“Jika kau ingin mengakhirinya, kamu
harus tegas dari sekarang. Lebih baik ada pihak yang dikorbankan daripada kau
yang terus berkorban selamanya.”
Itulah
saran dari sahabatku, enam tahun lalu. Meski demikian, aku masih belum bisa
mengambil keputusan. Sungguh, aku masih bingung untuk memilih antara ibu dan
keponakan atau mengejar mimpiku sendiri.
Orang
bilang, orang tua itu lebih sayang kepada cucu daripada anaknya sendiri. Jujur
kuakui, bahwa semua itu ada benarnya. Bagi orang yang telah menikah, mungkin
tak masalah. Tapi bagi orang yang masih single
dan tinggal seatap dengan orang tua seperti aku, bisa menjadi dilema
tersendiri.
Ibuku
sangat menyayangi cucu pertamanya. Semenjak bayi, dia memang tinggal bersama
kami. Hal apapun akan dia lakukan hanya demi menyenangkan anak itu. Sekalipun
harus menyusahkan dirinya sendiri ataupun mengorbankan perasaan orang lain
seperti aku.
Sungguh,
aku tidak pernah habis pikir. Sebenarnya apa yang ada dalam kepala ibu. Apa dia
tidak pernah berpikir bagaimana perasaanku. Aku juga masih anaknya, aku juga
masih punya hak yang sama. Tapi kenapa dia masih memberikan perlakuan yang
berbeda terhadapku? Itulah yang membuatku kecewa.
Kau
tahu ibu, kalau sebenarnya semua limpahan kasih sayangmu yang berlebih itu
tidak mendidik baginya. Kini dia tumbuh menjadi pribadi yang manja. Padahal
kita berdua tak akan selalu menemaninya, bukan?
Aku
tahu, anak itu memang tak pernah merasakan kasih sayang orang tuanya yang
tinggal di luar kota. Aku juga tahu, mereka tak pernah memberikan biaya untuk
anaknya sendiri. Tapi bukan begini cara mendidiknya, bu!
Aku
memang seorang perempuan dan belum menikah. Namun, aku bisa merasakan bagaimana
beratnya perjuangan seorang ibu. Kalau boleh jujur, aku tidak ingin berada
dalam posisi ini. Membesarkan seorang anak laki-laki, tanpa sedikitpun
pengalaman yang dimiliki. Tapi mau bagaimana lagi, semua ini terjadi
dihadapanku.
Sementara
kondisi Ayah dan Ibuku saat ini telah
renta. Mana mungkin aku hanya diam dan tidak peduli? Mau tak mau, aku harus
ikut menanggung semua beban ini. Berusaha mencukupi segala kebutuhan hidupnya.
Mengorbankan
begitu banyak hal demi dirinya. Termasuk menghadirkan pendidikan yang baik
untuknya. Meski imbasnya, aku harus menepis segala mimpi yang pernah hadir
dalam benak ini.
****
Tanpa
terasa, sudah hampir belas tahun, aku menjalani semua ini. Lima belas tahun,
bukanlah waktu yang sebentar. Selama itu pula, aku harus mengecek kembali
perasaanku yang sebenarnya. Benar-benar tulus, ataukah hanya terpaksa?
Selama
itu pula, bukanlah titik terang yang aku temui. Melainkan batu cadas yang
membuatku terbentur, bahkan nyaris terpental. Anak itu putus sekolah. Bukan aku
tidak kasihan padanya.
Akan
tetapi, dengan penghasilanku yang seadanya. Sungguh, aku tak sanggup untuk
membagi antara kebutuhan hidup serta biaya sekolahnya. Aku memang tak pernah
meminta apapun darinya. Aku hanya ingin dia menjadi orang baik yang berguna.
Terkadang,
aku mempertanyakan keberadaan orang tuanya, dimana letak tanggung jawab mereka
selama ini? Biarpun begitu, dia tetap saja merindukan kehadiran orang tuanya.
Yaa
namanya juga, anak-anak. Dia tak pernah mengerti, siapa yang salah dan siapa
yang harus dipersalahkan. Aku sangat sedih, jika mengingat hal itu. Rasanya,
perjuanganku selama ini tidak ada artinya sama sekali.
