Sabtu, 28 Juli 2012

Ketulusan, Harta Berharga

Aku masih ingat betul, saat itu. Kau sudah menghubungiku, pagi-pagi sekali. Kau bilang, ada hal penting yang ingin dibicarakan. Kau juga memintaku untuk bertemu di tempat biasa. Aku heran, tak biasanya nada bicaramu seserius itu.
Aku sudah mencoba mencari tahu alasannya, tapi kau masih tetap merahasiakannya. Meski demikian, aku tetap menuruti permintaanmu. Ah, kau membuatku semakin penasaran!
Entah sudah berapa lama aku menunggumu di tempat ini. Pagi pun sudah beranjak menuju siang, tapi sosokmu masih belum kelihatan. Biar begitu, aku akan tetap menunggumu hingga kau datang. Aku mulai gelisah. Ada apa sebenarnya?
Ketika hari menjelang sore, kau baru datang. Biar begitu, kau malah sibuk menyapa sana-sini. Sepertinya, kehadiranku tidak kau hiraukan. Aku menghela nafas. Kesal.
Tak lama berselang, adzan Ashar berkumandang. Aku segera bangkit dan bergegas menuju ke mesjid terdekat.
“Jangan pergi dulu! Urusan kita belum selesai!” cegatmu.
“Aku cuma mau shalat dulu,”
“Oh syukurlah, kukira kau mau pergi ke mana?”
“Kalau begitu, kita bertemu lagi nanti.” katamu lagi.
Usai shalat, aku menunggumu di selasar tapi sosokmu kembali menghilang. Padahal  kaki ini pun sudah mulai terasa pegal dan kesemutan. Rasa penasaran makin memenuhi hati dan pikiranku. Ah, kemana lagi dirimu?
Lambat laun, kau baru muncul. Itu pun masih tetap melanjutkan sapaanmu. Aku mulai heran. Selama aku mengenalmu, tak biasanya dirimu bertindak aneh seperti ini. Hingga akhirnya, aku sengaja bersembunyi di balik tiang. Dengan harapan, kau akan mencariku.
Benar saja. Ketika bayanganku sudah tidak kelihatan, kau baru menyadarinya. Tak lama berselang, kau sudah menghampiriku dan duduk disampingku. Keadaan mesjid yang tadinya ramai, kini mulai berangsur sepi.
“Ada apa?” tanyaku.
“Tunggu sebentar!” ucapmu sambil menunduk.
Kami berdua sama-sama diam, dengan pandangan kosong.
Tanpa kami sadari, keadaan mesjid sudah benar-benar sepi. Saat itulah, kau mulai mengangkat wajah dan membuka rahasiamu.
“Kapan kau akan kembali ke kota hujan?” tanyamu.
Aku menggeleng, “Aku tak akan kembali ke sana. Pekerjaanku sudah selesai.”
Kau menunduk lesu
“Memangnya kenapa?”
“Aku akan pergi mengembara ke kota hujan."
“Tapi, kenapa harus ke kota hujan?”
“Yaa, karena kesempatan pertamaku hadir di kota hujan. Mana mungkin aku membiarkannya begitu saja. Lagipula, kupikir kau masih mengembara di sana. Sehingga kita bisa tetap bersama-sama lagi nanti,” jelasmu panjang lebar.
Kini, giliranku yang menunduk sedih, ”Lalu, aku bagaimana?”
Kau menarik nafas berat,
“Sudah kuduga.” ucapmu lirih.
Aku tergugu. Tahukah kau? Kota hujan telah menyimpan sejuta kenangan untukku. Sebuah kerinduan tersendiri yang tak pernah bisa kuungkapkan.
****

Teman, kita tak pernah tahu rencana Allah untuk kita. Waktu kecil, aku selalu berkhayal bisa melihat kabut di kota hujan. Ah, siapa yang bisa menyangka kalau impianku saat itu bisa menjadi kenyataan.
Untuk sebuah urusan, aku terdampar di kota hujan. Kabar kepergianku yang begitu mendadak, tentu membuatmu terhenyak. Tapi, kapan lagi aku bisa melihat kabut? Bukankah kesempatan itu tak pernah hadir dua kali?
Sebenarnya, aku juga merasa berat meninggalkanmu. Tapi kurasa, masa depanku bergantung pada keputusanku saat ini. Kini mimpiku benar-benar menjadi kenyataan. Menjumpai kabut, telah menjadi pemandangan sehari-hari.
Kau tahu, ternyata kabut itu biasa saja, tak begitu istimewa seperti dugaanku. Justru, ada hal lain yang aku rindukan selain kabut. Aku lebih merindukan dirimu daripada kabut. Kabut itu dingin, tak sehangat dirimu. Kabut itu pendiam, hingga sulit bagiku untuk mengajaknya bercanda.
Apa kau merindukanku? Aku juga. Di sini, aku merindukanmu setiap waktu. Hanya sekedar sms ataupun telepon, rasanya tak cukup untuk mengusir kerinduanku padamu. Ah, aku jadi ingin pulang. Aku sudah tak sabar untuk menunggu hingga semua urusan ini tuntas
Maka ketika perjalanan ini harus kuakhiri, ada perasaan lega menyelinap disanubari. Ingin rasanya, kujumpai dirimu dan duduk disampingmu, seperti dulu. Menikmati rintik gerimis, di tempat biasa. Tapi ternyata, kau sudah tak ada di sana.
Mereka bilang, kau pergi mengembara ke kota hujan. Ah, kenapa harus ke kota hujan segala? Atau jangan-jangan, kau berniat menyusulku ke sana. Benar begitu?
Tak bisakah kau pilih kota lain saja yang lebih menjanjikan? Bukankah, aku baru saja meninggalkannya dengan susah payah. Jangan biarkan aku kembali merindukan dirimu serta kabut di kota hujan.
Ingin rasanya, aku membatalkan semua rencanamu. Tapi, sungguh egois rasanya, bila aku tetap menahanmu di sini. Aku tahu pasti impianmu selama ini. Sesedih apapun, aku akan tetap mendukung keputusanmu.
Sebenarnya, sudah berulang kali kita hidup berjauhan. Aku merasa sedih, setiap kali kau pergi meninggalkanku. Tapi, kali ini terasa ada yang beda. Rasanya, kau akan benar-benar pergi meninggalkanku. Entahlah, kenapa tiba-tiba saja aku merasa begitu.
****

Sesedih apapun diri ini, tapi waktu yang telah berlalu tak akan pernah bisa kembali. Tanpa dirimu, aku merasa kehilangan pijakan. Mungkin, aku terbiasa menyimpan namamu di hati dan pikiranku.
Satu bulan, dua bulan hingga setahun pertama, aku lalui dengan kerinduan. Aku selalu berharap agar kau bisa cepat kembali. Aku baru menyadari betapa berartinya dirimu, bagiku. Jika kau pulang nanti, aku bertekad tak akan membiarkanmu pergi lagi dari sisiku.
Sayangnya, semua harapan itu harus kukubur dalam-dalam. Belum juga genap dua tahun penantian ini. Kau telah memilih orang lain, sebagai permaisuri hatimu. Keputusanmu yang begitu mendadak, benar-benar melukai perasaanku.
Aku sadar, kalau diri ini tak bisa terus mendampingimu di kota hujan. Tapi, apa kau lupa? aku juga manusia yang bisa luka dan kecewa. Sungguh, aku butuh waktu untuk menerima kenyataan, kalau kebersamaan kita telah berakhir.
Kini, kau takkan pernah ada di sampingku lagi. Kau takkan pernah membuatku tersenyum ceria lagi. Dan kau takkan pernah bisa hadir saat aku membutuhkanmu lagi. Kali ini, telah ada orang lain yang menggantikan tempatku di sampingmu.
Orang yang lebih berhak menyayangi dan merindukanmu daripada aku. Sedangkan aku, hanya untuk mengingatmu saja sudah terlarang untukku. Lalu, apa yang seharusnya aku lakukan?
Melangkah mundur dan mencoba menghapus jejak langkahku, kalau perlu. Ataukah tetap bertahan di sini? Jujur kuakui, aku tak mampu berpikir apapun saat ini. Aku tak sanggup memilih diantara keduanya.
Bagaimana pun, kau bukanlah sekedar seorang kekasih bagiku. Kaulah yang telah mengajariku, apa itu kesederhanaan. Kau pula yang selalu mendukungku untuk tetap menjadi diri sendiri, tanpa harus meniru gaya orang lain.
Namun bukanlah dirimu, bila tidak sanggup menyelami perasaanku. Sejauh apapun aku melangkah, sepertinya kau selalu dapat menemukanku. Sedalam apapun aku mengubur perasaan ini, kau pasti sanggup menggalinya.
Seperti diriku yang tak sanggup kehilanganmu, kau pasti merasakan hal yang tak jauh berbeda. Hingga satu waktu, kau mengirimku sebuah sms seperti ini.
“Seberapa lama kau mengenalku. Aku takkan berubah, hanya karena statusku yang berubah.”
Tanpa terasa, ada titik bening yang mulai membasahi pipiku. Aku sungguh terharu membacanya. Meski sudah lama berlalu, aku masih sengaja menyimpannya. Mungkin, nuraniku memang tak bisa dibohongi.
 Aku seperti tersadarkan, bahwa perkenalan kita bukan hanya seumur jagung. Kita telah lama saling mengenal. Bahkan mungkin, kau lebih memahami aku daripada diriku sendiri. Ah, kenapa kepercayaanku cepat tergoyahkan hanya karena emosi sesaat?
Selama ini, kesetiaan dan ketulusanmu sudah jelas terbukti. Semua itu, jauh lebih berharga dari semua kekayaan yang ada di dunia. Dan, tak akan pernah bisa tergantikan oleh apapun. Mana mungkin, aku bisa melupakanmu begitu saja?
Hingga akhirnya, kita berdua sepakat. Untuk tetap meretas persaudaraan, dengan jalan hidup masing-masing. Hidupku juga harus terus berjalan, dengan atau tanpa dirimu. Meski akan terasa sulit untuk mencari pengganti dirimu, tapi aku akan tetap berusaha.
****

Kata orang, janji itu adalah utang. 
Janji diantara aku, kamu dan DIA. Biarlah hanya kita bertiga saja yang tahu, tak perlu melibatkan orang lain. Biarpun akan selalu menjadi mimpi buruk yang melukai perasaan. Tapi janji tetaplah janji, sebuah utang yang harus dipenuhi.
Mengantarkanmu pada bidadari hati adalah janji terberat yang harus aku penuhi. Sungguh di luar dugaan, aku mampu melampauinya. Meski awalnya terasa berat tapi setelah aku jalani, ada kelegaan tersendiri. Mungkin inilah saatnya, ketulusanku tengah diuji.
Waktu terus berlalu tanpa terasa. Kini, usia pernikahanmu sudah menginjak hitungan tahun. Bahkan kini, si kecil telah hadir untuk melengkapi kebahagian kalian. Sementara aku, masih tetap seperti ini, sama seperti dulu.
Meski demikian, aku tak pernah memintamu untuk memenuhi janjimu itu. Biarkanlah semua berlalu apa adanya. Tapi ternyata, kau benar-benar ingin membuktikannya. Selama ini, kau berusaha mencarikan orang yang tepat untukku.
Orang yang bisa kau andalkan untuk menjaga dan melindungiku selamanya. Hingga kau akan merasa tenang, telah meninggalkanku. Kau pasti ingin mengembalikan senyumanku yang telah lama hilang, bukan?
Sungguh, aku sangat berterima kasih padamu. Kuharap, semua usahamu tidak sia-sia. Sekalipun gagal, aku tak akan pernah menyalahkanmu. Hanya satu hal yang perlu kau ingat. Bahwa sebaik apapun orang yang kau pilih itu, takkan pernah bisa menggantikan dirimu di hatiku.
Seperti yang pernah kau katakan sebelumnya, bahwa semua telah selesai, tak perlu kita sesalkan. Biar Allah yang mengatur kehidupanku selanjutnya. Biar Allah yang menentukan pilihan terbaik untukku.
Biarkan semua ketulusan ini menjadi harta berharga bagi kita. Biarkan semua berlalu apa adanya dan tetap menjadi rahasia di hati kita, selamanya.
****


Jalan Braga, April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar