Selasa, 13 November 2012

Puisi Tahun Baru

Aku masih ingat betul saat itu. 
Tepat di malam pergantian tahun, ada seseorang yang mengirimiku sebuah puisi. Puisi tak berjudul, apalagi nama pengirimnya. Nomornya juga tidak aku kenal sama sekali.

Entahlah, siapa dirinya. Tapi kelihatannya, dia mengenal betul siapa diriku ini.  
Biarkanlah. Yang jelas, hatiku benar-benar terpaut dengan bait-baitnya. 
Meski sudah lama berlalu, aku sengaja menyimpannya.
 
Waktu boleh berlalu dan zaman bisa berganti…
Tapi persaudaraan, tidak boleh pudar…
Indahnya dunia hanya sementara…
Indahnya cinta hanya seketika…
Indahnya mimpi tak pernah pasti…
Tapi indahnya persaudaraan
akan selalu abadi selamanya…



Rasibook

Paket Penerbitan
 
1. Paket reguler  Rp 350.000,-
   (direkomendasikan)
   - Pembetulan ejaan, tanda baca dan kata - kata
   - Pembuatan tata lay out
   - Pembuatan cover
   - Promosi di web dan facebook
   - Dapat 1 exemplar buku terbit
   - Royalti 15 %
2. Paket lay out & cover Rp. 250.000,-
   (Hanya untuk yang bisa menjadi editor sendiri)
   - Pembuatan tata lay out
   - Pembuatan cover
   - Promosi di web dan facebook
   - Dapat 1 exemplar buku terbit
   - Royalti 15 %
 
3. Paket cover  Rp. 150.000,-
   (Hanya untuk yang bisa mengedit dan membuat lay out sendiri)
   - Pembuatan cover
   - Promosi di web dan facebook
   - Dapat 1 exemplar buku terbit
   - Royalti 15 %
 
4. Paket gratis Gratiss
   (Hanya untuk yang bisa mengedit, membuat lay out, dan membuat cover sendiri)
   - Promosi di web dan facebook
   - Royalti 15 %

Caranya :
kirim email ke rasibook@yahoo.com berupa nama, jenis buku (misal :kumpulan cerpen, novel, motivasi, kumpulan artikel, dll) dan paket yang dipilih. Sertakan juga attachment berupa:
- Biodata anda (file MS.word)
- Narasi naskah anda (file MS.word)
- Naskah anda (file MS.word)

http://www.rasibook.com/p/paket-penerbitan.html 

Minggu, 11 November 2012

Cathar 1


Mien, kau tahu, kan?
Aku sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta.
Apa aku akan terus melamun memikirkannya? 
Apa aku akan kehilangan selera makan karena perasaanku yang sedang berbunga-bunga. Apa aku bisa bahagia dengan rasa cinta yang ada? Ataukah aku harus kembali merana seperti pengalamanku sebelumnya. Entahlah,

Mien,
Aku bukan tak ingin jatuh cinta lagi. Hanya saja, aku tak sanggup membayangkan. Bagaimana bila perasaan ini kembali terluka dan kecewa. Apa yang baru saja aku alami belakangan ini, membuatku harus berpikir ulang.

Please, move on!
Sungguh, bukan inginku untuk terus berkutat di masa lalu. Aku juga ingin melupakan dia dan mencari pengganti dirinya. Tapi kenapa, semua usahaku selalu menemui jalan buntu?

Padahal selama ini, aku sudah berusaha membuka hati untuk orang lain. Mulai dari orang yang belum kukenal sebelumnya. Hingga orang yang kehidupannya benar-benar asing bagiku. Kupikir, kami bisa memulai segalanya dari awal. Karena itulah, aku mencoba menepis semua  keraguanku padanya.

Tapi hasilnya, sungguh mengecewakan. Rasanya semua usahaku tidak ada artinya. Terkadang, aku sering merenung sendiri. Apa mungkin, diri inilah yang bermasalah? Hingga akhirnya, mereka tetap meninggalkanku seorang diri.

Mien,
Saat ini, aku merasa sendirian dan kesepian.
Kini, tak ada seorang teman ataupun sahabat yang tersisa untukku.
Bahkan, kini tak ada satu tempat pun yang bisa aku kunjungi saat hati ini, benar-benar terluka dan kecewa...
Apa yang harus kulakukan, Mien?

Meski begitu, aku tetap tak ingin menyalahkan siapapun. Aku juga tak ingin berharap pada siapapun. Apalagi sampai meminta bantuan makhluk apapun. Biarlah Allah yang mengatur hidupku, hendak ke mana arah hidupku di kemudian hari.

Kata orang, pasrah menyerah dengan menerima kenyataan itu beda tipis. Benarkah? Lalu, bagaimana harus aku bersikap. Setelah sebuah pilihan yang telah aku putuskan beberapa tahun ke belakang.

Entahlah, tapi kurasa alasanku hanya satu. Aku masih belum punya pilihan lain yang lebih baik. Hingga aku menemukan penggantinya maka semua ini masih tetap tak akan berubah, hingga kapan pun.

Mungkin pula, aku terlambat meminta. Ingin bertemu jodoh dan menikah saat usiaku sudah menginjak kepala tiga. Padahal bagi orang lain, sudah meminta hal yang serupa saat dia masih duduk di bangku sekolah atau pada saat kuliah.

Sungguh, bukan aku tak pernah memikirkannya. Tapi, rasanya kenyataan dihadapanku yang tak pernah memberikan kesempatan untuk melakukannya. Aku juga ingin seperti orang lain, ingin menata hidupku sendiri. 

Aku jadi teringat pada obrolanku dengan seorang teman suatu waktu, “Minta jodoh itu, harus rinci dan jelas. Jangan ngasal dan seadanya. Saya juga butuh waktu lima tahun, hingga bertemu istri saya ini.”

Ya Allah,.. Tolonglah, jangan selama itu.
Aku tak sanggup menunggu hingga lima tahun
Sungguh, aku benar-benar membutuhkannya, saat ini.     
 

Senin, 10 September 2012

Silaturahim 1433 H


Ketika Ramadhan akan segera berakhir, sepertinya semua orang mulai sibuk lebaran. Ada yang mulai mempersiapkan mudik ke kampung halaman, sibuk mencari baju lebaran, membuat kue, bahkan beritikaf di sepuluh hari terakhir.
Namun lain halnya denganku. Aku merasa tak ada yang istimewa dengan lebaran kali ini. Semua berlalu begitu saja, tak ada bedanya dengan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin, lantaran beberapa target yang ingin kucapai, terbengkalai di tengah jalan, entahlah.
Tak seperti Ramadhan sebelumnya, hari-hariku dipenuhi dengan sejumlah aktifitas dan kegiatan. Namun kali ini benar-benar berbeda. Kalau tak salah ingat, aku hanya bisa keluar rumah sesekali. mungkin dihitung dengan jari, saking jarangnya. Suntuk juga, ternyata.
   Sejujurnya, aku mulai bosan dengan keadaan di hadapanku. Menghadapi pekerjaan rumah tak pernah ada habisnya, setiap hari.  Ingin rasanya, aku mulai mengubah keadaan. Biar tidak terlalu membosankan seperti saat ini.  
Pagi itu, rumahku masih semerawut. Seperti tahun-tahun sebelumnya, hiporia lebaran hanya terasa pada satu hari jelang lebaran dan keesokannya. Selebihnya, semua terasa biasa sama seperti hari-hari lainnya. Justru lebih sepi dari biasa. Karena ditinggal mudik, silaturahim ke kerabat jauh, tadzkiah kubur atau bahkan ramai-ramai mengunjungi tempat rekreasi.
Di luar dugaan, Kang Adew mengirimiku sebuah sms. Sekedar memberi ucapan Idul Fitri serta mengajakku bersilaturahim ke rumah Uchi, nanti sore. Karena kebetulan masih belum ada agenda lain, aku langsung menyetujuinya.
Bagi orang yang berdomisili di Bandung, seperti kami. Terkadang kami malah bingung hendak pergi ke mana. Sementara teman atau sahabat terdekat sedang asyik bercengkrama dengan keluarganya di kampung halaman. 
Sama halnya, seperti kota besar lainnya. Jalanan di kota Bandung tampak lengang ditinggal penghuninya. Meski tak ada kemacetan yang berarti,  tidak membuat perjalananku menuju ke rumah Uchi lebih lancar dari biasanya. Justru kebalikannya, angkutan umum malah lebih banyak mengetem mencari penumpang.
Hingga akhirnya, aku berhasil sampai juga di tempat tujuan. Rupanya, sudah ada k’Opik, K’Wildan, K’Gun, k’Adew dan Riksa, Mas Agus dan Haris yang sudah datang lebih dulu. Eh tunggu! Kenapa aku merasa ada yang aneh? Tentu saja, cuma aku satu-satunya tamu perempuan yang datang.
Beragam kue dan kudapan terhidang di hadapan. Mulai dari makanan tradisional seperti opak dan rengginang hingga aneka jus serta kue unik, tersaji di hadapan kami. Ada kue keju, kue kacang polong, kue rainbow hingga tart lebaran. Aku begitu tergoda dengan rasa coklatnya yang benar-benar menggugah selera. Belum lagi, ketupat dan rendang yang sudah lama menunggu di ruang makan. Rasanya, semua itu membuat kami enggan pulang.
Tapi malam tak bisa dihindarkan. Gelap sudah semakin pekat di luar. Ditambah perut yang sudah kekenyangan.  Rasa kantuk benar-benar mengajak kami untuk segera pamit pulang.
****

Esok, siangnya aku dan Uchi kembali bertemu. Rencananya, kami berdua hendak  bersilaturahmi ke keluarga almarhumah T’Yuni. Mungkin,  karena rencana yang begitu mendadak, kami tak  bisa mengajak teman-teman lain untuk ikut serta. Hanya berdua pun, sudah cukup mewakili bukan?
Mulanya kami ragu, apa mereka ada di rumah atau malah mudik ke Solo, kampung halamannya. Lagipula, kami juga belum sempat menghubungi Agung adiknya. Tapi, masa sih kami harus balik lagi membawa buah tangan ala kadarnya ini?
Ah sudahlah, kami nekat saja mendatangi rumahnya. Kalau pun mereka benar-benar tidak ada, toh kami masih bisa menitipkannya pada tetangga. Beruntung, mereka masih ada di rumah. Padahal Agung sedang bersiap, akan berangkat ke Solo nanti malam. Andai saja kami datang keesokan harinya, tentu kami takkan seberuntung ini.
Kedatangan kami disambut hangat oleh ayah almarhumah. Kini mereka hanya tinggal berdua. Ternyata begitu banyak hal yang kami perbincangkan saat itu. Mulai dari cerita ayah tentang seputar kisah lebaran, hingga hobi lari marathonnya di masa muda.
Namun diantara sekian banyak obrolan yang ada, hatiku terenyuh saat beliau bilang, “Goreng kacang kegosongan. Bahkan bikin ketupat pun gagal total, alias gak bisa di makan sama sekali..
Ya begitulah, rasanya miris juga saat melihat kondisi rumah tanpa sentuhan seorang wanita. Tanpa terasa, waktu sudah semakin sore. Kami berdua pun berpamitan pulang. Ketika melalui Taman Makam Pahlawan Cikutra, rupanya masih terlihat ramai oleh para peziarah.
Mungkin karena masih dalam suasana Lebaran. Hingga banyak orang yang datang berziarah ke makam keluarga ataupun keluarganya. Apalagi buat orang-orang yang tinggal jauh. Mungkin moment seperti ini, hanya ada setahun sekali.
Banyak pula diantara mereka yang sengaja datang sore. Biar tak kepanasan saat berdesak-desakan di makam, begitu katanya. Maka tak heran bila banyak pedagang yang sengaja memanfaatkan kesempatan ini.
Lihat saja! Pelataran makam yang luas dan biasanya sepi ini. Kini tampak ramai dan dipenuhi oleh para pedagang aneka jajanan pengusir lapar. Bahkan  kalau tak salah lihat, beberapa anak tampak gembira menaiki komidi putar.
Sepertinya, mereka tak ingin melewatkan rezeki yang melimpah begitu saja. Ah, aku jadi tidak mengerti apa niat mereka sebenarnya. Ziarah kubur ataukah rekreasi keluarga yang murah meriah?

Bersambung…

Jumat, 10 Agustus 2012

Wasiat Seekor Nyamuk

Bukan inginku menjadi seekor nyamuk. Semenjak hadir di dunia ini mahluk yang bernama manusia menyebutku begitu. Tapi mereka selalu memusuhi bangsa kami sejak jaman para leluhur hingga anak cucunya seperti aku ini.
Seandainya aku dapat memilih. Aku juga ingin di takdirkan menjadi seorang manusia seperti mereka. Mahluk Allah yang begitu sempurna penciptaan bentuknya, yang diberikan akal pikiran serta diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidupnya. Kadang aku tak pernah mengerti kenapa Allah memberikan begitu banyak anugerah-Nya sedangkan mereka jarang sekali menyadari apalagi sampai mensyukurinya.
Memang, sebagian dari kami  menyebarkan beberapa jenis penyakit seperti: Cikungunya, Demam Berdarah, Malaria, dsb. Tapi tolong diingat, hanya sebagian saja. Tidak semua bangsa kami menjadi penyebar penyakit. Hanya satu dua tetes darah yang kami hisap setiap harinya demi menyambung hidup. Padahal demi mndapatkannya kami harus meregang nyawa setiap saat. Bagaimana dengan manusia, pernahkah mereka  sampai melakukan hal yang sama untuk mendapatkannya? Rasanya tidak. Tapi kenapa mereka selalu mengangggap kami sebagai sumber malapetaka yang menyebabkan kematian. Bukankah penyebab kematian itu bisa datang dari mana saja?
Apa mereka tidak pernah sadar. Dengan adanya mahluk seperti kami, mereka mau membersihkan tempat tinggalnya. Kemudian membuat pabrik obat pembasmi serangga dengan beragam jenis.. Mulai dari yang dibakar, dioles atau dalam bentuk spray sekalipun. Ada juga bentuk yang paling modern  yaitu dalam bentuk elektrik. Sehingga mereka bisa memiliki lapangan pekerjaan  dan mampu menghidupi anak dan istrinya. Membuat asap di dapur tetap mengepul dan anak-anak mereka tidak sampai putus sekolah. Apa semua itu tidaklah cukup?
Andaikan aku dapat memilih, aku juga tidak ingin menjadi seekor nyamuk dan melukai manusia. Mau bagaimana lagi semua sudah menjadi hukum alam bahwa makanan seekor nyamuk itu adalah darah terutama darah manusia.
Sungguh, aku tak pernah menyesal bila ditakdirkan hidup hanya menjadi nyamuk.  Seekor mahluk kecil yang hidupnya hanya sesaat. Kuharap dalam hidupanku yang sesingkat ini, bisa menjadi pengabdianku kepada sang Khaliq daripada menjadi seorang manusia yang hanya bisa berbuat kerusakan dimuka bumi serta menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan-Nya. Semoga…

Tak Lebih Tahu

Awalnya, aku merasa cukup beruntung menjalani kehidupan yang datar-datar saja, pengalaman yang biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa dalam keseharian. Bahkan lebih tepatnya, kehidupan yang kujalani hanyalah menghabiskan waktu dengan menjalani rutinitas.
Prinsip hidupku juga nggak aneh-aneh “Jangan berani mencoba, bila tak ingin terjerumus." Namun kehidupan telah mengajarkanku begitu banyak hal. Bahwa prinsip hidupku selama ini,  ternyata salah. Justru tanpa berani mencoba, kita takkan pernah punya pengalaman apa-apa. 
 Tak ada istilah bolos kuliah, pulang malam, nongkrong di mall, ikutan demo ke sana sini, serta seabrek kegiatan lainnya mampir dalam kamusku. Padahal, sederet kegiatan tersebut tak pernah absen dalam buku agenda teman-teman.
Suatu hari ada salah seorang teman nyelutuk “Hidup lu, garing amat. Emangnya, nyaman dengan semua ini? Gambar aja terasa gak matching kalo cuma item putih. Masa hidup yang cuma sekali ini gak elu warnai juga?”
“Nggak, gua bukan tukang gambar ataupun tukang lukis!” ucapku sambil melengos pergi. Diiringi tatapan kesal darinya, karena gak bisa nerusin ceramahnya kali ini.
Biarpun hatiku rada berasap, jujur kuakui kalo perkataannya memang ada benarnya. Dari bayi sampai segede gini, aku memang dibesarkan di kota kembang tercinta. Tapi kalo ditanya dimana tukang kembang, wuih pasti kelimpungan karena nggak tau. Hmm, dimana ya! Kata orang sih, di seputaran Jl. Dewi sartika, sentra bunga balubur sama daerah cihideung- lembang. Bener nggaknya, aku juga gak lebih tahu.
Dan yang paling bikin aku kelimpungan, kalau beberapa kenalan atau saudara yang tinggal diluar kota, minta diantar berkeliling kota. Tanya ini dan itu, mengenai kota kembang. Namun dari sekian banyak pertanyaan tak pernah jauh dari tempat makan, tempat belanja, tempat wisata, ataupun mesjid.
Mesjid…? Kalau bicara mengenai rumah Allah yang satu ini, aku harus kembali menutup wajah...alias malu. Biarpun, usiaku sudah melampaui seperempat abad tapi pengetahuanku mengenai mesjid-mesjid yang bertebaran di kota kembang ini tak lebih baik dari anak SD.
Semua keindahan dan kemegahan yang ada, hanya dapat aku nikmati melalui media masa serta mendengar apa kata orang. Sepertinya aku harus benar-benar mengubah prinsip hidupku ini. Kalau kita selalu menutup diri dari dunia luar selamanya. Bisa jadi, hidupku ini tak akan pernah berubah, pengalaman yang kumiliki hanya monoton saja. Tak indah dan tak berwarna, seperti kata temanku.
Aku jadi teringat salah satu firman Allah yang mengatakan kalau Allah tak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum dia mengubah nasibnya sendiri. Jadi… aku harus mulai berubah ya… tapi harus mulai dari mana?  
 Hmm mungkin, aku harus memulainya dari hal yang dianggap paling penting yaitu Mesjid. Dari sekian banyak mesjid yang berdiri di kota kembang, ada satu tempat yang membuatku penasaran yaitu mesjid Salman – ITB. Kenapa? Informasi mengenai mesjid yang satu ini agak bersimpang siur. 
Biarpun dari namanya saja sudah terdengar seperti mesjid kampus. Tapi dari informasi yang bisa aku dapatkan kalau mesjid salman ini letaknya berada di luar kampus ITB. Lho kenapa bisa? Kali ini, aku harus membuktikan sendiri kebenarannya.
 Pokoknya, arah angkot  ke mesjid salman itu, lewat dekat rumahmu. Nanti bilang aja, minta turun di mesjid salman, katanya lagi
                Berbekalkan keingintahuan dan petunjuk tak lengkap dari seorang kenalan, aku pergi mencari keberadaan Mesjid Salman tersebut. Hingga satu waktu, angkot yang kutumpangi sudah memasuki kampus ITB tanpa terasa. Ternyata hanya menyisakan aku seorang.
“Mo, kemana neng?” sapa pak supir
“Mo ke mesjid Salman, di mana ya!” akhirnya meluncur juga pertanyaan dari mulutku.
“Mesjid Salman…? Emang ada ya, saya sih gak tahu, neng!”
“Uuh, gimana sih! Tadi waktu ditanyain mesjid Salman, ngangguk,” protesku kesal. “Yaa..udah, saya turun disini aja!  lanjutku lagi.
“Maaf ya neng! Bapak gak bisa bantu. Tapi kalo nggak salah ada sebuah mesjid besar  di depan. Coba cari tahu di sana deh!” ucap sopir itu sembari melarikan angkotnya.
Selepas angkot itu pergi, giliran aku yang bingung, dongkol, kesel dan juga sebel. Berjalan menyusuri jalanan yang sepi, sendirian. Diantara pepohonan besar yang menghiasi tiap sisinya. Kalau melihat lingkaran batangnya yang besar, pasti pepohonan untuk telah hidup lama di tempat itu. Angin kesejukan meraih punggungku.
Ah, segarnya…! rasanya, semua perasaan tak enak ini menguap begitu saja.
Hanya melaju beberapa langkah saja, kaki ini sudah tiba di depan gerbang sebuah mesjid besar. Kuputuskan untuk mampir sebentar kesana sebelum melanjutkan perjalanan.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di halamannya, suasana familiar sudah bisa kurasakan.  Berbagai jenis kegiatan terlaksana di setiap sudutnya. Mulai dari pengajian, kajian, les privat hingga rapat.
Kalau diamati lebih jeli, mesjid ini memiliki keunikan pada bagian atapnya. Bagian atap yang bentuknya dome (kubah), menggunakan balok beton berbentuk cekung yang berprestressed dengan dihiasi kaca patri berwarna. Dan polesan terakhir terletak pada lapisan terluarnya, yang menggunakan kayu sirap. Arsitektur bangunannya, benar-benar yang unik.
Semilir angin membawa sebuah pamlet melayang ke hadapanku. Dari pamplet itu, barulah aku sadari kalau mesjid besar di depan mataku ini ternyata mesjid Salman yang selama ini aku cari. Inilah akhir dari pencarianku, yang kutemukan tanpa sengaja .
****

Salman – ITB, 5 Januari 2006

Hari Kamis

Ketika membaca salah salah satu cerpen seorang teman, jari ini ikut tergerak menguntai kata ^_^

Hari kamis dulu...
paling aku tunggu dari semua hari yang datang menghampiriku.
Ada banyak kisah yang bisa merubah raut wajah dalam sekejap...

Hari kamis dulu...
Antara sukarela atau terpaksa, aku temui teman-teman baru
sambil asyik memunguti tebaran ilmu-ilmu yang bermanfaat

Hari kamis dulu...
Beragam karakter orang yang aku temui.
Mulai dari orang yang begitu peduli, bikin ulah, ngerecokin, temen ngobrol,
temen curhat sampai orang yang bikin aku kesel setengah mati...

Hari kamis dulu...
Hidup ini terasa lebih berwarna, seperti tumpukan permen dalam stoples.
Mmm, yummy!!

