Rabu, 26 Mei 2010

Wasiat Seekor Nyamuk

Bukan inginku menjadi seekor nyamuk. Semenjak hadir di dunia ini mahluk yang bernama manusia menyebutku begitu. Tapi mereka selalu memusuhi bangsa kami sejak jaman para leluhur hingga anak cucunya seperti aku ini.

Seandainya aku dapat memilih. Aku juga ingin di takdirkan menjadi seorang manusia seperti mereka. Mahluk Allah yang begitu sempurna penciptaan bentuknya, yang diberikan akal pikiran serta diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidupnya. Kadang aku tak pernah mengerti kenapa Allah memberikan begitu banyak anugerah-Nya sedangkan mereka jarang sekali menyadari apalagi sampai mensyukurinya.

Memang, sebagian dari kami menyebarkan beberapa jenis penyakit seperti: Cikungunya, Demam Berdarah, Malaria, dsb. Tapi tolong diingat, hanya sebagian saja. Tidak semua bangsa kami menjadi penyebar penyakit.

Hanya satu dua tetes darah yang kami hisap setiap harinya demi menyambung hidup. Padahal demi mendapatkannya kami harus meregang nyawa setiap saat. Bagaimana dengan manusia, pernahkah mereka sampai melakukan hal yang sama untuk mendapatkannya? Rasanya tidak. Tapi kenapa mereka selalu mengangggap kami sebagai sumber malapetaka yang menyebabkan kematian. Bukankah penyebab kematian itu bisa datang dari mana saja?

Apa mereka tidak pernah sadar. Dengan adanya mahluk seperti kami, mereka mau membersihkan tempat tinggalnya. Kemudian membuat pabrik obat pembasmi serangga dengan beragam jenis. Mulai dari yang dibakar, dioles atau dalam bentuk spray sekalipun. Ada juga bentuk yang paling modern yaitu dalam bentuk elektrik.

Bukankah semua itu bisa menjadi jalan agar mereka memiliki lapangan pekerjaan dan mampu menghidupi anak dan istrinya. Membuat asap di dapur tetap mengepul dan anak-anak mereka tidak sampai putus sekolah. Apa semua itu tidaklah cukup?

Andaikan aku dapat memilih, aku juga tidak ingin menjadi seekor nyamuk dan melukai manusia. Mau bagaimana lagi semua sudah menjadi hukum alam bahwa makanan seekor nyamuk itu adalah darah terutama darah manusia.

Sungguh, aku tak pernah menyesal bila ditakdirkan hidup hanya menjadi nyamuk. Seekor mahluk kecil yang hidupnya hanya sesaat. Kuharap dalam hidupanku yang sesingkat ini, bisa menjadi pengabdianku kepada sang Khaliq daripada menjadi seorang manusia yang hanya bisa berbuat kerusakan dimuka bumi serta menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan-Nya. Semoga…

***

Yang Awalnya Tiada Kembali Tiada

Pada suatu hari seorang pemuda berjalan sambil tersenyum bahagia. Bukan lantaran sedang dimabuk asmara tapi karena baru saja mendapatkan kabar baik. Ada sebuah tawaran kerja untuk dirinya yang benar-benar sempurna.

Harapannya untuk mewujudkan semua impian dan cita-citanya selama ini terbuka lebar. Bukan hanya untuk dirinya saja melainkan juga untuk kedua orang tuanya serta untuk keluarganya yang lain.

Sebenarnya, banyak juga tawaran yang ia terima sebelumnya namun saatnya selalu tidak tepat atau selalu saja ada hal yang menghalangi. Tiba-tiba saja telepon genggamnya berdering.

Ada sebuah telepon yang masuk dan mengabarkan bahwa tawaran tersebut telah dibatalkan. Sudah ada orang lain yang menggantikan posisinya, hanya karena adanya sedikit kesalahpahaman antara dirinya dengan pihak perusahaan.

Astagfirullahaladzim…ucapnya dengan lunglai.

Kecewa dan putus asa tentu saja melekat dalam sanubarinya. Namun dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk berbaik sangka kepada Allah. Ia tetap yakin kalau dibalik semua peristiwa itu akan ada hal yang lebih berharga yang akan dia terima.

Kemudian dirnya mulai menghubungi teman-temannya dan kemudian berbagi pengalaman dengan mereka. Hingga tak lama kemudian senyum sudah terkembang menghiasi wajahnya kembali. dan ia dapat beraktifitas seperti sediakala.

Adapun hikmah yang dapat kita raih dari sebuah kejadian sederhana diatas adalah:

1) Allah Maha Berkehendak atas segala sesuatu.

Sangat mudah bagi Allah untuk mengubah suatu kejadian, dari kebahagiaan menjadi kesedihan. Dalam waktu yang singkat ataupun dengan cara yang sederhana sekalipun.

2) Kita tidak bisa mengubah takdir.

Semua itu perlu kita sadari sehingga kita selalu bersiap diri untuk menghadapinya. Allah yang menguasai masa depan kita, menguasai diri kita, mengetahui semua kebutuhan kita serta hal-hal lain yang berada disekitarnya. Maka serahkan dan percayakan hidup ini hanya padanya.

3) Kesempatan yang pada awalnya tiada, kembali tiada.

Jika suatu saat Allah akan mengambilnya kembali, kenapa harus sedih, kecewa ataupun marah? Bukankah perasaan sedih hanyalah sebagian kecil hal yang berada dalam diri kita.

Padahal Allah masih memberi banyak kesempatan untuk mendulang pahala dengan berbagai cara, misalnya: bersyukur, berikhtiar, berikhtiar atau bertobat. Seandainya, Allah telah mencabut semua nikmat itu, kemana lagi kita minta pertolongan?

Siap tidak siap, kita tak memiliki pilihan. Hanya saja, apakah kita bisa bersyukur, ridho serta bersabar atas apa yang telah Allah tetapkan. Kita memang kehilangan tapi dibaliknya ada pahala yang jauh lebih berharga.

Seringkali manusia lupa untuk bersyukur dan merasa berat untuk bersabar. Padahal sebenarnya rasa syukur dan sabar itu akan mwngantarkan kita ke dalam indahnya kehidupan.

Allahu alam bishowab,

v

Bandung, 20 Januari 2008

Pesan Terakhir

Bicara tentang kematian, maka tidak ada satu nyawa pun yang bisa luput dari genggaman-Nya. Kematian tak hanya datang menghampiri si tua yang telah renta ataupun si sakit yang hidupnya hanya tinggal menanti hari. Namun kematian bisa saja datang kapan dan dimana saja, menyapa siapa saja. Bisa menyapa anak kecil yang masih belia ataupun si muda yang masih sehat dan enerjik. Who’s know?

Tak ada yang tahu kapan dirinya akan dijemput, hingga sudah sepantasnya apabila kita selalu bersiap sedia setiap saat. Seandainya saja manusia tahu kapan ajal akan menjemput dirinya mungkin kehidupan di dunia ini akan aman dan tentram. Tak ada penipu, tak ada koruptor, penjahat atau anak durhaka sekalipun. Hingga pada akhirnya neraka akan sepi.

Tapi, semua itu takkan pernah terjadi karena Allah telah menciptakan semua hal berpasang-pasangan. Ada siang ada malam, ada hidup ada mati, ada baik ada jahat, ada surga ada neraka dan begitulah semua berjalan hingga hari akhir.

Terkadang ada hal yang ingin disampaikan oleh seseorang menjelang kematiannya. Sayangnya, kita tidak pernah menyadari kalau semua hal itu merupakan sebuah pertanda. Seperti pengalaman kedua sahabat saya yang pernah ditinggalkan oleh orang-orang yang mereka sayangi.

· Sebutlah namanya Dzul, bukan nama sebenarnya.

Beberapa waktu yang silam, adik Dzul ini sakit keras hingga harus dirawat di Rumah Sakit. Menurut penjelasan dokter, adiknya ini menderita penyakit TB-Paru. Apalagi dia memiliki koreng pada kakinya yang tak kunjung sembuh membuat penyakit yang dideritanya menjadi semakin parah.

Selama satu bulan dirawat disana, namun kondisi adiknya ini tidak kunjung membaik. Hingga pada puncaknya ia mengalami koma selama 24 jam. Namun, keajaiban itu muncul. Tiba-tiba saja dia sadar dan kondisinya semakin hari semakin membaik hingga bisa kembali ke rumah.

Semenjak peristiwa itu, adiknya benar-benar sembuh. Ada perubahan yang signifikan pada perilaku adiknya ini. Prilakunya benar-benar berubah. Ia menjadi rajin mengerjakan shalat Tahajud, Dhuha, apalagi shalat wajib yang lima waktu tak pernah ia tinggalkan serta tentu saja mengaji. Semua pekerjaan rumah pun ia kerjakan sendiri. Tak ada kata malas, takut ataupun lelah, ia tetap ikhlas menjalaninya.

Suatu ketika, adiknya ini bercerita kalau dulu disaat dirinya koma ia bermimpi berada ditengah-tengah sebuah telaga yang luas. Ia merasa takut dan ingin pulang. Tapi ia tak tahu bagaimana caranya untuk mencapai tepian sedangkan tak ada sebuah perahu atau rakit sekalipun disana. Kemudian ia bertemu dengan seorang kakek yang mengendarai sebuah rakit. Kakek itu berpesan “..rajin-rajinlah kamu untuk sholat dan mengaji ya, nak!”. Sesudah itu ia sadar kembali dari masa kritisnya itu.

Kami sekeluarga benar-benar bersyukur atas kesembuhannya ini. Namun tepat satu tahun setelah kepulangannya dari rumah sakit, dalam kondisi sehat menurut pandangan kami, ia menghembuskan nafasnya terakhirnya. Ia kembali keharibaan-Nya. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun

· Sebutlah namanya Kas, bukan nama sebenarnya.

Syawal 1426 H mungkin menjadi saat-saat terberat dalam hidup Kas. Disaat belum surut kesedihan yang menimpanya karena kehilangan ibunda yang tercinta. Seminggu kemudian, ayahandanya pun pergi menyusulnya. Pergi meninggalkan dirinya untuk menghadap sang Khaliq.

Kejadian itu benar-benar membuatnya sangat bersedih dan terpukul. Ia sempat mempertanyakan keadilan Allah itu ada dimana, ia benar-benar putus asa. Hingga pada hari ketiga setelah kematian ayahnya itu, diantara sadar dan tidak sadar, Kas melihat ayahnya datang dan mendekatinya. Kemudian beliau berkata “.ojo kelalen sholat ya ndo!” (..jangan lupa sholat ya, nak! =red).

Sejak saat itu, Kas segera sadar telah menyalahkan Allah atas kejadian ini. Padahal Allah Maha Tahu, semua hal yang terbaik bagi dirinya di hari esok. Kas segera bertobat, dan ia mengaku merasa takut untuk meninggalkan ibadah yang satu ini.

Allahummaghfirli wali wali dayya warhamhuma kamaa rabbayani shogiro..”

Ya Allah, ampuni segala dosa-dosaku dan dosa ibu bapakku, kasihanilah mereka seperti mereka menyayangiku sewaktu aku masih kecil…

Tak ada hal yang istimewa dari kedua peristiwa diatas. Tapi mungkin kedua hal itu bisa kita jadikan cermin, bahwa kita tak pernah bisa menerka kapan ajal akan menjemput. Kematian adalah salah satu episode kehidupan yang harus dilalui oleh setiap mahluk yang bernyawa. Cepat atau lambat, mau tak mau, kehidupan ini pastilah akan berakhir.

Dan tentunya, peristiwa kematian ini harus bisa kita terima dengan ikhlas dan lapang dada. Karena semua hal yang berada disamping kita adalah milik Allah semata. Semua itu hanyalah titipan. Kita hanya diberi kesempatan untuk memelihara dan menjaganya dengan sebaik-baiknya. Dan jika suatu saat Allah akan mengambil milik-Nya kembali, kapanpun saatnya. Kita harus tetap ridho dan ikhlas.

Ingatlah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sahabat, bertaubatlah atas segala kelalalaian dan kehilafan yang telah kita lalui, sebelum terlambat.

Allahu Alam Bishowab…

v

Bandung, 12 Muharam 1428 H

Senin, 24 Mei 2010

Pandanglah dengan hatimu!

Sebenarnya, apa yang kita lihat saat pertama kali membuka mata? Memandang orang yang berada dihadapan? Memandang langit-langit yang berada diatas kepala? Ataukah memandang gumpalan awan yang berarak dari balik jendela kamar?

Seperti halnya langit yang jauh dan tinggi, biasanya orang selalu memandang segala hal yang berada jauh dari hadapannya. Ia selalu membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain yang keadaannya lebih tinggi darinya.

Ia senang mengeluh dengan posisi yang dihadapinya. Dan menganggap kalau posisi orang lain jauh lebih menyenangkan dan menguntungkan. Padahal setiap orang yang hidup di dunia ini telah dibekali masalah dengan kadar yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Memang sudah menjadi sifat manusia, senang menambah-nambah serta memperburuk keadaan hingga hal sederhana pun bisa berubah menjadi rumit lalu dirinya akan menderita sendiri dibuatnya. Nah, bila keadaannya berubah menjadi rumit dan membuat dirinya menderita sendiri, untuk apa?

Seringkali kita berdecak kagum pada seseorang yang terlihat menarik perhatian. Bisa karena kemampuannya, kepandaiannya, penampilannya dan berbagai alasan lainnya. Berawal dari perasaan kagum hingga ingin menyamai atau bahkan ingin melebihi. Kita akan berusaha untuk mengejarnya walaupun tidak sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Dan seandainya kita tidak sanggup untuk menyamainya, kita hanya bisa meratapi nasib serta menyisakan penyesalan dalam dada.

Ah, kenapa aku tak bisa seperti dia?

Kenapa bisa muncul pertanyaan seperti itu? Karena kita selalu memandang pada orang-orang yang berada diatas kita. Kita selalu memandang dan melihat segala hal dari luarnya saja. Padahal penampilan luar itu seringkali menipu.

Seandainya saja kita mau memandangnya dari sisi hati, tentunya kita akan merasa lebih beruntung. Masih banyak orang lain di luar sana yang keadaannya jauh lebih buruk dari kita. Dimana keberuntungan tak pernah mau mendekatinya apalagi sampai berkenan singgah dihadapannya. Apa jadinya kita seandainya kita berada dalam posisi mereka?

Ah, tak terbayangkan!

Sekarang, pernahkah kita melirik sejenak diri sendiri? Apa kita sudah berusaha untuk bersabar atas semua kesulitan yang tengah kita hadapi? Dan apa kita sudah berusaha untuk bersyukur atas semua kemudahan yang telah kita dapatkan selama ini? Semua berbalik pada pribadi masing-masing. Bukankah Allah SWT telah menciptakan manusia dengan segala kelebihan dan keunikannya tersendiri?

Terus memandang pada hal yang lebih jauh bisa membuat mata ini lelah. Ada baiknya mulai saat ini kita bisa jeli untuk memandang keadaan di sekitar atau bisa menggali potensi diri yang dimiliki. Hingga diri ini tak pernah merasa dirugikan apalagi sampai dihinggapi rasa iri dan dengki. Rasakan dan nikmati hidup kita sendiri. Tentunya hidup ini akan jauh lebih bahagia. Nah, sekarang semua pilihan ada ditangan kita. Terserah mau memilih yang mana?

v

Bandung 27 Muharam 1428 H

8: 32 am

Malin Kundang Milenium

Siapa yang tidak kenal dengan kisah ini. Kisah tentang seorang anak yang dikutuk menjadi batu karena durhaka terhadap ibunya. Dan, tidak semata-mata Allah memperlihatkannya kepada kita agar peristiwa itu bisa kita jadikan cerminan hingga takkan terulang lagi di masa yang akan datang.

Sayangnya di masa kini kisah Malin Kundang ini hanya menjadi sebuah cerita yang disebarkan secara turun menurun sebagai dongeng pengantar tidur belaka. Ataupun sebagai bagian kurikulum yang harus diajarkan kepada anak didik di sekolah. Bukan untuk diambil hikmahnya dan dijadikan pelajaran dalam kehidupan.

Dalam sebuah hadist, Abu Hurairah r.a berkata, “Telah datang kepada Rasulullah saw seorang laki-laki lalu bertanya “Ya Rasulullah, siapa orang yang patut kita hormati?” Rasul menjawab” Ibumu!” Dia bertanya lagi ,”kemudian siapa?” Rasulul menjawab ” Ibumu!” Dia bertanya lagi ,”kemudian siapa?” Rasulul menjawab ” Ibumu!” Dia bertanya lagi ,”kemudian siapa? “Ayahmu,” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian pentingnya kedudukan seorang Ibu dimata Rasulullah hingga Rasulullah sendiri sampai menyebutkannya beberapa kali. Bagaimanapun keadaan anaknya itu, sempurna atau tidak fisiknya, menjadi orang baik ataupun menjadi orang jahat sekalipun, pengorbanan dan kasih sayangnya selalu tulus, tak pernah berbalas dan tak ada habisnya sepanjang masa.

Setiap orang pasti memiliki Ibu. Dan sekarang, dimanakah dirinya? Apakah kita sudah bisa membahagiakannya atau hanya membuat hatinya terluka dan bersedih? Seringkali kita selalu menyia-nyiakan kesempatan untuk menemaninya namun setelah terlambat hanya menyisakan penyesalan yang tiada bertepi. Tak ada hal yang bisa diubah hanya dengan sebuah penyesalan.

Sayangnya, selama ini kita sebagai anaknya hanya bisa berlaku egois terhadapnya. Semua anjuran dan nasehat yang diberikannya selalu kita tanggapi dengan komentar negatif. Padahal beliau hanya bermaksud melindungi dan ingin memberikan hal terbaik bagi anaknya.

Kita selalu berceloteh ‘Ibu sih, gak pernah bisa ngertiin keinginan anak muda!’.

Beliau juga pernah muda, beliau juga pasti pernah merasakan apa yang sedang kita rasakan saat ini. Andai saja kita tahu, kalau sebenarnya beliau bisa mengerti keinginan kita walaupun dengan caranya sendiri.

Kita, anaknya selalu menuntut dirinya agar menjadi sosok sempurna dimata kita. Padahal seorang Ibu hanyalah manusia biasa yang tidak sempurna. Seandainya ibu kita adalah sosok yang membanggakan tentunya akan dihargai dan juga dihormati serta mungkin takkan menimbulkan persoalan. Namun, seandainya sosok itu tak pernah sesuai dengan apa yang kita harapkan, mungkin akan menimbulkan persoalan.

Di jaman milenium seperti saat ini, tak jarang seorang anak yang akan pergi mengadu nasib tak pernah lupa untuk meminta do’a restunya sebelum pergi. Padahal tanpa diminta pun, beliau selau mendoakan anaknya siang dan malam. Tapi, apa jadinya saat anak itu telah berhasil?

Disaat ibunya datang jauh-jauh hanya untuk menemui anaknya dan melepaskan rindu yang tertahan selama bertahun-tahun. Anak itu berpura-pura tidak mengenalnya. Dia malu mengakui sosok wanita kampung yang udik dengan penampilannya yang sederhana itu sebagai ibunya.

Padahal hati kecilnya merasa miris dan tak tega untuk melakukannya. Entah apa alasannya, apa untuk menutupi masa lalunya atau untuk menyelamatkan popularitas dan kedudukannya. Dia tetap memilih untuk membohongi semua orang.

Jadi apa bedanya prilaku anak itu dengan tokoh Malin Kundang dalam cerita. Sudah sepatutnya dia bersyukur karena Allah masih menyayangi hambanya dengan tak mengutuknya menjadi batu, meskipun mungkin saja prilakunya jauh lebih buruk lagi dari prilaku Malin Kundang.

Memang dari segi fisik, dirinya masih berwujud seorang manusia tapi pastilah Allah telah mengeraskan hatinya layaknya sebuah batu. Sepertinya, hal itu jauh lebih berat daripada kutukan Malin Kundang. Sebuah batu besar pun bisa pecah ataupun berbekas apabila terus ditempa air atau benda keras lainnya yang terus menghantamnya. Namun keras dan membatunya hati seorang manusia, hanya Allahlah yang bisa mengubahnya.

Sadarilah! Meskipun prilaku dan sikap seorang Ibu itu tak pernah berkenan dihati kita. Beliau tetaplah Ibu yang telah mengandung kita selama 9 bulan, yang telah melahirkan kita dengan mempertaruhkan nyawanya serta yang membesarkan kita dengan penuh kasih sayang hingga kita dapat mengenyam keberhasilan sampai sejauh ini. Tanpa kehadirannya, takkan pernah ada seorang Arsitek, Astronot, Dokter, Guru, Pilot, dan bahkan seorang Presiden sekalipun

Nah, bagi sahabat yang saat ini merasa Ibunya masih berada disampingnya, cepatlah meminta maaf dan segera berbakti padanya dengan apapun caranya. Andai kita tahu, berbakti padanya itu tak hanya dengan memberikan sejumlah materi saja namun dengan berprilaku yang dapat menyenangkan hatinya hingga tidak membuatnya bersedih. Hal itu juga lebih baik! Ayolah, mumpung belum terlambat!

Selama matahari masih terbit di ufuk timur, Allah masih membukakan pintu ampunan yang selebar-lebarnya. Masih banyak waktu untuk memperbaiki kehilafan yng telah kita lakukan pada Ibu. Tak ada kata terlambat untuk melakukan sebuah kebaikan. Dan seandainya Ibu kita sudah tak ada disamping kita lagi, masih banyak waktu bagi kita untuk mendo’akannya agar Allah memberikan tempat sebaik-baiknya disisi-Nya. Karena DIA maha Mendengar dan Maha Melihat, DIA pasti mengabulkan do’a kita semua.

X

Bandung 23 Desember’ 07

Just for my Mommy

Kamis, 20 Mei 2010

Kerudung cantik

Perasaan iri dan dengki selalu hadir menghiasi kehidupan manusia. Disadari atau tidak, perasaan tak nyaman itu muncul saat melihat orang lain selangkah lebih maju dari kita. Tak ada salahnya memang, semua itu manusiawi tapi jika kita biarkan terlalu lama bersemayam dalam hati, malah akan mencelakakan diri sendiri.

Selain itu, hal ini bisa menyebabkan kita jauh dari Allah karena terbakar perasaan dengki itu sendiri. Padahal orang yang kita maksud tak tahu menahu akan kedengkian itu. Dirinya malah lebih menikmati keberhasilannya.

Perasaan itu muncul dengan berbagai alasan, misal: iri seorang bawahan pada atasannya, iri kepada tetangga, irinya seorang perempuan ketika melihat orang lain tampil lebih cantik dari dirinya atau bahkan iri kepada saudara sendiri. Seperti pengalamanku berikut ini:

Di awal tahun sembilan puluhan, jilbab dan kerudung masih menjadi suatu hal yang masih langka. Tapi sekarang semua itu tersebar dimana-mana layaknya jamur dimusim penghujan.

Dengan beragam bentuk, hiasan maupun ukuran. Mulai dari hiasan bordir, sulaman, monte hingga motif lainnya. Aku sering memperhatikan orang lain yang mengenakan kerudung-kerudung cantik itu jika kebetulan mereka melintas didepanku.

Hhh, seandainya aku bisa mengenakan kerudung semacam itu, mungkin aku bisa tampil cantik seperti mereka, anganku.

Namun Ibu selalu mengingatkan aku bahwa kecantikan seorang perempuan bukan hanya berasal dari penampilan luarnya saja melainkan kecantikan yang terpancar dari dalam diri itu sendiri seperti budi pekerti, keramahan, sopan santun, dan masih banyak lagi hal lainnya.

Aku masih ingat. Saat itu menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun lalu. Salah seorang kakak perempuan yang tinggal di luar kota datang dengan sekarung keluhan. Kehabisan uang untuk ongkos mudik dan membelikan pakaian baru untuk anak-anaknya hingga tak bisa membeli untuk diri sendiri, tak sempat membawa oleh-oleh, dan masih banyak lagi alasan lainnya.

Tepat di hari Idul Fitri, ia masih bisa mengenakan satu stel pakaian muslim lengkap dengan kerudung cantiknya. Daripada penasaran, aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya

“Lho, katanya gak bisa beli baju baru?”

“Ini sih, barang cicilan! kebetulan ada langganan yang menawari,”

Aku hanya bisa menelan ludah ketika mendengar jawabnnya itu, sambil meliriknya sesekali. Kuakui kalau baju dan kerudung itu sangat menawan hati tapi tak ada hal yang dapat kulakukan.

Idul Fitri kali ini, untuk kesekian kalinya aku masih menganggur. Jangankan memikirkan membeli baju baru, melihat Ibu bisa memasak dan menyediakan hidangan bagi kami sekeluarga, sudah cukup bagiku.

Menurutku dia cukup beruntung, walaupun mencicil toh ia masih bisa mengenakan baju baru. Tapi aku…, untuk mencicilnya saja tak punya. Jadi segera saja kutepis semua harapan untuk punya baju baru di hari yang fitri ini.

Beberapa minggu kemudian ada salah seorang teman lama yang datang berkunjung dan menghadiahkanku sebuah kerudung cantik. Warnanya pun sama persis, hanya saja kerudung itu jauh lebih sederhana bila dibandingkan dengan kerudung milik kakakku itu. Tapi aku tetap bersyukur dan merasa kalau kerudungku jauh lebih cantik. Ternyata Allah Maha Adil.

Ah, untuk apa menyimpan perasaan iri dan dengki di hati ini. jika kita mau bersabar, kesabaran itu tak akan sia-sia karena Allah akan menggantinya dengan hal yang lebih baik tanpa kita duga sebelumnya.

Allahu Alam Bishowab,

v

Bandung, 15 Maret 2007

Jempolku yang Malang

Saya adalah seorang Ibu Rumah Tangga. Seperti biasa setiap harinya setelah makan saya mencuci piring. Namun naas, pada saat itu saya memecahkan sebuah gelas dan mungkin salah satu serpihan kacanya mengenai jempol tangan ini hingga berdarah-darah.

Kontan kami sekeluarga menjadi panik, terutama suamiku. Apalagi setelah melihat darah yang terus saja mengucur dari jempol itu. Serta merta saya bersama suami melakukan tindakan P3K. Sayangnya usaha kami masih belum berhasil karena pendarahannya masih juga belum berhenti.

Kemudian suami membawa saya ke Rumah Sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Dan pendarahan ini ditangani secara medis sampai akhirnya bisa berhenti. Syukur Alhamdulillah…

Rasanya memang sakit luar biasa. Saya merasa begitu tersikasa dengan keadaan ini. Bagaimana tidak, sebagai ibu Rumah Tangga saya memerlukan tangan dan jari yang sehat untuk dapat menyelesaikan semua pekerjaan. Tapi sekarang untuk dapat melakukan hal kecil seperti memotong kuku, mengancingkan baju, menyisir, pun saya memerlukan bantuan orang terdekat.

Menurut dokter yang menangani, salah satu otot jempol saya terputus. Jalan satu-satunya untuk mengembalikan fungsinya seperti sediakala adalah dengan melakukan operasi. Tanpa menunggu waktu, operasi itu segera dilaksanakan dan dapat berjalan lancar, Alhamdulillah…

Selepas operasi, saya tidak bisa begitu saja mengerakkan jempol ini karena masih di ‘gips’. Selang beberapa bulan kemudian barulah ‘gips’ itu dibuka. Tapi, saya masih memerlukan latihan untuk mulai menggerakkannya secara teratur. Biarpun memerlukan waktu yang tidak sebentar, beserta tekad ingin sembuh, tentunya. Akhirnya jempol ini dapat pulih seperti sediakala

Ya Allah ampuni saya, yang telah melupakan salah satu nikmatmu ini.

Selama ini saya hanya menilai kebahagian dari segi materi saja dan suatu hal yang dianggap besar. Padahal dengan pulihnya jempol ini adalah nikmat yang tak terhingga.

Sahabat, mulailah untuk bersyukur atas segala hal yang berada disekitarmu. Jangan lupakan syukurmu ini hanya karena keinginanmu belum terwujud.

“…Ingatlah Allah Maha Tahu atas segala sesuatu yang kamu perlukan melebihi dirimu sendiri…”

Allahu Alam bishowab

v

19 Nopember 2006 ( 28 Syawal 1427 H)

Jangan Anggap Sepele


Berbuat baiklah pada sesama, jangan melihat siapa orangnya, apa kedudukannya serta dari mana asalnya. Lakukanlah dengan tulus iklas tanpa pamrih. Insya Allah, Allah akan membalasnya cepat atau lambat.

Bahkan Allah sendiri telah menjaminnya dalam Al Qur’an surat Al An’am ayat 160 yang artinya: “Barangsiapa beramal dengan satu perbuatan baik, Allah akan memberikan kepadanya sepuluh kali lipat dari amalan itu.”

Ibarat sebuah pepatah, siapa yang menanam tentu dia sendiri yang akan menuai hasilnya. Maka barangsiapa yang menebar kebaikan tentu kebaikan tersebut akan kembali pada dirinya sendiri.

Ungkapan tersebut memang bukan isapan jempol belaka karena aku sendiri pernah mengalaminya. Tapi apa sebenarnya amalan yang telah kulakukan sehingga Allah memberiku anugerah yang begitu besarnya.

Andai aku boleh jujur, aku bukanlah ahli ibadah. Shalat tahajud jarang sekali aku tunaikan, shodaqoh jariah pun hanya sebatas niat dan keinginan saja, tak pernah kulakukan karena kondisi ekonomi yang kekurangan. Aku hanya senang membantu para kecoa yang berusaha membalikkan badannya yang terbalik atau membebaskan seekor semut yang terjerumus ke dalam ember.

Sahabat, mungkin beberapa hal yang kulakukan hanyalah perbuatan sepele tapi sekecil apapun perbuatan tersebut tak pernah sia-sia dari pandangan-Nya. Hingga Allah segera membalasnya cepat atau lambat. Seperti pengalamanku berikut ini:

Kala itu, dalam suatu musim peralihan, empat tahun silam. Seperti biasanya aku terkena flu dengan gejala pada umumnya bersin, demam disertai batuk. Tapi sudah lebih dari sepekan, kondisiku tak kunjung membaik. Aku hanya menyangka kalau ini hanya flu berat saja. Aku tetap berobat ke dokter dan berkonsultasi dengannya mengenai keadaanku ini.

Dokter tersebut mengatakan kalau aku hanya mengalami alergi cuaca saja. Untuk hasil yang pasti, dia juga menyarankan agar aku menjalani beberapa pemeriksaan di labolatorium. Daripada penasaran aku menuruti sarannya. Aku menjalani beberapa pemeriksaan labolatorium di Rumah Sakit yang dekat dengan rumah.

Kami sekeluarga tentu menjadi panik saat mendengar hasil pemeriksaan yang mengatakan kalau kondisiku sangat memprihatinkan. Darahku jelek, paru-paruku bermasalah dan pemberian obat pun harus melalui selang infus.

Ah, masa sih? Aku tak percaya, aku merasa tubuhku baik-baik saja. Pihak Rumah Sakit menganjurkan agar aku segera ditangani oleh pihak yang berpengalaman yaitu di rawat di Rumah Sakit khusus Paru. Padahal letaknya sangat jauh dan terpencil.

Kata orang, Rumah Sakit itu sama saja dengan tempat pembuangan. Dengan kata lain, hanya orang-orang yang sudah tidak memiliki harapan hiduplah yang bersedia dirawat disana serta orang-orang yang hidupnya hanya menghitung waktu dan menanti hari yang bersedia tinggal disana.

Allah, apakah dosa yang kulakukan di masa lalu teramat banyak hingga Engkau menghukumku dengan mengirimku ke tempat seperti ini?

Pertama kali menginjakkan kaki ketempat itu…ngeri dan menyeramkan. Bagaimana tidak, suasana yang sepi dengan pemandangan sekeliling hanya dihiasi oleh pepohonan tua yang umurnya mungkin puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun.

Ketika mulai memasuki kamar inap, orang disebelahku mengatakan kalau semua peralatan makan atau mandiku sebagai pasien harus dipisahkan dari keluarga. Semua itu membuatku drop dan putus asa. Duh, rasanya aku sudah menjadi orang buangan. Apakah hidupku sudah tidak berguna lagi?

Untung saja, aku bertemu dengan salah seorang perawat yang bertugas disana. Di sela-sela tugasnya dia sering menghiburku. Selalu saja kejutan kecil dan ulah lucu yang dibuatnya hingga membuatku tersenyum.

Aku masih ingat ucapannya, Allah itu ada dimana-mana. Allah itu tidak pernah tidur apalagi sampai meninggalkan hambanya, terutama di tempat seperti ini. Nanti jika telah sembuh pasti kamu akan bersyukur atas nikmat sakit ini.

Jika ingin cepat sembuh aku harus menurut nasehat dokter hingga bisa cepat pulang. Apa kamu tidak rindu pada teman-temanmu? tanyanya suatu hari.

Tentu saja aku mengangguk setuju. Aku memang merindukan mereka semua. Berangkat dari sana, aku bertekad untuk sembuh. Harapan dan semangat hidup ini mulai kembali.

Benar saja, hal ini baru kurasakan sekarang. Dan aku sangat bersyukur bisa bertemu dengan orang seperti dia. Sebenarnya dia itu siapa? dan aku siapa? kami memang tidak pernah bertemu sebelumnya apalagi saling mengenal tapi dia begitu baik dan perhatian kepadaku. Sepertinya aku ini adalah orang yang telah lama dikenalnya. Semua itu dilakukannya semata-mata hanya demi kemanusiaan.

Sayangnya, saat aku pulang ke rumah, aku tidak sempat bertemu dengannya padahal aku ingin mengucapkan terima kasih. Dan sampai sekarang aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Mungkin Allah memang mengutus dirinya untuk mengembalikan semangat hidupku. Ternyata di jaman serba canggih seperti sekarang, dimana orang-orang lebih mendewakan harta, masih ada orang yang berhati mulia seperti dirinya.

v


Bandung Utara, 17 Mei 2010

Rabu, 19 Mei 2010

Ingat Mati

Serem.. mungkin itulah hal yang pertama kali muncul dalam benak kita saat mendengar frase tersebut. Bukan bermaksud untuk mengeruhkan suasana namun setidaknya, hal ini akan mengingatkan kelalaian kita selama ini. Bahwa tak selamanya kita akan terus menikmati apa yang ada dihadapan saat ini. Kita tak pernah tahu kapan kita diberi rezeki, kebahagian itu datang, dicoba dengan penyakit atau bahkan ajal sekalipun. Yang kita tahu hanyalah suatu hari nanti kita akan pulang keharibaan-Nya, cepat atau lambat.

Menjenguk orang sakit bukanlah suatu keharusan. Namun alangkah baiknya bila kita mau meluangkan waktu sejenak untuk memberi dukungan harapan bagi mereka yang kini tengah diberi cobaan penyakit. Membantu sesama tak perlu berupa materi saja namun dengan menjenguk saja dan memberinya semangat adalah bentuk lain dari bantuan yang bisa kita berikan. Mungkin esok atau lusa, kita sendiri yang akan merasakan hal serupa. Tak ada yang tahu.

Sebenarnya, datang sebentar dan memperlihatkan wajah penuh keceriaan saja sudah menjadi obat tersendiri bagi orang sakit. Seletih dan seselah apapun kita melihat keadaannya sebaiknya jangan sampai diketahuinya.

Menjenguk orang sakit ibarat sebuah teropong yang kita gunakan untuk menerawang. Dengan menjeguk, kita diajak untuk menerawang, meraba lebih jauh akan keadaan diri sendiri. Apakah selama ini sudah merawat diri dengan baik ataukah sebaliknya. Bagaimana kalau kita sendiri yang mengalami apa yang dirasakannya.

Tiga hari yang lalu, aku baru saja mengunjungi seorang sepupu yang dirawat di Rumah Sakit. Kondisinya memang cukup memprihatinkan. Tapi, hal yang membuatku lebih miris, bukanlah karena melihat kondisi fisiknya yang suah tidak berdaya melainkan karena dia sudah tidak memiliki harapan hidup dalam dirinya untuk berjuang melawan penyakit yang menyerangnya.

Tak hanya itu, orang-orang disekelilingnya pun sepertinya sudah kehilangan harapan untuk tetap bersemangat. Mungkin mereka terlalu lelah sehingga mudah berputus asa menghadapi kondisinya yang tak kunjung membaik. Jadi, bagaimana dirinya bisa memiliki harapan untuk memperjuangkan hidupnya apabila tak ada dukungan dari orang-orang disekitarnya.

Padahal harapan hidup itu sangat penting artinya bagi seseorang yang berada dalam tahap penyembuhan. Harapan yang ada, dapat menumbuhkan semangat dan keinginan untuk sembuh. Bukankah, keadaan kita saat ini sama seperti apa yang ada dalam pikiran? Dan biasanya, sugesti yang berada dalam pikiran seseorang sering kali terbukti kebenarannya.

Melihat keadaan seperti itu, aku jadi teringat pada pengalamanku sendiri beberapa tahun kebelakang. Disaat harapan hidup ini mulai menipis, tak ada hal lain yang bisa dilakukan hanya mengingat Allah, Sang pemilik hidup.

Namun ayah, Ibu dan kakak lelakiku tak pernah bosan mendampingiku siang dan malam, bersama dukungan harapan yang tak pernah putus serta doa yang terus mengalir bagi kebaikanku. Dan selama itu, tak pernah sedikit pun kulihat mereka mengeluh padahal aku yakin mereka teramat lelah. Bersyukurlah aku masih memiliki orang-orang yang tegar berada disampingku. Sudah seharusnya aku tak perlu mengeluh lagi akan setiap keadaan yang kualami selama ini.

Allah memang teramat baik, menyayangi hamba-Nya. Allah selalu memberikan pilihan terbaik untuk kita. Buktinya aku masih diberi kesempatan untuk menjalani hidup, masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dimasa lalu, atau setidaknya tidak mengulang kesalahan yang sama.

Ah, siapa yang menyangka kalau sampai sekarang, kedua kaki ini masih dapat menginjak tanah dengan sempurna? Masih bisa menyapa matahari yang tersenyum cerah setiap pagi. Masih bisa melihat kilau bintang berkelip dalam temaran malam. Dan tentunya bisa bertemu dengan begitu banyak orang bersama aneka watak dan tabiatnya tersendiri. Aku sungguh beruntung. Begitu indahnya dunia, bagi siapa saja yang penuh dengan harapan….

Balee Bamboo, 16 Nopember 2008

Innalillahi wa inna ilahi rajiun..

Addicated for my cousin

Allahumma firlaha, warhamha waafiha wa’fuaha…

Selasa, 18 Mei 2010

Hanya kepada Allah lah, sebaik-baiknya tempat kembali

Saat ini aku benar-benar sedih. Tiba-tiba saja seorang sahabat yang amat kusayangi pergi meningggalkanku tanpa alasan yang pasti. Seandainya memang dia harus pindah ke tempat lain atau mungkin lebih dulu berpulang kepada-Nya, tentu masih bisa aku terima. Tapi disaat dia masih berada disisi namun sikapnya benar-benar berubah, seolah tak pernah mengenaliku. Sungguh, semua ini membuatku tersiksa.

Memang aku hanya seorang manusia yang tak pernah luput dari salah dan khilaf. Dan aku tak pernah menyadari apa salahku padanya. Seandainya dia mau mengatakan, tentunya aku akan merusaha memperbaiki kesalahan ini di kemudian hari. Namun kata itu pun tak pernah terucap.

Sejak dulu, aku selalu berprinsip kalau ‘Persahabatan itu nilainya lebih tinggi daripada cinta’. Benarkah begitu? Ataukah prinsip hidup seperti ini yang salah? Apa mungkin diriku terlalu egois untuk melihat cinta yang ada dihadapan mata demi mempertahankan sebuah persahabatan? sehingga sampai saat ini sudah ketiga kalinya aku gagal mempertahankan keduanya.

Peristiwa seperti ini memang sudah berulang kali terjadi. Namun tetap saja semua itu membuatku merana dan sangat tersiksa hingga kenangan pahit yang sudah ditutup rapat dalam relung hati itu kembali menyeruak dan tak dapat terbendung lagi.

Ø Kisah 1

Entah dari mana awalnya hingga kami menjadi dekat setelah memasuki kelas yang sama di tingkat akhir SMP. Aku benar-benar menaruh kepercayaan besar kepadanya.

Dan aku merasa menjadi orang yang sangat beruntung. Bagaimana tidak, aku bisa mendapatkan seorang sahabat yang cantik, pintar, pengertian dan ilmu agamanya jauh lebih dari cukup. Tidak sia-sia ayahnya yang seorang ustadz menggemblengnya siang dan malam.

Selama satu tahun berjalan kami menjalani persahabatan ini dengan indah. Secara kebetulan kami juga melanjutkan ke sekolah yang sama. Tapi ternyata aku terlalu pongah dan lupa diri dan melupakan keberadaan Allah hingga Allah menegurku.

Pada saat itu kami masih sama-sama duduk di kelas satu sekolah lanjutan atas, dimana setiap siswa diwajibkan untuk mengikuti acara ‘mentoring dhuha’. Saat itu dirinya berbisik kepadaku kira-kira seperti ini:

“Aku mau pamit, sepertinya aku mau pindah ke pesantren untuk mendalami ilmu agama.”

“Lalu aku bagaimana? Cuma kamu satu-satunya orang yang selama ini aku percaya…,”

“Kan masih ada Aming, Indah…juga teman-teman lain. sahabatmu masih banyak selain aku. Tanpa aku, hidupmu masih penuh warna.” Kilahnya.

“Hhh, kenapa semua orang menghalangi niat baikku ini!” keluhnya lagi

Akhirnya aku mengalah “Ya pergilah kalau menurutmu ini adalah keputusan terbaik, aku tidak akan menghalangimu. Aku hanya ingin menjadi sahabat terbaikmu,”

Selang beberapa minggu kemudian, dia memang tidak jadi pindah tapi entah angin apa gerangan yang membuat dirinya berubah. Tiba-tiba saja dia menjauhiku. Seandainya kami berpapasan pun dia berlaku seolah tak mengenaliku. Ya Allah apa yang salah dengan diriku, kenapa dia sampai begitu membenci aku? Itulah terakhir kalinya aku bertemu dengannya.

Perubahan sikapnya ini benar-benar membuatku terpukul. Perangaiku yang ceria secepat kilat berubah menjadi seorang yang pemurung, pendiam dan juga penyendiri. Dan sampai saat ini kebiasaan buruk itu masih melekat dan sulit untuk dihilangkan. Aku butuh waktu yang tidak sebentar untuk memulihkan suasana hati. Tapi semenjak itu aku tak pernah lagi bisa mempercayai seseorang…

juni 1995

Ø Kisah 2

Dia adalah teman masa kecilku. Sejak dulu kami tumbuh bersama. Suatu saat nanti, aku ingin datang menghadiri pernikahannya untuk melihat dia tersenyum bahagia bersanding dengan belahan jiwanya di Pelaminan. Aku ingin ikut merasakan kebahagian pada saat yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Bukankah seorang sahabat akan selalu mendampingi dalam suka maupun duka?

Selang beberapa tahun kemudian setelah lulus sekolah, kami memang jarang sekali berjumpa. Mungkin karena kesibukan masing-masing. Hingga tiba pada suatu senja:

ayah menyapaku “Kenapa tak pergi ke rumah Dewi?

“Tidak. Memangnya ada apa?” tanyaku heran

“Lho, memangnya kamu belum tahu, dia akan menikah besok. Masa kamu tidak tahu.”

Aku hanya menggelengkan kepala mengiyakan ketidaktahuanku. Ah, mungkin dia lupa!

Kabar tersebut membuatku terus berharap agar selembar undangan itu akan segera muncul di depan pintu. Semalaman aku terus menunggu namun sampai keesokan harinya, memang tak ada selembar undangan pun yang melayang di hadapanku mengenai pernikahan itu.

Hati ini terus bertanya, kenapa bisa-bisanya seorang ‘aku’ bisa luput dari pikirannya. Padahal dulu, aku selalu berada disampingnya. Lupa? Ah, sebuah tanggapan klise yang sederhana. Tapi apakah tidak ada seorang pun disekitarnya yang mengingatkan hal ini. Bukankah selama ini, aku cukup dikenal baik oleh keluarganya.

Sampai sekarang, aku masih ingat betul peristiwa malam itu. Bagaimana tidak, toh hari itu sebenarnya adalah hari Ulang Tahunku. Disaat seharusnya aku berucap syukur karena Allah masih mempercayaiku untuk hidup di dunia ini tapi semua karunia itu harus aku bayar dengan kehilangan seorang sahabat kembali.

Di hari yang paling membahagiakan, aku malah berurai air mata. Lagi-lagi kecewa, dilupakan oleh sahabatku sendiri begitu saja. Mungkin memang begitu adanya, aku sudah tidak memiliki arti apa-apa lagi baginya. Masih lekat dalam ingatan, ditemani heningnya malam, untuk pertama kalinya aku menulis sebuah puisi, suatu hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya.

Seharusnya, ada derai tawa malam ini

Duduk melingkar bersamanya

Dalam hamparan karpet lusuh

Ditemani beberapa stoples kue

malam ini

Tawa itu telah berajak pergi

Meninggalkanku seorang diri.

Kenapa, kenapa harus malam ini

Kau torehkan luka dihati

Rasanya aku tak sanggup lagi

Jalani hidup ini seorang diri.

Tapi, putus asa itu sia-sia semata

Karena dunia takkan pernah mau peduli

Dia akan terus bergulir

Dan sang waktu akan terus berjalan

Walau aku terus menangis

hingga airmata ini mengering

takkan pernah membuat dirinya kembali

Maret 2002

Ø Kisah 3

Setiap orang yang pernah kita temui meninggalkan kesan berbeda dihati. Ada yang mengesankan, ada yang menyebalkan dan ada pula yang biasa-bisa saja. Ketika aku bertemu dengan dirinya di suatu tempat, aku sudah merasa cocok dengannya, entah mengapa. Padahal saat itu, baru pertama kalinya kami bertemu.

Dia itu baik, polos, ramah juga lucu. Ada saja ulah yang dibuatnya hingga membuatku tersenyum. Walaupun terkadang aku ikutan jengkel akan sikap polosnya itu yang tak pernah peduli, kalau ucapannya itu akan menyinggung perasaan orang lain.

Ya, tapi mau bagaimana lagi karena sifat dia memang seperti itu. Toh, setiap orang pasti memiliki kelemahan dan itulah kelemahan dia. Tapi ada satu hal yang membuatku benar-benar salut padanya yaitu tentang pandangan hidupnya yang sederhana. Pola pikirnya yang terlampau sederhana itulah yang bisa membuat dirinya selalu bisa mengatasi masalah, tanpa ada masalah. Selama aku mengenal dirinya, aku tak sekalipun melihat dirinya bersedih.

“Sudahlah. Hidup ini memang rumit, jadi jangan kau buat lebih rumit lagi. Nanti akan jadi benar-benar rumit! Nikmati saja apa adanya!” sarannya suatu waktu.

Aku begitu bahagia mendapatkan seorang sahabat seperti dirinya. Jiwaku terlena, bahwa sebenarnya dia tak kan pernah ada di sampingku selamanya. Hingga suatu hari di bulan Ramadhan, dirinya berpamitan akan pindah ke tempat yang sangat jauh.

Mengabdikan ilmu yang dimilikinya di sebuah tempat yang sangat terpencil di ujung timur pulau ini. Kabar yang begitu mendadak ini, benar-benar membuatku schok. Sungguh, aku belum siap menerima kepergiannya. Setiap malam aku selalu berharap agar dia membatalkan niatnya itu. Semoga ada hal lain yang mengalanginya untuk pergi.

Benar saja, Allah mengabulkan doa ini. Dia memang tak jadi pergi. Rencana keberangkatannya yang telah disusun begitu sempurna, gagal begitu saja tanpa alasan pasti. Ada hal lain yang menahannya di kota ini, tapi jelaslah bukan diri ini. Dia telah temukan hal lain yang lebih berharga selain aku.

Buktinya, seperti dalam kisah sebelumnya. Disaat pamit itu telah terucap, dalam kisaran putaran waktu yang sama, aku menemukan dirinya sebagai sosok lain. Sebuah sosok yang tak pernah aku kenal sama sekali. Dia benar-benar berubah menjadi orang lain. Andai, saat ini aku bertemu dengannya lagi, hati ini menjerit kesakitan. Tak sanggup rasanya mengingat semua kenangan bersamanya. Mungkin ada baiknya kalau aku tak pernah bertemu dengannya lagi, biarlah semua yang telah terjadi akan kusimpan dalam hati.

Sedangkan disaat yang sama, aku malah kehilangan orang lain. Orang yang selama ini tak pernah aku perdulikan keberadaannya. Akhirnya, orang itu pergi mengejar mimpinya. Mungkin, aku terlalu picik memandang kehidupan ini. Begitulah, aku telah salah memilih.

Maret 08

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Selama ini, aku terlalu lupa diri dan Allah telah menegurku dengan mengambil mereka kembali. Aku memang sedih harus kehilangan mereka semua. Tapi itu adalah balasan setimpal dari semua perbuatanku.

Aku sering melupakan Allah dalam hari-hariku, aku hanya mengingatnya saat shalat, itu pun hanya sebagai ibadah harian untuk menggugurkan sebuah kewajiban saja. Selama ini aku terlalu lalai, lebih mementingkan manusa daripada pencipta-Nya

Padahal Allah Maha Pencemburu. Dia tidak ingin aku menduakan cinta-Nya yang begitu sempurna. Dan memang benar adanya, tanpa mereka semua ada disisiku. Kini aku kembali, mengharapkan cinta-Nya. Semoga, aku akan selalu menyimpan cinta-Nya ini dalam setiap langkah kehidupanku. Karena hanya kepada Allah lah sebaik-baiknya tempat kembali.

v

Juni 2008