Senin, 20 Juni 2011

Dua kurcaci dan Buah Persea

Suatu ketika, di suatu daratan rendah yang bernama “lembah bahagia” senja hampir saja tiba hingga cahaya matahari sudah semakin meredup. Jari dan kelingking, dua kurcaci bersaudara pun hendak beristirahat di dalam rumah mereka.
Namun, telinga kelingking yang terlihat lebih panjang masih terus bergerak. Kalo begitu, biasanya ada benda asing berada di sekitarnya. Kelingking mencoba menajamkan pendengarannya.
“Ling, kenapa kau diam saja disitu? Segera tutup jendelanya!” Jari mulai tak sabar.
“Sebentar! Apa kau mendengar sesuatu?” tanya kelingking.
“Mendengar apa?” jari balik bertanya sambil mengusap-usap perutnya yang agak buncit
“Stt… dengarkan baik-baik. Kurasa, ada suara tangisan.”
“Tangisan? Yang benar saja. paling juga suara jangkrik
“Ah, bukan. Suara jangkrik tidak begitu.”
“Lalu, suara apa dong?”
“Entahlah, tapi suara itu terdengar begitu menyayat hati, aku jadi ikut bersedih.”
“Tapi… siapa? Bukankah tidak satu pun penghuni lembah ini yang tidak merasa bahagia.”
“Lalu?”
“Kita cari sumber suara itu!”
Jari dan Kelingking saling berpandangan
“Kau saja yang menyelidik, Ling!” perintah Jari.
“Aku? Kenapa harus aku?” protes Kelingking yang penakut
“Kita lihat berdua saja, ya!” pintanya lagi.
Jari dan kelingking begitu terpukau melihat seorang gadis cantik sedang duduk sendirian tak jauh dari rumah mereka.
“Ling, ada manusia!”
“Benar. Cantik sekali dia!”
Kemudian, kedua kurcaci itu mencoba mendekat namun mereka tak berani menyapanya. Lambat laun, Putri Adisya menyadari kalau ada mahluk lain berada di dekatnya. Dia pun buru-buru menyeka air matanya.
“Ka.. kalian siapa?”
“Kami bangsa kurcaci yang menempati lembah ini sejak lama.”
Putri Adisya mulai menggeser letak duduknya di atas sebatang pohon kayu yang tumbang.
“Jangan takut putri, kami tak akan melukaimu.”
“Sungguh, aku sangat bingung dan takut. Aku tak tahu harus pergi kemana lagi.”
“Kalau begitu, bermalamlah di tempat ini.” ajak Jari
“Benarkah? Aku, bolehmenginap disini malam?” tanya putri Adisya ragu.
Kedua kurcaci itu mengangguk bersamaan
“Tapi… mungkin tempat kami ini tidak senyaman rumahmu di istana.”
“Tak apa, yang penting aku punya rumah di lembah ini.
“Berarti kita berteman?
“Yaa.. berteman.”
“Kenalkan namaku Jari. Ini saudaraku, namanya Kelingking.”
“Oh ya, kenalkan. Namaku Putri Adisya.”
“Kenapa kau bisa berada ditempat ini, putri?”
“Aku diasingkan oleh ayah ibuku.”
“Diasingkan? Kenapa?”
“Dulu, ada seorang sakti yang ingin merebut kerajaan ayahanda. Namun karena keserakahannya, dia tak berhasil merebutnya. Namun, dia mengutukku. Ketika aku mulai remaja maka kulitku akan menjadi kering dan bersisik hingga aku tidak bisa cantik lagi.”
“Tapi, menurutku kau masih tetap cantik!”
“Kutukan ini akan bereaksi bila kulitku terkena sinar matahari. Makin lama, sisik itu makin banyak dan melebar. Hingga kedua orang tuaku terpaksa mengasingkan diriku.”
“Lalu, kenapa Raja dan permaisuri memilih tempat ini?
“Konon katanya, penghuni lembah bahagia tak pernah merasa sedih. Aku pun diungsikan ke lembah ini, Dengan harapan aku tidak akan bersedih lagi. Padahal, semua tak ada bedanya bagiku. Aku masih sangat sedih.”
“Jangan bersedih putri, kan masih ada kami berdua yang akan menemanimu.”
“Benar.”
***

Pagi-pagi sekali, kedua kurcaci itu sudah bangun, tapi mereka heran melihat putri sudah duduk di dekat perapian sisa semalam.
“Hoam.. Eh putri, tidurmu tak nyenyak ya!” sapa jari sambil menguap.
“Bukan begitu, tidurku sangat nyenyak sampai-sampai aku bermimpi aneh!”
“Memang, putri bermimpi apa?” Kelingking ikut penasaran.
“Aku bermimpi bertemu dengan seorang peri baik hati. Peri itu bilang, kalau penyakitku hanya bisa disembuhkan oleh buah ajaib yang bernama persea.” terang putri Adisya.
“Persea? Buah sejenis apa itu?”
“Entahlah, aku sendiri belum pernah mendengar nama buah itu.”
“Tapi… bagaimana kita mencarinya bila kita tak tahu seperti apa bentuknya?”
“Hmm, apa ada hal lain yang dikatakan peri selain itu?” selidik Kelingking.
“Mmm, apa yaa? Oh ya, dia juga sempat mengatakan terbaik diantara terburuk tapi apa maksudnya? aku tak mengerti.”
“Ooh, lantaran itukah putri jadi tak bisa tidur?”
“Iya. Aku ingin segera terbebas dari kutukan ini. Tapi.. bagaimana bisa, aku menemukan penyembuh itu?” putri Adisya mulai putus asa.
“Sabar putri! Kami akan membantumu untuk mencari pohon itu.” hibur Jari.
“Aku ikut!” putus putri Adisya.
“Jangan, lembah ini tak cukup aman untuk putri. Sedsngkan kami sudah hafal benar dengan keadaan di luar.”
“Benar.”
“Tapi, apa yang bisa aku lakukan untuk kalian?”
“Putri bisa membereskan rumah kami,” celutuk kelingking
“Huus..”
Kelingking meringis, ketika kakinya diinjak oleh telapak kaki Jari yang besar-besar itu. Putri tersenyum, melihat tingkah kedua sahabat barunya.
“Kalau begitu, kami segera pergi.”
“Hati-hati, teman-teman! Semoga berhasil!”
***

Sudah seharian penuh, jari dan kelingking berjalan tanpa tujuan. Mereka hampir putus asa karena buah persea itu belum juga mereka temukan.
“Hai Peri! Kalau memang benar kau mau menolong, bantu kami untuk menemukan buah itu!” Kelingking berteriak lantang.
“Teruslah berjalan ke arah barat. Nanti kalian akan menemukan sebuah pohon yang besar.” Jawab suara yang menggema namun terdengar lembut.
“Bagaimana kami tahu, kalau itu buah yang dimaksud?”
“Dia sudah tahu kalian akan datang.” ucap suara itu lagi
Jari dan kelingking kembali meneruskan perjalanannya. Mereka terus berjalan ke arah barat hingga tiba di depan sebuah pohon besar.
“Pasti, inilah pohon yang dimaksud.”
Jari buru-buru melangkah mendahului Kelingking, namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti.
“Ih…” ucap Jari sambil bergidik. Dia mulai melangkah mundur.
“Kamu kenapa?”
“Ling, apa benar ini pohonnya?” tanya Jari ragu
“Seharusnya sih, begitu.”
“Tapi… ko banyak ulatnya sih? Lihat, daun-daunnya sampe keropos begini!”
“Bagaimana bisa menyembuhkan putri kalau dia sendiri nggak bisa menjaga dirinya sendiri.” Lanjut Jari lagi.
Tiba-tiba saja, salah buahnya terjatuh tak jauh dari kaki kelingking. Kelingking segera jongkok untuk memungutnya.
“Hai, jangan kau ambil!” perintah suara asing
“Si.. siapa kamu? Tunjukkan dirimu, jangan sembunyi seperti ini!” tantang Kelingking.
“Aku adalah persea, pohon yang berada dibelakangmu.”
“Maafkan kami. Kami tidak bermaksud untuk mencurinya darimu.” ucap kelingking lagi.
“Yaa… aku tahu. Kalian sedang mencari buah persea milikku kan?”
“Benar. Kami hanya ingin mengambilnya sedikit saja untuk Putri Adisya.”
“Aku juga ingin membantu menyembuhkan putri. Berkat jasa dari baginda raja, tanah disekitarku menjadi gembur seperti ini.”
“Lalu, kenapa kau melarang kami memungut salah satu buahnya?”
“Bukan begitu. Maksudku, buah yang kalian ambil itu masih muda. Itu tak bagus.”
“kalau begitu, beritahu kami buah yang bagus itu seperti apa?”
“Buah yang bagus itu, buah yang telah matang, sangat berkhasiat untuk merawat kecantikan kulit.”
“Ooh begitu, tapi.. bagaimana kami mengambilnya, bila batangmu dipenuhi ulat?”
“Itu sih gampang. Kalian perhatikan ya!”
Kemudian, pohon persea sedikit menggoyang salah satu batangnya sebentar. Ajaibnya, buah-buah persea yang telah matang dan sehat langsung berjatuhan.
“Nah, ambilah! Semoga Putri Adisya cepat sembuh” ucap pohon persea. “Dan kalian, jangan lupa untuk berdo’a.” tambahnya lagi.
“Terimakasih tuan Persea. Karena hari sudah sore, sekarang kami pamit pulang!”
Jari dan Kelingking kembali meneruskan perjalanan pulang. Mereka berdua terlihat begitu bersemangat, rasa lelah sudah tak mereka hiraukan lagi. Sedangkan tuan Persea sangat bersyukur. Biarpun dirinya sering diejek karena tubuhnya selalu dipenuhi ulat namun buah miliknya ternyata bisa dibutuhkan oleh manusia, terutama putri Adisya.
***

Basecamp, 9 Juni 2010

Penyesalan Tini

Semenjak mimih pergi menjadi TKW, Watini terpaksa tinggal bersama kakeknya di kampung. Ayahnya sudah lama meninggal, saat dia masih bayi. Watini sendiri, tak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya.
Terkadang, Tini berharap seandainya waktu bisa diputar mundur. Meski mimih hanya menjadi buruh cuci dan tinggal di petak kardus di pinggiran sungai, tapi setidaknya mereka selalu bersama. Mimih selalu ada untuk Tini, kapan pun dia memerlukannya.
Kini, Tini tak pernah tahu kabar Mimih disana. Kerinduannya harus terhalang oleh jarak yang begitu jauh. Tak hanya itu, Tini juga kangen dengan teman-temannya sesama pengamen jalanan. Ingatannya jadi melayang ke masa silam, saat mereka harus bersimbah peluh karena sama – sama dikejar kamtib.
Ah, bagaimana nasib mereka saat ini, ya!
Sungguh berbeda dengan kehidupan yang dia jalani saat ini. Meski sudah hampir setahun, tak ada hal lain yang berarti selain sekolah. Setiap kali membuka mata, semua masih tampak sama seperti ketika pertama kali Tini menginjakkan kaki di tempat ini.
Tak ada yang istimewa. Apa yang dilihat dan didengarnya hanya hanya itu-itu saja. Tak pernah jauh dari kokok ayam… buka mata… mandi… dan memberi makan ayam. Kemudian dilanjutkan dengan menyapu kebun belakang, sebelum akhirnya pergi ke sekolah.
“Uuh, membosankan!” gerutunya.
“Tini! kamu ada dimana?” panggil kakek.
Suara kakek yang terdengar tiba-tiba, membuyarkan lamunannya seketika.
“Tinii!” panggil kakek sekali lagi. Kali ini, nada suaranya terdengar lebih tinggi. Kalau sudah seperti itu, berarti kakek sedang kesal.
“Aduh, gawat! Kakek pasti marah nih!” kata Tini was – was.
Namun belum sempat Tini berbalik, tubuh rentanya sudah berdiri di belakang punggungnya. Kontan, Tini terperanjat hingga beras dan dedak yang ada di nampan tumpah dan tercecer di depan kandang ayam.
“I.. Iya, kek!” jawab Tini tergagap.
“Ya ampun, tumpah lagi?” seru kakek. Matanya semakin melotot, kacamatanya hampir saja loncat dari batang hidungnya.
“Maaf.. Tini tidak sengaja!” sesal Tini
“Lho, ko bengong! Ayo pungutin..!” hardiknya lagi.
Gara- gara kecerobohannya ini, tugas Tini menyapu halaman belakang menjadi berlipat, hampir saja dia terlambat pergi ke sekolah.
“Uuh, kakek pelit! Beras yang udah jatuh itu kan kotor, masa harus dipungut lagi?” gerutunya.


Tadi pagi, Tini benar-benar kesal. Meski sudah bercanda dengan teman-temannya di sekolah tapi perasaan kesal dihatinya masih tak kunjung hilang. Maka saat tiba di rumah, Tini buru-buru masuk kamar dan mengunci diri di dalamnya. Begitu juga waktu kakek memanggilnya tadi, Tini tidak menyahut dan pura-pura tidur.
Sementara itu, di kebun belakang anak-anak sudah berkumpul. Di pekan terakhir setiap bulannya, kakek sengaja mengumpulkan anak-anak untuk mendengarkan dongengnya. Kebiasaan seperti itu sudah ada, jauh sebelum Tini datang ke tempat itu.
“Kek, hari ini mau mendongeng apa?” tanya Udin
“Terserah kalian! Kakek punya banyak dongeng kok,”
“Horee…,” seru anak- anak bersok sambil bertepuk tangan
“Gimana kakek saja, yang penting ceritanya bagus.” celutuk Reni.
“Baiklah, tapi kalian harus duduk tenang mendengarnya. Jika tidak, kakek tidak mau meneruskan ceritanya.”
“Siaap…,” seru anak-anak kompak.
Kemudian kakek Iskandar pun memulai ceritanya, “Suatu waktu, di sebuah negeri mengalami musim paceklik berkepanjangan. Putri sangat sedih melihat rakyatnya kelaparan. Lalu putri tersebut terus berdo’a agar masa paceklik itu segera berakhir.” tutur Kakek sembari menghela nafas.
“Sayang, Tuhan belum juga mengabulkan do’anya. Namun putri tak mau cepat menyerah, dia terus saja berdo’a putri hingga kelelahan dan akhirnya tertidur. Ternyata putri tak pernah bangun dari tidurnya. Rakyat sangat sedih mendengar berita kematian putri”
Sementara itu Dari dalam kamar, Tini ikut menyimak diam-diam. Meski telinganya sudah ditutup bantal namun suara kakek masih juga terdengar. Sebenarnya, Tini paling suka dongeng. Dulu, mimih sering mendongeng untuknya. Dia tak pernah menyangka kalau bakat mendongeng mimih miliki itu ternyata diwariskan dari kakek.
Tini merasa sangat menyesal. Kali ini dia merutuk dirinya sendiri. Kenapa tadi pagi dia harus marah-marah. Ujung-ujungnya, dia sendiri yang rugi, tidak bisa mendengarkan dongeng kakek dari dekat bersama teman-teman barunya. Coba kalau tidak begini, Tini pasti sudah berada diantara mereka dan duduk paling depan.
“Waah, kasihan putri itu ya!” celutuk Udin.
“Pst… jangan berisik! Dengar dulu, lanjutan ceritanya,” timpal Reni.
Kakek Iskandar diam, menunggu anak-anak tenang. Setelah itu, barulah dia mulai melanjutkan ceritanya, “Tak lama berselang, sejenis rumput yang tak biasa tumbuh di atas pusara sang putri. Hingga satu waktu, sepasang kakek nenek pencari kayu bakar menemukannya. Keindahan rumput itu, menarik perhatian keduanya. Maka mereka memutuskan untuk memelihara dan membawanya pulang.”
“Keduanya terus merawatnya dengan sabar dan tekun. lambat laun, rumput yang berwarna kehijauan itu mulai menguning. Tiap batangnya terdiri dari beberapa bulir yang makin lama semakin merunduk.”
“Kakek dan nenek itu begitu penasaran melihat bulir yang makin menggembung setiap hari. Lalu, mereka mulai mencicipinya lebih dulu. Ternyata isinya putih, kecil dan semu manis rasanya. Karena keras, si nenek memasaknya hingga matang. Ternyata rasanya lebih enak kalau matang.”
“Kemudian, keduanya segera memberitahukan rumput tersebut kepada para penduduk. Mereka pun berduyun duyun mengikuti saran keduanya. Sejak saat itu, penduduk negeri tak pernah kelaparan lagi. Mereka juga mengganggap kalo tumbuhan padi itu merupakan penjelmaan dari putri tadi.”
“Kek, tumbuhan itu masih ada disekitar kita?” sela Udin
“Tentu saja. Tumbuhan itu masih tumbuh subur hingga kini.”
“Jadi penasaran, tanaman apa, ya?” kata Udin
Kakek hanya tersenyum sambil membuka peci miliknya lalu mengenakannya kembali.
“Ayo, kalian tebak sendiri!” pancing kakek.
Anak-anak berlomba untuk berpikir, termasuk juga Reni. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling kebun, hingga matanya tertuju ke sisi kanan kebun, tempat dimana kakek mengandangkan semua ayam-ayamnya.
“Kecil… keras… berwarna putih! Ko seperti beras ya?” celutuk Reni
“Tepat!”
“Benarkah? Padahal Reni hanya mengira-ngira saja lho!” ucapnya bangga.
“Kek, boleh tanya nggak?”
Kakek mengangguk mengiyakan.
“Kenapa sih, adit suka dimarahin kalo makan gak dihabisin?”
Entah kenapa, pertanyaan Adit kali ini seperti yang menyentil hati Titi. Jantung Titi mulai berdegup tak teratur. Ada perasaan bersalah mulai mengalir di tubuhnya.
“Deg.. ko, pertanyaannya kayak yang nyindir aku sih?” bathinnya.
“Kalo makanannya gak dihabisin nanti putri tadi bakal menangis?” celutuk Udin.
“Bukan begitu, semua itu hanyalah cerita. Sebenarnya kisah tadi tak pernah ada. Tumbuhan padi telah Allah ciptakan, untuk memenuhi kebutuhan makan manusia.” Kakek menjelaskan.
“Lalu, kenapa kita tak boleh membuang-buang makanan?” tanya Adit lagi.
“Karena membuang-buang makanan itu adalah tindakan mubazir yang dilarang oleh agama.” jelas kakek lagi
Watini merasa menyesal, telah berburuk sangka pada kakek. Hanya berselang menit, Titi sudah berlari meninggalkan kamarnya dan buru-buru menghampiri kakek dengan mata yang masih basah.
“Kek, maafkan Tini, ya!” ucap Tini sambil memeluk kakek.
Kakek tersenyum lega, karena cucu kesayangannya sudah menyadari kekeliruannya. Sedangkan beberapa pasang mata yang ada di sana terheran-heran melihatnya. Kenapa dongengnya berakhir seperti ini??


Bandung, 7 Juni 2011

Rabu, 15 Juni 2011

Manfaat buah Kiwi

TRIBUNNEWS.COM - Hasil sebuah penelitian mendalam di bidang kesehatan yang baruwanita juga bisa dipicu dengan mengonsumsi buah-buahan, terutama buah mengandung vitamin C berkadar tinggi. menunjukkan, kehamilan pada seorang

Dengan demikian, kesuburan seorang ibu atau istri yang ditunjang dengan suami yang sehat ditambah dengan kebiasaan memakan buah-buahan yang mengandung vitamin C yang tinggi akan semakin membuka peluang terjadinya kehamilan yang pasti diidamkan atau didambakan satu pasangan suami-istri.

Dokter spesialis gizi klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dokter Fiastuti Witjaksono MS, Sp. GK di Jakarta baru-baru ini memberi contoh bahwa mengkonsumi buah kiwi Zespri patut dijadikan pertimbangan bagi seorang wanita yang ingin segera hamil.

Fiastuti Witjaksono memberikan alasan vitamin C pada kiwi adalah dua kali lipat dari jeruk dan lima kali lebih banyak dari apel. Unsur Buah-buah yang mengandung vitamin C kaya akan asam folat yang bermanfaat bagi ibu yang ingin hamil dengan mudah. Asam Folat itu bermanfaat bagi ibu yang ingin hamil dan memiliki "glycaemic indeks" yang rendah sehingga aman bagi penderita diabetes.

Vitamin C itu dibutuhkan wanita di usia 19-30 tahun untuk batas normal 45 mg per hari, kehamilan membutuhkan 60 mg per hari dan menyusui sebanyak 85 miligram per hari. Vitamin merupakan suatu molekul yang sangat diperlukan tubuh untuk proses metabolisme dan pertumbuhan yang normal. Karena itu, peran vitamin C sangat besar dalam tubuh sebagai antioksidan dan kofaktor dalam pembentukan kolagen dan hormon.

Selain itu juga dapat meningkatkan sistem imun tubuh untuk mencegah berbagai penyakit. Manusia harus menerima asupan makanan yang bergizi seperti daging, ayam, telur dan sayur-mayur serta didukung oleh buah-buahan yaitu buah kiwi, jeruk, dan apel, maka yang disebut empat sehat lima sempurna terpenuhi.

Buah-buahan bagi manusia merupakan kebutuhan primer karena tanpa buah maka asupan yang diterima tubuh kurang mendukung pertumbuhannya.