seperti apa sih, kisah dibaliknya hingga membuat novel itu menjadi best seller. Kebetulan, saat ini masih belum ada pekerjaan yang benar-benar menyita waktuku. Sehingga aku masih bisa mencarinya dengan lebih leluasa.
Tanpa membuang waktu, aku  segera membuka komputer dan menyalakan jaringan internet. Baru juga beberapa detik, segala informasi mengenai novel ini langsung bermunculan.
Ternyata ingatanku tidak keliru. Novel itulah yang dimaksud temanku tadi, pantas saja aku merasa familiar dengan judulnya. Aku pun mulai asyik membaca berbagai ulasannya. Sungguh, aku langsung jatuh hati pada kisah ini. Aku salut sama penulisnya mba Ary Nur. Dia benar-benar punya energi extra untuk menyelesaikan novel ini. Selain ide ceritanya yang briliant, ditambah kemasan alurnya juga dikemas dengan apik. Pantas jadi best seller ^_^
Ah, aku jadi menyesal! Kenapa dulu aku tidak membelinya hanya karena tampilan covernya yang tidak menarik. Begitulah manusia, hanya menilai segala sesuatu hanya dari tampilan luarnya saja. Kemudian, aku kembali melanjutkan membaca. Rupanya kisah ini masih berlanjut ke novel yang kedua yang berjudul "Dilatasi Memori"
Usai membacanya, tiba-tiba saja hatiku terasa tak menentu. Aku seperti baru tersadar. At the least,  aku benar-benar ingin menangis. Kau tahu, usai membaca novel kedua aku jadi teringat akan mimpiku yang selama ini terpendam.
Mungkin karena terlalu lama memendamnya, hingga aku sendiri sampai lupa pernah memiliki mimpi seperti itu. Impianku sejak lama adalah mengatur hidupku sendiri dan membangun keluargaku sendiri, tanpa adanya campur tangan pihak lain. Namun, dengan kenyataan yang kuhadapi saat ini, bagaimana mungkin aku sanggup untuk mewujudkan semua impian itu? Sepertinya, aku harus menguburnya  jauh-jauh.
Ya Allah, aku harus bagaimana? Berikan petunjukMu, langkah apa yang harus kutempuh untuk menjemput mimpiku ini. Rasanya aku sudah lelah dan tertatih untuk menempuhnya. 
Dan ketika aku membaca semua kisah ini, membuat impian itu kembali tumbuh dan berkembang di dalam hatiku. Sungguh, aku benar-benar ingin menangis T_T