Hari kamis sekarang...
Semua itu tak pernah ada lagi.
Terasa aneh memang, seperti ada yang mengambang dan  hilang.
Meski demikian, kehidupan harus tetap bergulir,
dengan atau tanpa adanya mereka disisiku....

Penghujung Ramadhan 1430 H

Hawa yang Beda

Kali ini, terasa ada yang beda
Beda dari hawanya yang tak biasa
                                                                
Di permulaan Ramadhan ini..
Kuhamparkan selembar harap
agar ibadahku tak ternoda
hingga terasa lebih bermakna

Diantara setumpuk luka
dan segenggam kebahagiaan
Kutitipkan keresahan pada dunia
Kutitipkan kerinduan pada manusia
Satu bulan ini saja…

Saat menanti berbuka, 25 Agustus 2009

Kamis, 02 Agustus 2012

Wortel Bantu Cegah Kepikunan

Ghiboo.com  
Salah satu menjaga kebugaran otak ternyata tak hanya dengan senam otak atau permainan yang merangsang kinerja otak. Namun, nutrisi juga diperlukan.
Temuan terbaru menunjukkan bahwa wortel memberikan kebaikan agar otak tetap awet muda. Peneliti dari University of Illinois menunjukkan rutin mengonsumsi wortel membantu menunda penuaan kognitif, seperti berpikir, mengingat dan logika.

Senyawa luteolin menjadi pahlawannya. Senyawa yang juga banyak terkandung dalam minyak zaitun, paprika, seledri, peppermint, rosemary dan chamomile ini mengurangi peradangan otak yang menjadi faktor penyebab masalah memori yang berkaitan dengan bertambahnya usia.

"Sebelumnya kami menemukan, selama masa penuaan, sel-sel mikroglial mengalami penurunan dan mulai memproduksi inflamasi sitokon secara berlebihan. Hal ini berkontribusi pada penuaan kognitif dan menjadi penyebab pengembangan penyakit neurodegenerative (menurunnya fungsi sel saraf)," Rodney Johnson.

Hasil ini sudah diujikan menggunakan tikus. Pada tikus dewasa, asupan luteolin terbukti memberikan berkontribusi pada masalah memori.
"Ketika kami memberikan luteolin pada tikus, zat ini mengurangi peradangan di otak secara signifikan. Pada saat yang sama, memori juga bekerja menjadi lebih baik. Bahkan, kualitas memori otak tikus tua sama dengan tikus muda," jelas peneliti Rodney Johnson dilansir melalui Healthdaynews (2/8).

'Pelangi Api' di Atas Florida Selatan

Oleh Staf OurAmazingPlanet | LiveScience.com

"Pelangi api" atau "fire rainbow" bukanlah api ataupun pelangi, tapi pemandangan ini sangat mengagumkan.

Secara teknis, penampakan ini disebut awan pelangi, fenomena yang sangat jarang dan disebabkan oleh awan serta tetesan air yang ukurannya relatif sama, menurut sebuah pernyataan dari NASA. Awan ini kemudian mengubah arah dan membengkokkan cahaya dengan cara serupa sehingga hasilnya adalah gelombang cahaya dan warna.



Awan ini kemudian menjadi mirip dengan pelangi sebenarnya, yang juga terbentuk oleh difraksi atau pengubahan arah cahaya, dan menghasilkan pola warna yang berganti-ganti dari biru, hijau, merah, ungu, dan kembali ke biru lagi.Fenomena ini tertangkap dalam foto spektakuler pada Selasa (31 Juli) di awan-awan di atas Florida Selatan.

Meski awan pelangi memiliki warna seperti pelangi, cara penyebaran cahaya untuk menghasilkan fenomena tersebut berbeda. Pelangi terbentuk oleh refraksi dan bayangan. Saat cahaya terefraksi, ia dibengkokkan melalui sebuah medium dengan ketebalan berbeda, seperti air atau prisma. Bayangan cahaya meninggalkan permukaan dengan sudut yang sama seperti saat ia jatuh. Difraksi menyebabkan gelombang cahaya tersebar dengan pola seperti cincin.
Sama seperti objek pelangi lainnya, seperti bulu burung merak, warna-warna berubah tergantung pada posisinya terhadap matahari dan objek lain.Fenomena seperti ini biasanya terjadi di awan yang baru terbentuk, dan inilah terjadi di Florida Selatan. Menurut Weather Channel, ada awan-awan pileus yang terbentuk dengan cepat karena badai halilintar mendorong udara ke atmosfer atas melalui lapisan lembap. Hal ini menyebabkan awan seperti asap yang membentuk kubah di atas badai.

Awan pelangi bukanlah circumhorizontal arc, fenomena optik yang terjadi akibat kristal es sehingga membentuk garis-garis warna paralel dengan cakrawala.

B4 Beduk Ramadhan 1433 H


Kalau biasanya, hari-hari Ramadhanku selalu dipenuhi dengan berbagai aktifitas yang menyita waktu. Hingga akhirnya, Ramadhan pun usai tanpa terasa. Tapi kali ini, Ramadhanku terasa beda dari biasanya.
Meski sudah menginjak hari kelima Ramadhan, tak ada satu pun jadwal kegiatan yang sudah masuk dalam agendaku. Rutinitas harianku hanya sebatas mempersiapkan menu sahur dan berbuka puasa bagi kami sekeluarga.
Maka, ketika salah seorang sahabat di FlpBandung mengajakku untuk berbuka puasa bersama pada tanggal 29 Juli nanti di Saung Awi – Gegerkalong, aku setuju saja. Rasanya, sudah cukup lama aku tidak bersilaturahmi dengan mereka.
Beberapa hari berselang, aku juga mendapat info tentang sebuah acara B4 Beduk Ramadhan 1433H yang digagas oleh pak Bambang Trim. Acara ini terselenggara atas kerjasama antara Dixigraf Publishing Service, Penerbit Pandu Aksara serta toko buku Gramedia.
Sebenarnya acara tersebut sudah diadakan lebih dulu di Gramedia Depok pada tanggal 22 Juli lalu. Nah kali ini, giliran Bandung mendapatkan kesempatan yang sama di Gramedia Merdeka pada tanggal 29 Juli ini.
Waah, kesempatan emas nih! Kapan lagi ada pelatihan gratis oleh salah seorang praktisi perbukuan Nasional. Bukan hanya itu, tempat pelaksanaannya tidak begitu jauh dari rumah. Hanya cukup sekali naik angkot dan membutuhkan waktu sekitar 30 menit saja.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung mendaftar. Apalagi jumlah pesertanya yang dibatasi hanya 40 orang. Untunglah, masih ada tempat tersisa untukku. Fuih, aku menarik nafas lega. Tapi kenapa masih ada yang terasa mengganjal di hatiku. Apa ya?
Ya Ampuun, bukannya pada tanggal segitu aku sudah membuat janji lebih dulu dengan teman-teman di FlpBandung? Ah, kenapa aku bisa jadi pelupa seperti ini? Lalu sekarang, sebaiknya aku pilih yang mana? Rasanya, kedua acara itu sama-sama penting untukku.
Hhh, apa aku menyusul saja? Selepas acara B4 BEDUK usai, aku langsung menuju ke Saung Awi. Tapi kan, jalanan sekitar daerah Setiabudhi, Cipaganti selalu macet di akhir pekan. Apalagi saat-saat menjelang waktu berbuka puasa, kemacetan sudah tidak bisa dihindari lagi pastinya.
Lagipula, jarak antara jalan Merdeka dengan daerah gegerkalong itu cukup jauh. Apa mungkin aku bisa tiba di sana hanya dalam waktu 30 menit? Rasanya sungguh mustahil. Kalau sudah begitu, lalu aku bakal berbuka puasa dimana nanti?
Palingan, aku bakal tiba di sana ketika orang lain tengah bersiap melaksanakan shalat Tarawih. Apalagi katanya, Saung Awi ini berada dalam kawasan pesantren Darut Tauhid yang terkenal. Aku langsung menutup muka.
Tak cukup sampai di situ, aku juga harus mampu memprediksi. Kira-kira, hingga jam berapa kami berada di Saung Awi? Sementara itu, aku tak bisa berlama-lama bersama mereka. Aku  harus segera pulang dan siap terjaga mulai pukul dua dini hari.
Dengan berbagai pertimbangan inilah, aku memilih ikut acara B4 BEDUK bersama pak Bambang Trim di Gramedia – Merdeka saja. Sebaiknya, aku segera meminta maaf pada teman-teman di FlpBandung.
****

Satu hari menjelang acara berlangsung, pak Bambang Trim masih mencari seorang moderator untuk acaranya. Dengan iming-iming, akan mendapatkan berbagai keuntungan. Diantaranya: bisa mempromosikan dirinya, mendapat posisi strategis untuk berfoto, mendapat honor serta mendapat kesempatan mengerjakan proyek bersama beliau.
Sungguh, aku begitu tergiur dengan tawarannya yang menggoda. Hanya saja, aku belum pernah menjadi seorang moderator sekalipun. Entah kenapa, tangan ini tergerak untuk segera menulis pesan singkat padanya. Benar saja, dugaanku. Beliau malah menyangka aku bersedia menjadi moderator untuk acaranya. Padahal sebenarnya, aku hanya ingin menyapa beliau saja.
Pak Bambang bilang, apa salahnya kalau dicoba. Format acaranya juga sederhana, santai saja. Ah, benar juga. Kapan lagi aku punya kesempatan langka seperti ini. Apa salahnya aku coba, itung-itung uji nyali. :D
Hingga akhirnya, waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Aku tiba di tempat acara dengan hati berdebar. Bagaimana kalau acara tersebut malah jadi kacau balau gara-gara aku. Ditambah tempat acaranya yang sangat strategis, membuat nyaliku bertambah ciut.
Meski pada awalnya, hampir semua yang hadir itu perempuan, tapi lambat laun  para lelaki pun mulai berdatangan. Ruangan yang sempit pun menjadi penuh sesak hingga ke dekat pintu.
Di luar dugaan, sebagian besar para pesertanya ternyata teman-temanku di Forum Penulis Bacaan Anak. Sehingga aku tidak merasa canggung dan kaku lagi. Acara pun berlangsung dengan seru. Bahkan hingga acara hampir berakhir, masih banyak doorprize yang belum dibagikan. Semua berjalan dengan lancar, Alhamdulillah 
                                                                                          

Sabtu, 28 Juli 2012

Ketulusan, Harta Berharga

Aku masih ingat betul, saat itu. Kau sudah menghubungiku, pagi-pagi sekali. Kau bilang, ada hal penting yang ingin dibicarakan. Kau juga memintaku untuk bertemu di tempat biasa. Aku heran, tak biasanya nada bicaramu seserius itu.
Aku sudah mencoba mencari tahu alasannya, tapi kau masih tetap merahasiakannya. Meski demikian, aku tetap menuruti permintaanmu. Ah, kau membuatku semakin penasaran!
Entah sudah berapa lama aku menunggumu di tempat ini. Pagi pun sudah beranjak menuju siang, tapi sosokmu masih belum kelihatan. Biar begitu, aku akan tetap menunggumu hingga kau datang. Aku mulai gelisah. Ada apa sebenarnya?
Ketika hari menjelang sore, kau baru datang. Biar begitu, kau malah sibuk menyapa sana-sini. Sepertinya, kehadiranku tidak kau hiraukan. Aku menghela nafas. Kesal.
Tak lama berselang, adzan Ashar berkumandang. Aku segera bangkit dan bergegas menuju ke mesjid terdekat.
“Jangan pergi dulu! Urusan kita belum selesai!” cegatmu.
“Aku cuma mau shalat dulu,”
“Oh syukurlah, kukira kau mau pergi ke mana?”
“Kalau begitu, kita bertemu lagi nanti.” katamu lagi.
Usai shalat, aku menunggumu di selasar tapi sosokmu kembali menghilang. Padahal  kaki ini pun sudah mulai terasa pegal dan kesemutan. Rasa penasaran makin memenuhi hati dan pikiranku. Ah, kemana lagi dirimu?
Lambat laun, kau baru muncul. Itu pun masih tetap melanjutkan sapaanmu. Aku mulai heran. Selama aku mengenalmu, tak biasanya dirimu bertindak aneh seperti ini. Hingga akhirnya, aku sengaja bersembunyi di balik tiang. Dengan harapan, kau akan mencariku.
Benar saja. Ketika bayanganku sudah tidak kelihatan, kau baru menyadarinya. Tak lama berselang, kau sudah menghampiriku dan duduk disampingku. Keadaan mesjid yang tadinya ramai, kini mulai berangsur sepi.
“Ada apa?” tanyaku.
“Tunggu sebentar!” ucapmu sambil menunduk.
Kami berdua sama-sama diam, dengan pandangan kosong.
Tanpa kami sadari, keadaan mesjid sudah benar-benar sepi. Saat itulah, kau mulai mengangkat wajah dan membuka rahasiamu.
“Kapan kau akan kembali ke kota hujan?” tanyamu.
Aku menggeleng, “Aku tak akan kembali ke sana. Pekerjaanku sudah selesai.”
Kau menunduk lesu
“Memangnya kenapa?”
“Aku akan pergi mengembara ke kota hujan."
“Tapi, kenapa harus ke kota hujan?”
“Yaa, karena kesempatan pertamaku hadir di kota hujan. Mana mungkin aku membiarkannya begitu saja. Lagipula, kupikir kau masih mengembara di sana. Sehingga kita bisa tetap bersama-sama lagi nanti,” jelasmu panjang lebar.
Kini, giliranku yang menunduk sedih, ”Lalu, aku bagaimana?”
Kau menarik nafas berat,
“Sudah kuduga.” ucapmu lirih.
Aku tergugu. Tahukah kau? Kota hujan telah menyimpan sejuta kenangan untukku. Sebuah kerinduan tersendiri yang tak pernah bisa kuungkapkan.
****

Teman, kita tak pernah tahu rencana Allah untuk kita. Waktu kecil, aku selalu berkhayal bisa melihat kabut di kota hujan. Ah, siapa yang bisa menyangka kalau impianku saat itu bisa menjadi kenyataan.
Untuk sebuah urusan, aku terdampar di kota hujan. Kabar kepergianku yang begitu mendadak, tentu membuatmu terhenyak. Tapi, kapan lagi aku bisa melihat kabut? Bukankah kesempatan itu tak pernah hadir dua kali?
Sebenarnya, aku juga merasa berat meninggalkanmu. Tapi kurasa, masa depanku bergantung pada keputusanku saat ini. Kini mimpiku benar-benar menjadi kenyataan. Menjumpai kabut, telah menjadi pemandangan sehari-hari.
Kau tahu, ternyata kabut itu biasa saja, tak begitu istimewa seperti dugaanku. Justru, ada hal lain yang aku rindukan selain kabut. Aku lebih merindukan dirimu daripada kabut. Kabut itu dingin, tak sehangat dirimu. Kabut itu pendiam, hingga sulit bagiku untuk mengajaknya bercanda.
Apa kau merindukanku? Aku juga. Di sini, aku merindukanmu setiap waktu. Hanya sekedar sms ataupun telepon, rasanya tak cukup untuk mengusir kerinduanku padamu. Ah, aku jadi ingin pulang. Aku sudah tak sabar untuk menunggu hingga semua urusan ini tuntas
Maka ketika perjalanan ini harus kuakhiri, ada perasaan lega menyelinap disanubari. Ingin rasanya, kujumpai dirimu dan duduk disampingmu, seperti dulu. Menikmati rintik gerimis, di tempat biasa. Tapi ternyata, kau sudah tak ada di sana.
Mereka bilang, kau pergi mengembara ke kota hujan. Ah, kenapa harus ke kota hujan segala? Atau jangan-jangan, kau berniat menyusulku ke sana. Benar begitu?
Tak bisakah kau pilih kota lain saja yang lebih menjanjikan? Bukankah, aku baru saja meninggalkannya dengan susah payah. Jangan biarkan aku kembali merindukan dirimu serta kabut di kota hujan.
Ingin rasanya, aku membatalkan semua rencanamu. Tapi, sungguh egois rasanya, bila aku tetap menahanmu di sini. Aku tahu pasti impianmu selama ini. Sesedih apapun, aku akan tetap mendukung keputusanmu.
Sebenarnya, sudah berulang kali kita hidup berjauhan. Aku merasa sedih, setiap kali kau pergi meninggalkanku. Tapi, kali ini terasa ada yang beda. Rasanya, kau akan benar-benar pergi meninggalkanku. Entahlah, kenapa tiba-tiba saja aku merasa begitu.
****

Sesedih apapun diri ini, tapi waktu yang telah berlalu tak akan pernah bisa kembali. Tanpa dirimu, aku merasa kehilangan pijakan. Mungkin, aku terbiasa menyimpan namamu di hati dan pikiranku.
Satu bulan, dua bulan hingga setahun pertama, aku lalui dengan kerinduan. Aku selalu berharap agar kau bisa cepat kembali. Aku baru menyadari betapa berartinya dirimu, bagiku. Jika kau pulang nanti, aku bertekad tak akan membiarkanmu pergi lagi dari sisiku.
Sayangnya, semua harapan itu harus kukubur dalam-dalam. Belum juga genap dua tahun penantian ini. Kau telah memilih orang lain, sebagai permaisuri hatimu. Keputusanmu yang begitu mendadak, benar-benar melukai perasaanku.
Aku sadar, kalau diri ini tak bisa terus mendampingimu di kota hujan. Tapi, apa kau lupa? aku juga manusia yang bisa luka dan kecewa. Sungguh, aku butuh waktu untuk menerima kenyataan, kalau kebersamaan kita telah berakhir.
Kini, kau takkan pernah ada di sampingku lagi. Kau takkan pernah membuatku tersenyum ceria lagi. Dan kau takkan pernah bisa hadir saat aku membutuhkanmu lagi. Kali ini, telah ada orang lain yang menggantikan tempatku di sampingmu.
Orang yang lebih berhak menyayangi dan merindukanmu daripada aku. Sedangkan aku, hanya untuk mengingatmu saja sudah terlarang untukku. Lalu, apa yang seharusnya aku lakukan?
Melangkah mundur dan mencoba menghapus jejak langkahku, kalau perlu. Ataukah tetap bertahan di sini? Jujur kuakui, aku tak mampu berpikir apapun saat ini. Aku tak sanggup memilih diantara keduanya.
Bagaimana pun, kau bukanlah sekedar seorang kekasih bagiku. Kaulah yang telah mengajariku, apa itu kesederhanaan. Kau pula yang selalu mendukungku untuk tetap menjadi diri sendiri, tanpa harus meniru gaya orang lain.
Namun bukanlah dirimu, bila tidak sanggup menyelami perasaanku. Sejauh apapun aku melangkah, sepertinya kau selalu dapat menemukanku. Sedalam apapun aku mengubur perasaan ini, kau pasti sanggup menggalinya.
Seperti diriku yang tak sanggup kehilanganmu, kau pasti merasakan hal yang tak jauh berbeda. Hingga satu waktu, kau mengirimku sebuah sms seperti ini.
“Seberapa lama kau mengenalku. Aku takkan berubah, hanya karena statusku yang berubah.”
Tanpa terasa, ada titik bening yang mulai membasahi pipiku. Aku sungguh terharu membacanya. Meski sudah lama berlalu, aku masih sengaja menyimpannya. Mungkin, nuraniku memang tak bisa dibohongi.
 Aku seperti tersadarkan, bahwa perkenalan kita bukan hanya seumur jagung. Kita telah lama saling mengenal. Bahkan mungkin, kau lebih memahami aku daripada diriku sendiri. Ah, kenapa kepercayaanku cepat tergoyahkan hanya karena emosi sesaat?
Selama ini, kesetiaan dan ketulusanmu sudah jelas terbukti. Semua itu, jauh lebih berharga dari semua kekayaan yang ada di dunia. Dan, tak akan pernah bisa tergantikan oleh apapun. Mana mungkin, aku bisa melupakanmu begitu saja?
Hingga akhirnya, kita berdua sepakat. Untuk tetap meretas persaudaraan, dengan jalan hidup masing-masing. Hidupku juga harus terus berjalan, dengan atau tanpa dirimu. Meski akan terasa sulit untuk mencari pengganti dirimu, tapi aku akan tetap berusaha.
****

Kata orang, janji itu adalah utang. 
Janji diantara aku, kamu dan DIA. Biarlah hanya kita bertiga saja yang tahu, tak perlu melibatkan orang lain. Biarpun akan selalu menjadi mimpi buruk yang melukai perasaan. Tapi janji tetaplah janji, sebuah utang yang harus dipenuhi.
Mengantarkanmu pada bidadari hati adalah janji terberat yang harus aku penuhi. Sungguh di luar dugaan, aku mampu melampauinya. Meski awalnya terasa berat tapi setelah aku jalani, ada kelegaan tersendiri. Mungkin inilah saatnya, ketulusanku tengah diuji.
Waktu terus berlalu tanpa terasa. Kini, usia pernikahanmu sudah menginjak hitungan tahun. Bahkan kini, si kecil telah hadir untuk melengkapi kebahagian kalian. Sementara aku, masih tetap seperti ini, sama seperti dulu.
Meski demikian, aku tak pernah memintamu untuk memenuhi janjimu itu. Biarkanlah semua berlalu apa adanya. Tapi ternyata, kau benar-benar ingin membuktikannya. Selama ini, kau berusaha mencarikan orang yang tepat untukku.
Orang yang bisa kau andalkan untuk menjaga dan melindungiku selamanya. Hingga kau akan merasa tenang, telah meninggalkanku. Kau pasti ingin mengembalikan senyumanku yang telah lama hilang, bukan?
Sungguh, aku sangat berterima kasih padamu. Kuharap, semua usahamu tidak sia-sia. Sekalipun gagal, aku tak akan pernah menyalahkanmu. Hanya satu hal yang perlu kau ingat. Bahwa sebaik apapun orang yang kau pilih itu, takkan pernah bisa menggantikan dirimu di hatiku.
Seperti yang pernah kau katakan sebelumnya, bahwa semua telah selesai, tak perlu kita sesalkan. Biar Allah yang mengatur kehidupanku selanjutnya. Biar Allah yang menentukan pilihan terbaik untukku.
Biarkan semua ketulusan ini menjadi harta berharga bagi kita. Biarkan semua berlalu apa adanya dan tetap menjadi rahasia di hati kita, selamanya.
****


Jalan Braga, April 2012