Sabtu, 28 Juli 2012

Benar-benar Tulus, ataukah Hanya Terpaksa?

“Jika kau ingin mengakhirinya, kamu harus tegas dari sekarang. Lebih baik ada pihak yang dikorbankan daripada kau yang terus berkorban selamanya.” 
 Itulah saran dari sahabatku, enam tahun lalu. Meski demikian, aku masih belum bisa mengambil keputusan. Sungguh, aku masih bingung untuk memilih antara ibu dan keponakan atau mengejar mimpiku sendiri.
Orang bilang, orang tua itu lebih sayang kepada cucu daripada anaknya sendiri. Jujur kuakui, bahwa semua itu ada benarnya. Bagi orang yang telah menikah, mungkin tak masalah. Tapi bagi orang yang masih single dan tinggal seatap dengan orang tua seperti aku, bisa menjadi dilema tersendiri. 
Ibuku sangat menyayangi cucu pertamanya. Semenjak bayi, dia memang tinggal bersama kami. Hal apapun akan dia lakukan hanya demi menyenangkan anak itu. Sekalipun harus menyusahkan dirinya sendiri ataupun mengorbankan perasaan orang lain seperti aku.
Sungguh, aku tidak pernah habis pikir. Sebenarnya apa yang ada dalam kepala ibu. Apa dia tidak pernah berpikir bagaimana perasaanku. Aku juga masih anaknya, aku juga masih punya hak yang sama. Tapi kenapa dia masih memberikan perlakuan yang berbeda terhadapku? Itulah yang membuatku kecewa.
Kau tahu ibu, kalau sebenarnya semua limpahan kasih sayangmu yang berlebih itu tidak mendidik baginya. Kini dia tumbuh menjadi pribadi yang manja. Padahal kita berdua tak akan selalu menemaninya, bukan?
Aku tahu, anak itu memang tak pernah merasakan kasih sayang orang tuanya yang tinggal di luar kota. Aku juga tahu, mereka tak pernah memberikan biaya untuk anaknya sendiri. Tapi bukan begini cara mendidiknya, bu!
Aku memang seorang perempuan dan belum menikah. Namun, aku bisa merasakan bagaimana beratnya perjuangan seorang ibu. Kalau boleh jujur, aku tidak ingin berada dalam posisi ini. Membesarkan seorang anak laki-laki, tanpa sedikitpun pengalaman yang dimiliki. Tapi mau bagaimana lagi, semua ini terjadi dihadapanku.
Sementara kondisi Ayah dan Ibuku saat ini  telah renta. Mana mungkin aku hanya diam dan tidak peduli? Mau tak mau, aku harus ikut menanggung semua beban ini. Berusaha mencukupi segala kebutuhan hidupnya.
Mengorbankan begitu banyak hal demi dirinya. Termasuk menghadirkan pendidikan yang baik untuknya. Meski imbasnya, aku harus menepis segala mimpi yang pernah hadir dalam benak ini.
****

Tanpa terasa, sudah hampir belas tahun, aku menjalani semua ini. Lima belas tahun, bukanlah waktu yang sebentar. Selama itu pula, aku harus mengecek kembali perasaanku yang sebenarnya. Benar-benar tulus, ataukah hanya terpaksa?
Selama itu pula, bukanlah titik terang yang aku temui. Melainkan batu cadas yang membuatku terbentur, bahkan nyaris terpental. Anak itu putus sekolah. Bukan aku tidak kasihan padanya.
Akan tetapi, dengan penghasilanku yang seadanya. Sungguh, aku tak sanggup untuk membagi antara kebutuhan hidup serta biaya sekolahnya. Aku memang tak pernah meminta apapun darinya. Aku hanya ingin dia menjadi orang baik yang berguna.
Terkadang, aku mempertanyakan keberadaan orang tuanya, dimana letak tanggung jawab mereka selama ini? Biarpun begitu, dia tetap saja merindukan kehadiran orang tuanya.
Yaa namanya juga, anak-anak. Dia tak pernah mengerti, siapa yang salah dan siapa yang harus dipersalahkan. Aku sangat sedih, jika mengingat hal itu. Rasanya, perjuanganku selama ini tidak ada artinya sama sekali.
Aku sadar, dia bukanlah anakku. Aku tak bisa memaksanya untuk tetap berada di sampingku. Cepat atau lambat, dia pasti akan kembali pada orang tuanya. Andai tiba masanya nanti, pasti akan sangat menyakitkan bagiku.
Ketika pikiran egois itu hadir sesaat, ingin rasanya aku pergi meninggalkan mereka. Ingin rasanya, aku tak perduli lagi dengan segala hal yang berkaitan dengan anak itu. Tapi, kalau aku pergi. Lalu, bagaimana dengan ibu?
Siapa yang akan menggantikan tugasnya, mengerjakan semua pekerjaan di rumah ini? Sementara kondisi tubuhnya, sudah tak sehat lagi. Sungguh, aku tak tega untuk meninggalkannya.
****

Kau tahu, aku ingin menangis saat ini. Benar-benar ingin menangis. Bukan lantaran sedang merindukanmu. Tapi karena aku merasa sedih dengan hidup yang kujalani ini. Terkadang, aku berpikir sampai kapan akan terus terjebak di dalam lingkaran seperti ini?
Biarpun aku sadar betul, kalau semua ini adalah kenyataan hidup yang harus kuhadapi. Tapi, aku hanya manusia biasa, aku juga ingin mewujudkan impian dan masa depanku sendiri.
 Oh, dimanakah orang yang benar-benar tulus menerima dan menyayangiku. Orang yang bisa menjadi tempat sandaran saat aku lelah, orang yang bisa menghiburku saat aku sedih, orang yang pertama aku ingat bila aku sedang bahagia. 
Meski aku tak pernah tahu, kapan tiba saatnya. Namun, aku tak akan pernah berhenti berharap dan menunggu orang itu datang menjemputku. Entahlah, siapa dirinya. Yang jelas, orang itu bukanlah dirimu.
Saat ini, kau telah memiliki labuhan hati yang lain. Sudah saatnya, aku melupakanmu dan menghapus jejak langkahmu. Tapi kau bukan hanya sekedar seorang kekasih. Kaulah orang yang paling aku percaya selama ini.
Ketika aku bilang tidak apa-apa saat kau pergi meninggalkanku. Sungguh, aku  hanya berpura-pura mengatakannya agar kau merasa tenang dan tidak menghawatirkan aku. Ternyata, hidupku terasa berantakan setelahnya.
Di saat hatiku sedang sedih dan terluka seperti ini, tak ada lagi orang yang menghiburku. Kini, tak ada tempat lain yang bisa aku datangi. Sungguh, aku benar-benar membutuhkanmu saat ini.
Andai hidup ini boleh memilih, tentu aku akan memilihmu untuk menemaniku hingga ujung usia. Tapi ternyata, pilihanku salah. Kemana lagi, aku harus mencari pengganti dirimu? Sementara aku, bukanlah orang yang pandai mengejar seseorang.
Aku juga tak pandai membuat seseorang jatuh hati padaku. Aku tak cantik, juga tak berharta. Aku tak memiliki kelebihan apa-apa. Apalagi keahlian seperti mereka.Sungguh, aku tak punya hal yang bisa aku banggakan. Lalu, aku bisa apa? Sementara segala daya upaya telah aku coba. Kencan buta, pernah. Dikenalkan orang sering malah. Tapi semua tak pernah ada yang bertahan lama.
Aku jadi curiga, apa mungkin ada yang salah dengan diriku ini? Mungkin aku pernah melukai perasaan seseorang, tanpa sadar? Atau mungkin, aku terkena hukuman karma, akibat perbuatanku di masa lalu? Tapi setahuku, agamaku mengajarkan kami agar tidak berburuk sangka pada siapapun.
Belakangan ini, beberapa pikiran buruk memang seringkali menghantuiku. Mungkin, gara-gara aku sering termenung sendiri. Kira-kira, apa yang akan terjadi pada diriku ini dua atau tiga tahun mendatang? Bagaimana bila saat itu aku masih tetap sendiri?
Ah, semoga saja ketakutanku ini tidak pernah terbukti.
***


Bandung, Penghujung Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar