Selasa, 18 Mei 2010

Embun dan Ramadhan


Ibarat setetes embun yang muncul di setiap pagi, membawa rona harapan dalam relung jiwa begitupun hadirnya Ramadhan dalam sejengkal hidup manusia. Embun dan Ramadhan adalah dua hal yang tak pernah berkaitan namun bagaimana pun kedua hal tersebut memang memiliki banyak kesamaan, yaitu keberadaannya sering dianggap tiada.

Apalah artinya kehidupan didunia ini tanpa hadirnya setetes embun. Apakah pepohonan bisa tumbuh dan berkembang sempurna? Bagaimana tanaman dapat bertunas, berbunga atau bahkan sampai berbuah?

Siapa yang tidak tahu embun? Semua orang pasti tahu. Namun kebanyakan, rasanya tak pernah mau peduli atau mungkin hanya sebagian kecil dari mereka yang masih peduli dengan kehadirannya. Kenapa? Karena begitulah manusia, hanya mau peduli pada hal-hal yang nampak jelas akan memberi keuntungan bagi dirinya sendiri sehingga memperlakukan semua itu layaknya benda berharga. Seandainya dia memang tidak membutuhkan hal tersebut maka kehadirannya seolah tak pernah nampak ada dihadapannya.

Sekarang, bagaimana dengan Ramadhan? Sepertinya tak ada bedanya dengan embun. Bukan, bermaksud untuk merendahkan moment istimewa ini. Moment dimana begitu banyak tawaran Allah bagi manusia yang ingin berlomba-lomba mengumpulkan amalan kebaikan. Hanya saja banyak manusia yang sering melupakannya.

Ramadhan hadir dalam setiap jengkal kehidupan manusia. Dimana Ramadhan berfungsi sebagai penyeimbang antara dosa dan kesalahan dengan amal sholeh yang telah dilakukan oleh seorang manusia. Seandainya saja dosa dan kesalahan itu dapat terlihat mungkin kita akan banyak menemukan pemandangan aneh yang berkeliaran disekitar kita.

Tapi dengan “Rahman-Nya” Allah masih mau menutupi semua dosa dan kesalahan yang pernah kita perbuat. Hingga manusia bisa berbuat semaunya seolah dirinya tak pernah berbuat apa-apa. Disini, Ramadhan dihadirkan agar manusia mau bertobat, berusaha untuk memperbaiki diri.

Manusia memang selalu mengagung-agungkan bulan Ramadhan. Jauh-jauh hari sebelumnya, mereka selalu merindukan hadirnya. Mereka berseru “Ya Rabbana, tolong pertemukan kami kembali dengan Ramadhan berikutnya..,”

Namun apa jadinya saat Ramadhan itu datang menghampiri mereka? Banyak diantara manusia yang tidak peduli. Mereka menjalani semua ini hanya sebatas meluluhkan kewajiban tanpa disertai kesungguhan dalam hati akan makna Ramadhan itu sendiri. Yang lebih miris lagi, ada yang hanya menganggap kalau moment Ramadhan adalah sebuah tradisi turun temurun yang sudah berlangsung selama ratusan tahun.

Sayang sekali, manusia sering kali tak dapat melepaskan diri dari tuntunan kehidupan. Manusia lebih banyak takut pada atasan daripada takut pada pencipta-Nya hingga dirinya mampu meninggalkan semua tawaran yang telah dijanjikan Allah. Bukankah rezeki-Nya itu terhampar luas seluas langit dan bumi. Apakah semua itu belum cukup untuk menjamin kehidupan dirinya maupun keluarganya?

Namun disaat Ramadhan itu mulai pergi meninggalkannya. Barulah muncul perasaan menyesal. Sadar akan kekhilafannya selama ini, telah menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Padahal dirinya sendiri tahu kalau penyesalan itu tak pernah datang lebih dulu.

Ada baiknya kalau kita berusaha untuk menghargai waktu dan memanfaatkan setiap kesempatan yang kita miliki. Dalam hal ini, tak ada salahnya untuk memaksakan diri. Memaksakan diri pada awalnya memang akan terasa sulit tapi lama kelamaan akan terbiasa bahkan menjadi kebiasaan. Janganlah pernah risau apabila dimasa lalu kita masih banyak melakukan kesalahan. Yang terpenting, mulai saat ini dan nanti kita berusaha untuk melakukan perbaikan diri.

Kesempatan tak pernah hadir dua kali. Ramadhan yang kita lalui kali ini hanya berlalu sekali, takkan dapat terulang, takkan dapat terganti dan juga takkan dapat berbeli. Belum tentu kita bisa menikmati semua jaminan Allah ini di tahun depan.

Wallahu Alam Bishowab,

*

Bilik bamboo, 28 Syawal 1429 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar