Selasa, 19 Maret 2013

Untuk Sebuah Kepercayaan


Rasanya baru kemarin sore, aku berkeluh kesah padamu. Rupanya, sudah hampir setahun aku tinggalkan. Ah, sesibuk apa diriku selama ini hingga tak bisa meluangkan waktu sebentar saja untuk menengokmu?? Maaaf...
Hhh, aku masih ingat betul kala itu.
Tepat dua hari menjelang Ulang Tahunku, setahun yang lalu. Tiada angin, tiada hujan, kau tiba-tiba saja menghubungiku lewat akun jejaring sosial. Lalu, kau mengajakku berjuang bersama. Aku bengong. Sungguh, aku tak mampu berpikir apapun saat itu.
Seingatku, umur perkenalan kami masih seumur jagung. Itupun hanya sebatas perkenalan biasa.  Bagaimana mungkin, aku bisa berpikir hingga sejauh itu? Sungguh, tak pernah terbersit sedikitpun di kepala ini.
Justru, aku malah meragukan kebenarannya. Apa kau bersungguh-sungguh atau hanya iseng belaka. Kalau memang benar, kenapa kau tak datang ke rumahku dan temui kedua orang tuaku?
Mungkin, ajakan seperti ini akan menjadi hal yang paling ditunggu bagi orang lain. Sayangnya, tidak untukku. Terlepas dari jujur atau tidaknya, niat baikmu. Tapi maaf, aku masih belum siap. Jujur saja, aku tak pernah bisa percaya begitu saja pada orang yang baru kukenal dari dunia maya hingga kapanpun.

Kau baru mengenalku. Kau tak pernah tahu apa-apa tentang diriku. Apa kau mau menerima semua kekuranganku? Kau tahu, kehidupanku terlalu rumit untuk dimengerti. Apa kau juga mau memakluminya? Apa kau sanggup menerima segala resiko yang akan kita hadapi dikemudian hari? Aku hanya tak ingin kau menyesal telah membuat keputusan besar seperti ini.
Andai saja, kau memang telah siap. Tapi maaf, perasaanku justru mengatakan sebaliknya. Rasanya, aku masih belum sanggup mempercayakan semua rahasia hidupku pada orang lain. Termasuk dirimu. Kau tahu? Menaruh kepercayaan pada seseorang itu tak semudah membalikan tangan. 
Sungguh, aku tak ingin salah pilih orang lagi. Aku tak ingin ketulusanku dan kepercayaanku disalah gunakan seperti dulu. Aku hanya berusaha menjadi pribadi tegar meski sebenarnya masih terlalu jauh dari harapan.


Dan kali ini, aku masih tetap memanjatkan doa yang sama,
"Berikan pengganti dirinya yang jauh lebih baik darinya, jauh lebih pengertian, tulus serta bisa aku percaya seutuhnya."
Kenapa, semua ini terasa sulit sekali aku jalani? Kapan, orang yang bisa kupercaya sepenuhnya bisa hadir dihadapanku. Hanya seorang, diantara sekian ratus juta orang yang hidup di dunia ini. Hanya seorang, yang memiliki hati yang tulus untuk menerimaku. Tapi rasanya, semua ini jauh lebih sulit daripada mengumpulkan sejentik berlian.
Apakah di masa kini, nilai sebuah kepercayaan sudah tak ada harganya lagi atau memang kepercayaan itu sudah tak ada tandingannya lagi di dunia ini?



   
Pondok Abu, Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar