Jumat, 20 Februari 2015

Demi Sebuah Balas Budi

      Dulu, aku tidak pernah mengerti. Kenapa kau lebih memilih balas budi daripada masa depanmu sendiri. Kini barulah aku pahami, kalau balas budi itu tidak bisa digantikan oleh apapun. Bebannya bisa dibawa hingga mati.
      Beberapa tahun yang lalu, kuliah menjadi cita-cita yang harus aku kubur dalam-dalam. Tapi saat ini, kuliah menjadi aktifitas rutin yang enggan kujalani. Kenapa? Karena semua ini demi balas budi. Demi seorang sahabat yang kebaikannya sudah tak bisa kuhitung dengan jari, yang kebaikannya tak bisa kusebutkan dengan kata-kata.
      Ketika dia memberi tawaran untuk kuliah, aku malah bingung harus menjawab apa. Bukannya aku tidak ingin kuliah, tapi masalahnya kondisi saat ini telah berbeda. Ketika Ibu tiada, maka hidupku juga berubah drastis, mau tak mau.
      Kini, aku harus berperan sebagai Ibu Rumah Tangga yang harus memastikan kondisi rumah baik-baik saja. Mulai dari kebersihan, kenyamanan hingga makanan. Yup, sekarang aku harus menyiapkan makanan untuk orang seisi rumah. Bisa tidak bisa, aku harus turun ke dapur untuk memasak untuk mereka. Dengan memperhitungkan, kalau memasak itu bisa lebih irit dan jauh lebih hygenis, tentunya. Padahal biasanya, aku menyerahkan urusan masak memasak pada Ibu. Karena Ibuku paling pintar memasak, masakannya selalu enak. Paling, aku hanya membantunya sedikit. 
      Di sisi lain, aku juga harus tetap menjalankan tugasku sebagai freelancer, yakni admin di salah satu sekolah online milik seorang penulis terkenal di Indonesia. Biarpun penghasilannya tidak seberapa, tapi aku tetap senang menjalaninya. Karena jadwalnya bisa disesuaikan dengan kesibukan dan padatnya jadwal perkuliahan di kampusku
     Terakhir, kuliahku.. Kampus memang kecil dan terhimpit, meski berada di tengah kota. Tapi kalau urusan tugas dan perkulian, jangan pernah ditanya. Kualitas lulusan kampus kami tidak bisa disepelekan, kami sanggup bersaing dengan para lulusan Universitas ternama.
     Akan tetapi dengan kesibukanku sekarang, aku mulai miris. Rasanya sulit sekali untuk mengejar nilai maksimal seperti teman-temanku yang lain. Terlalu banyak hal yang kupikirkan, terlalu banyak hal yang berseliweran di kepala ini yang ingin kuselesaikan satu-persatu.
     Terkadang, aku merasa tak sanggup dan ingin mengakhirinya sampai di sini. Apakah harus kukubur dalam-dalam saja semua mimpi ini? Toh, sudah aku alami seperti apa rasanya kuliah itu. Aku janji tidak akan menuntut atau beralasan dan tentunya tidak akan merasa penasaran lagi.
     Tapi... jika aku menyerah begitu saja. Apa aku masih sanggup menemuinya dan mengemukakan alasanku. Apa aku tidak malu dengan semua kebaikannya? Rasanya sangat sulit kubayangkan, sungguh aku lebih merasa tidak sanggup lagi bila harus mengecewakan dirinya. Mungkin, aku harus bisa tetap bertahan semampuku. Semua ini, demi balas budi...



Bandung, Februari 2015   


Sebuah Protes Untuk Tuhan



Sebuah protes untuk Tuhan, rasanya kalimat itu pernah kubaca dalam blog seorang teman.
Tapi entah kenapa, aku ingin menuliskannya sekarang. Dengan versi yang berbeda tentunya.
Mungkin semua ini berawal dari kekecewaanku terhadap orang-orang di sekelilingku.

Hya benar, mereka selalu menanyakan hal yang sama. Kapan aku punya seorang kekasih? Kapan aku akan segera menikah. Memangnya, tak ada hal lain yang lebih penting yang bisa mereka tanyakan selain kabar pernikahanku? Lalu keluargaku? Rasanya tak ada bedanya dengan mereka.

Kakakku yang satu, selalu sibuk dengan urusannya sendiri, acuh tak acuh dan selalu kurang respect dengan kondisi adiknya yang tinggal satu-satunya ini. Sedangkan yang lainnya, sama saja. Dia selalu sibuk mencarikan jodoh untukku. Tanpa menayakan pendapatku terlebih dahulu. Aah, itu sangat menyebalkan.  Kenapa dia dan suaminya begitu kompak, berusaha agar aku bisa segera menikah?

It's all okay. Tapi, apa mereka pernah berpikir sedikit saja tentang anaknya yang berada di sini. Seorang anak yang telah mereka telantarkan selama bertahun-tahun lamanya. Anak yang lebih memilih tinggal bersama kakek dan tantenya daripada dengan orang tuanya sendiri. Pernahkah mereka berpikir, bagaimana nasib anak mereka kelak?

Apapun keadaannya, anak itu masih menjadi darah daging mereka dan menjadi tanggung jawab mereka sepenuhnya. Lalu aku bisa apa? Tanganku hanya dua. Sungguh, aku tidak sanggup bila harus menyelesaikan semua beban ini sendiri. Aku tak sanggup menjadisingle parent untuknya. Kalian tahu sendiri, aktifitasku selama ini sudah cukup menguras waktu dan tenagaku. Lalu ditambah dengan
anak itu, apa pantas kalau aku masih berpikir akan pernikahanku, kebahagiaanku?

Kini sepeninggal Ibu, bukanlah kabar gembira yang aku dapatkan. Akan tetapi, kabar yang membuatku terpaku dan tergugu. Awal tahun ini, mereka memiliki bayi lagi. Jujur saja, kebahagian mereka membuatku kecewa. Meski sebenarnya, bayi tersebut tidak berdosa tetap saja. 
Lalu sekarang, nasib anak mereka di sini, bagaimana?
Yaa Tuhaan, benarkah hal ini sudah menjadi ketentuan-Mu?

Satu waktu, salah seorang tetanggaku berkata, "Kamu ini, harusnya menikah bukan kuliah,"
Aku hanya bisa tersenyum getir mendengarnya. Yaa, siapa orangnya yang tidak ingin menikah? Aku juga ingin membangun keluargasendiri seutuhnya, seperti mereka. Aku ingin menggenapkan setengah dien, aku ingin mengubah dosa menjadi pahala. Tapi yang ada, mereka hanya melukai perasaankudan meninggalkanku begitu saja. 
Lalu sekarang, aku harus mencari suami kemana? Hanya satu orang, diantara ratusan ribu orang
yang hidup di dunia ini. Tapi kenapa begitu sulitnya bagiku. Rasanya lebih sulit daripada mencari sebongkah berlian.

Yaa Allah, sampai manakah batas kesabaranku?
Yaa Allah, sampai titik manakah aku harus tetap bertahan?
Yaa Allah, kapankah Engkau akan mengirimkan pendamping hidup untukku?
Yaa Allah, kapankah Engkau akan menurunkan keajaiban-Mu untukku?
Yaa Allah, kapankah Engkau akan mengabulkan semua doa-doaku selama ini?
Yaa Allah... Ya Allah... Ya Allah...