Aku
sadar, dia bukanlah anakku. Aku tak bisa memaksanya untuk tetap berada di
sampingku. Cepat atau lambat, dia pasti akan kembali pada orang tuanya. Andai
tiba masanya nanti, pasti akan sangat menyakitkan bagiku.
Ketika
pikiran egois itu hadir sesaat, ingin rasanya aku pergi meninggalkan mereka.
Ingin rasanya, aku tak perduli lagi dengan segala hal yang berkaitan dengan
anak itu. Tapi, kalau aku pergi. Lalu, bagaimana dengan ibu?
Siapa
yang akan menggantikan tugasnya, mengerjakan semua pekerjaan di rumah ini?
Sementara kondisi tubuhnya, sudah tak sehat lagi. Sungguh, aku tak tega untuk
meninggalkannya.
****
Kau
tahu, aku ingin menangis saat ini. Benar-benar ingin menangis. Bukan lantaran
sedang merindukanmu. Tapi karena aku merasa sedih dengan hidup yang kujalani
ini. Terkadang, aku berpikir sampai kapan akan terus terjebak di dalam
lingkaran seperti ini?
Biarpun
aku sadar betul, kalau semua ini adalah kenyataan hidup yang harus kuhadapi.
Tapi, aku hanya manusia biasa, aku juga ingin mewujudkan impian dan masa
depanku sendiri.
Oh,
dimanakah orang yang benar-benar tulus menerima dan menyayangiku. Orang yang
bisa menjadi tempat sandaran saat aku lelah, orang yang bisa menghiburku saat
aku sedih, orang yang pertama aku ingat bila aku sedang bahagia.
Meski
aku tak pernah tahu, kapan tiba saatnya. Namun, aku tak akan pernah berhenti
berharap dan menunggu orang itu datang menjemputku. Entahlah, siapa dirinya.
Yang jelas, orang itu bukanlah dirimu.
Saat
ini, kau telah memiliki labuhan hati yang lain. Sudah saatnya, aku melupakanmu
dan menghapus jejak langkahmu. Tapi kau bukan hanya sekedar seorang kekasih.
Kaulah orang yang paling aku percaya selama ini.
Ketika
aku bilang tidak apa-apa saat kau pergi meninggalkanku. Sungguh, aku hanya berpura-pura mengatakannya agar kau
merasa tenang dan tidak menghawatirkan aku. Ternyata, hidupku terasa berantakan
setelahnya.
Di
saat hatiku sedang sedih dan terluka seperti ini, tak ada lagi orang yang
menghiburku. Kini, tak ada tempat lain yang bisa aku datangi. Sungguh, aku
benar-benar membutuhkanmu saat ini.
Andai
hidup ini boleh memilih, tentu aku akan memilihmu untuk menemaniku hingga ujung
usia. Tapi ternyata, pilihanku salah. Kemana lagi, aku harus mencari pengganti
dirimu? Sementara aku, bukanlah orang yang pandai mengejar seseorang.
Aku
juga tak pandai membuat seseorang jatuh hati padaku. Aku tak cantik, juga tak
berharta. Aku tak memiliki kelebihan apa-apa. Apalagi keahlian seperti
mereka.Sungguh, aku tak punya hal yang bisa aku banggakan. Lalu, aku bisa apa?
Sementara segala daya upaya telah aku coba. Kencan buta, pernah. Dikenalkan
orang sering malah. Tapi semua tak pernah ada yang bertahan lama.
Aku
jadi curiga, apa mungkin ada yang salah dengan diriku ini? Mungkin aku pernah
melukai perasaan seseorang, tanpa sadar? Atau mungkin, aku terkena hukuman
karma, akibat perbuatanku di masa lalu? Tapi setahuku, agamaku mengajarkan kami
agar tidak berburuk sangka pada siapapun.
Belakangan
ini, beberapa pikiran buruk memang seringkali menghantuiku. Mungkin, gara-gara
aku sering termenung sendiri. Kira-kira, apa yang akan terjadi pada diriku ini
dua atau tiga tahun mendatang? Bagaimana bila saat itu aku masih tetap sendiri?
Ah,
semoga saja ketakutanku ini tidak pernah terbukti.
***
Bandung, Penghujung Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar