Minggu, 03 Oktober 2010

Tikus Got

Dulu, almarhum kakek pernah bercerita kalau tikus sawah itu ukurannya lebih besar dari tikus rumahan yang ukuran tubuhnya paling hanya sebesar ibu jari. Jika padi mulai membesar dan menguning, tikus-tikus itu semakin betah tinggal di sawah dengan membuat lubang-lubang persembunyian.

Namun jika tiba masa panen, tikus-tikus itu akan mulai berkeliaran ke kampung membuat masyarat resah. Mungkin karena mereka sudah merasa kehilangan sumber makanan serta tidak ada lagi tempat persembunyian yang aman. Jangan khawatir, sebab jika tibanya masa tanam padi, tikus-tikus itu akan kembali ke sawah.

Sekarang, tak hanya di kampung saja kita dapat menemukan tikus-tikus besar. Di kota pun sering kita temukan tikus seperti itu. Ukuran tubuhnya hampir menyamai ukuran kucing dewasa. Bahkan kucing dewasa pun enggan untuk bertarung dengannya. Orang menamakannya ‘tikus got’ sebab sering ditemukan di sekitar got atau saluran air lainnya.

Allah tak pernah membuat suatu hal itu tanpa ada maknanya, tapi aku masih belum memahami apa ‘tikus got’ ini mempunyai manfaat bagi kita semua? Rasanya lebih banyak merugikannya daripada menguntungkan. Benar tidak? Misalnya mengganggu ketenangan, memangsa hewan peliharaan, merusak tembok, mencuri makanan dan masih banyak lagi yang lainnya.

Seringkali kita kehabisan cara untuk menangkapnya. Acara kejar-kejaran pun terjadi. Mirip tayangan di televisi. Pada akhirnya tetap saja yang menjadi pemenangnya masih si ‘tikus got’ ini. Walaupun manusia sudah sekolah setinggi langit, tapi tetap saja kalah cerdik dari tikus yang tak pernah sekolah.

Bingung dan serba salah kita dibuatnya. Dengan cara apalagi kita menangkapnya. Menggunakan perangkap? Umpannya malah hilang, lem? Gak mempan. Malah hewan lain yang tak berdosa ikut kena getahnya. Racun? (eh pembunuhan nggak yah?). Aduh bukannya meringankan tapi malah menyiksa. Orang yang memberi racunnya disuatu tempat, eh matinya di tempat lain. Masih untung kalau matinya di tempat yang mudah ditemukan, kalau nggak? Sepertinya kita harus mengelus dada dan bersabar diri untuk menutup hidung karena bau bangkai yang menyengat dan mengganggu pernafasan selama berminggu-minggu.

Malam ini, di belakang rumahku terasa sepi. Tidak seperti biasanya. Tak ada suara gaduh ataupun berisik seperti biasanya. Memang susana menjadi lebih tenang dan sepi seperti yang kuharapkan selama ini. Tapi.. aneh! rasanya ada yang hilang. Mmm, apa mungkin selama ini aku sudah terbiasa menghabiskan malam bersama ulah para tikus got itu?

Tak ada hal yang istimewa dari peristiwa ini. Hanya saja, seandainya suatu hal sudah berada disekitar kita lalu tiba-tiba saja menghilang maka secara tak sadar kita akan merasa kehilangan.

Biarpun hal tersebut tidak pernah memberikan keuntungan pada kita sedikit pun. Aku jadi teringat ucapan seseorang yang pernah mengatakan kalau”..suatu hal akan terasa berarti bila sudah tidak ada lagi disisi”.

Nah, jika hewan seperti tikus got saja bisa seperti itu! lalu, bagaimana dengan manusia? Coba deh lihat orang-orang disekitarmu!

Allahu Alam Bishowab,

Takkan Tertukar

Suatu saat seorang sahabat mengeluh padaku tentang pekerjaannya. Dan hal yang pertama kali terlintas dalam benakku saat itu… yaa, menyarankan dia keluar dari pekerjaannya saja. Pikiranku jadi melayang pada kejadian beberapa tahun silam, dimana aku mengalami hal yang sama.

Dulu, bukannya aku tak memiliki pertimbangan ataupun tidak membutuhkan pekerjaan itu lagi. Tapi … daripada terus menyiksa diri, kenapa masih juga dipertahankan? Lebih baik mencari kesempatan lain di luar sana. Yang aku yakini hanyalah satu bahwa rezeki Allah itu Maha Luas, bukan dari tempat itu saja aku bisa hidup.

Namun, lain orang lain kepala, lain orang lain pula cara berpikirnya. Begitu pula halnya dengan kami. Biarpun sudah lama bersahabat, tapi untuk satu hal seperti ini, kami memiliki pandangan yang bertentangan.

Menurutnya, hanya keluar dari pekerjaan itu sama saja dengan lari dari masalah. Bukankah masalah itu untuk dihadapi, bukan untuk dihindari? Dengan tegas, dia menolak saranku ini, dengan berbagai alasan. Dia mencoba berpikir baik-baik sebelum mengambil keputusan. Intinya, dia tidak ingin bertindak sembrono seperti aku.

Penggalan cerita diatas, tentunya sering kita jumpai dalam kehidupan ini. Adalah manusiawi apabila kita menginginkan kehidupan yang sempurna. Walau terkadang kita terlalu bersemangat untuk mengejar hal besar dan sempurna namun melupakan hal kecil dan sederhana.

Berhenti dari pekerjaan, bukanlah akhir dari segalanya. Biarpun air mata penyesalan tumpah ruah menyiram bumi, takkan pernah bisa mengubah apa yang telah terjadi. Dan sang waktu takkan mungkin kembali berputar, meskipun hanya untuk menyapa saja. Kita sering kecewa karena apa yang kita harapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Padahal apa yang kita harapkan belum tentu baik untuk kita.

Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri, Allah lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Al Ankabut ayat 60)

Marilah kita simak ayat diatas. Tidak cukupkah segala karunia Allah bagi hamba-Nya. Untuk makhluk sekecil semut pun, Allah tak penah lupa membagikan rezekinya. Apalagi bagi kita seorang muslim.

Jangan pernah takut, tidak mendapat rezeki sekalipun kita berhenti bekerja. Tiap makhluk yang bernyawa pasti memiliki bagian rezeki masing-masing. Takkan pernah tertukar, rezeki yang Allah bagi.

Allahu Alam Bishowab,

Takkan Pernah Sama

“Hanya Allah yang mengetahui, apa yang terbaik untuk hidup kita dulu, kini ataupun nanti. Berikan yang terbaik dalam setiap gerak langkahmu..”

Begitu indahnya dunia, hingga tak seorang pun yang pernah sadar berapa lama waktu yang telah dia lalui dengan percuma. Begitu pula denganku.

Malam ini, aku sendirian dan kesepian. Tak ada cahaya bintang yang terang benderang. Bahkan rembulan pun, enggan menampakkan keelokannya.

Maaf, telah mengusik ketenanganmu. Siapa lagi yang bisa kuandalkan selain dirimu. Tolong penuhi permintaanku, kali ini saja. Duduklah disampingku dan temani aku bercerita tentang sebuah kisah sederhana. Tapi… aku bingung harus memulainya dari mana.

Suatu ketika, aku melihat seorang kenalan memajang foto Ulang Tahunnya di facebook, dia terlihat begitu bahagia. Foto itu, tentu saja tak ada kaitannya denganku. Namun, foto itu benar-benar membuatku seperti tersadar dari mimpi.

Kau tahu, apa yang pertama terlintas dikepalaku? Ya benar, surat itu. Selembar kertas yang sering kali membuatmu iri. Susah payah kudapatkan surat itu dari sahabat pena nun jauh disana.

Hingga kini, surat itu masih tersimpan rapi di laciku. Lipatannya pun masih sama persis, seperti saat pertama kali aku dapatkan dari tukang pos langgananku. Aku masih ingat betul pesannya.

Berjuanglah! hidupmu, pasti akan lebih bermakna dikemudian hari. Allah Maha Tahu dari yang kau perlu.” Katanya.

Ah, siapa yang menyangka kalau kata-kata sederhana ini bisa berubah menjadi sebuah kenyataan. Kau benar, kita memang tak pernah tahu, akan rencana Allah untuk hidup kita di masa kini ataupun nanti.

Rasanya baru kemarin, aku mendengar kabar sakitmu. Rasanya baru kemarin, depresi itu meracuni hari-hariku. Aku tahu, adalah pilihan sulit bagi-NYA untuk memilih diantara kita berdua. Ingat! Kau harus percaya bahwa Allah pasti selalu memiliki pilihan tepat untuk kita.

Sungguh, aku tak pernah menyangka kalau DIA akan memanggil dan membuatmu tertidur panjang secepat itu. Tapi kenapa DIA lebih memilih menyelamatkan aku dan memberiku kesempatan kedua?

Orang bilang, DIA lebih menyayangimu. Kurasa mereka keliru, DIA tetap menyayangi kita berdua. Buktinya, DIA masih memberi aku kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diri. Biarpun tak lagi memperpanjang penderitaanmu.

Namun, putaran waktu bisa membuat seseorang berubah. Ketika sikap emosional ini muncul, seringkali aku tak mampu mengendalikannya. Sungguh, bukan inginku, menjadi seperti ini. Sayang, tak semua orang mau memaklumi keadaan ini. Tak terkecuali orang-orang yang berada disekitarku.

Apa mereka sanggup memahami, bagaimana usahaku untuk mengilangkan perubahan sikap selama ini? Rasanya tidak. Mereka hanya menuntutku untuk berbuat lebih sempurna, tanpa mau memaklumi keadaan yang sebenarnya.

Serupa, tapi tak sama. Biarpun terlihat sama tapi tetap saja berbeda. Dan itulah diriku dimasa kini. Bagaimanapun, aku tetaplah aku, orang yang pendiam dan rapuh. Mungkin hanya kamu yang paling mengerti keadaanku yang sebenarnya.

Ternyata sudah lima tahun, aku jalani kesempatan kedua ini tanpa terasa. Lima tahun yang tak sebentar, hanya kulalui dengan berleha-leha. Ya Allah, ampuni kelalaianku

* * *

Bandung, 16 Mei

Addicated for somebody who’s never we look again

Saat Ketulusan itu harus Teruji

Kuakui, belakangan ini aku merasa sangat kelelahan. Terlalu berambisi untuk mengejar setiap celah kesempatan yang terekam dalam pandangan hingga melupakan kondisi fisik sendiri. Terlalu asyik berpetualang di tiga atau bahkan empat kota yang berbeda dalam kurun waktu yang sempit.

Emang sih, semua itu merupakan sebuah kesempatan langka tapi kalo ujung-ujungnya kecapen terus ngeborong macem-macem penyakit kayak muntahber, radang tenggorokan, demam, susah makan, susah ngomong. Ih bete!! enggak enak banget, diem...tiduran doang, gak ngapa-ngapain bawaannya pusing, liat tulisan dimana-mana sama..bulet-bulet kayak kue bakpaw...Ah, rasanya lengkap sudah penderitaanku. Hya, pokoknya have nice a bed rest,we!

Sebenarnya, hati dan perasaanku yang lebih kacau dan gak karuan lagi. Saat teman yang paling dekat denganku pamit pergi keluar kota untuk bekerja. Biarpun aku sudah memperkirakan peristiwa itu bakal terjadi dan telah berulang untuk kedua kalinya tapi tetap saja kesedihan itu enggan beranjak pergi. Aku masih sedih kalo harus kehilangan teman sebaik dia.

Aku tahu dia tak pergi jauh, bukankah kita masih bisa berkomunikasi via sms ataupun telepon? Dan yang paling penting pekerjaan tersebut sangat dia idamkan. Bagaimana jadinya kalau dia menolak tawaran yang begitu sempurna? Aku tahu betul impiannya. Tentunya, aku dukung keputusannya kali ini, biarpun aku sendiri merasa luka.

Aneh juga sih!...aku cukup terpukul dengan keputusan yang dibuat sendiri. Padahal hubungan kita gak jelas juga sih! Dibilang temen memang bukan teman biasa tapi kalo dibilang pacaran? Boro-boro, ngomong perasaan itu dianggap tabu buat kita berdua.

Aku...suka aja temenan sama dia, abis orangnya lucu, selalu bikin aku tersenyum dan ketawa, terus enak diajak ngobrol pula. Dia juga gak pandang genre. Kan ada tuh orang yang sok jaim, bikin kita kikuk kalo mo ngomong ma tu orang.

Dan yang paling membuatku merasa kehilangan adalah ketulusannya sebagai seorang sahabat benar-benar sudah teruji. Dia tak pernah pergi dari sisiku saat sedang susah, apalagi kalau sedang senang. Dia selalu ada untuk menghiburku, membuat semua hal yang terasa berat menjadi ringan dan hilang. Jarang ada lho orang yang mau nemenin kita saat kita lagi susah!

Aku bisa bebas bercerita akan banyak hal padanya. Dan berhubung aku ini cewe yang ribet dan banyak ngomel, dia sih santai-santai aja nanggapin semua keluhanku. Paling cuma komentar dikit, kalo nggak ”hmm”, ”ohh”, atau ”sudahlah tapi anehnya setelah itu aku bakal ngerasa ringan saja, kayak abis bawa sekarung sampah terus dibuang ke tempat sampah. Plong..., gitu!! Makanya aku sayaang banget ma tu anak!

Disaat dia pamit, tentu aja aku kelabakan kayak kebakaran jenggot. Rasanya ada gempa lokal disekitar tanah tempat aku berpijak. Sepertinya, semangat hidupku menghablur entah kemana. Aku gak tahu mo ngapain, rasanya hidup ini terasa timpang. Aku berusaha mencari milikku yang hilang tapi tahu apa.

Kerjaanku cuma nangis dan bersedih! Uuh, ko aku jadi cengeng begini sih! Aneh, padahal kalo lagi patah hati biasanya aku masih bisa ketawa ketiwi tapi kehilangan sahabat seperti dia, bisa berpengaruh pada kondisi fisikku. Dan lihat saja, beberapa hari kemudian... kondisiku langsung ngedrop kayak sekarang.

Namun ada satu janji yang belum kutepati. Sebuah janji yang kali ini benar-benar menguji ketulusanku sebagai sahabatnya. Sebuah janji untuk mencarikan seseorang untuk dijadikan permaisuri hatinya. Nah itu yang berat, padahal sendainya aku bisa menyanggupi permintaannya, tentu saja ketulusanku sudah teruji untuk menjadi sahabatnya. Apa aku bisa mewudkan kemurnian janji itu? Hya, moga aku bisa dan ikhlas...Allahu alam

Intinya, aku sadar. Mungkin umur persahabatanku dengannya hanya sampai disini. Biarpun persahabatan kami hanya seumur jagung, namun banyak hal berharga yang dapat kami raih disini. Mulai saat ini, kuharap agar kami dapat menjalani sisa hidup ini dengan jalan hidup masing-masing. Semoga suatu hari nanti, aku bisa mendapatkan seorang pengganti yang lebih baik darinya. Semoga...

Bandung, 4 Pebruari 2009