Senin, 18 Juni 2012

Diary Minnie


Diary Minnie.
Begitulah, dia menamaimu. Sebenarnya, aku tak habis pikir, bagaimana bisa dia memilihkan nama itu untukmu.
Bukankah Minnie hanyalah seekor tikus betina yang sengaja dihadirkan Walt Disney untuk menemani Mickey yang selalu sendirian dan kesepian. Lalu, apa hubungannya denganmu?
Lihat saja! Ukuran tubuhmu juga tidak mini, justru terlihat lebih gempal malah. Ups, salah. Rasanya tak pantas bila menyebutmu gempal. Hmm… sepertinya, tebal mungkin lebih cocok untukmu.
Namun, ketika melihat matamu yang bulat mengerjap-ngerjap, kurasa kau begitu bahagia dengan sebutan itu. Baiklah, aku mengalah. Mulai saat ini hingga nanti, aku akan tetap menyebutmu ‘Diary Minnie’
Kau setuju, bukan?
Tentu saja kau setuju. Apalagi belakangan ini, teman-teman kita ikut-ikutan memanggilmu ‘Minnie’. Ah Min, aku masih ingat betul, awal perjumpaan kita. Saat itu, tak biasanya dia datang menghampiriku. Lalu menyerahkanmu ke tanganku.
“Rawat dia baik-baik!” pesannya singkat.
“A... ku,” tanyaku sembari menunjuk hidungku sendiri.
Dia mengangguk.
“Tapi…  kenapa harus?” tolakku ragu.
“Bukankah kau sudah berjanji padaku?”
“Berjanji padamu, kapan?” alisku bertaut
Dia menghela nafas. Kelihatannya, dia tak ingin berdebat lagi denganku.
“Kau tak pernah mau mengisi kumpulan puisi milikku?”
“Apa? apa hanya itulah alasanmu?” tanyaku memastikan.
Bukannya menanggapi pertanyaanku, Kau malah beranjak meninggalkanku.
Hei, tunggu…
Kau pun menghentikan langkahmu sejenak, lalu berbalik. Hatiku mulai bernafas lega..
“Oh ya, kau boleh mengisinya dengan apa saja. Mau bercerita, mengoceh, mengadu, atau corat coret sekalipun juga boleh. Pokoknya segala hal  selain puisi.” ujarmu mengingatkan.
Tak lama kemudian, kau kembali melangkah hingga bayanganmu hilang di tikungan diantara sorotan lampu taman.
Aku terhenyak. Seperti tersadarkan dari mimpi. Meski sudah berkali-kali, kau memintaku untuk mengisi buku kumpulan puisimu. Aku selalu menolak. Alasannya, aku tidak begitu akrab dengan puisi.
Bahkan aku sempat bilang padanya, “Jangan pernah memintaku membuat sebuah puisi karena aku takkan pernah melakukannya.”
****

Biarpun enggan, akhirnya kau kubawa pulang. Entah kenapa, dia mempercayaiku untuk merawatmu. Padahal kau tau sendiri, aku tak pernah punya tempat khusus untuk menyimpanmu. Rasa ragu mulai menyergap hatiku, aku takut tubuh mulusmu akan kotor dan berdebu.
Minie…
Apa itu suatu kebetulan atau tidak, tapi kau akan menemukan Minnie lain yang lebih dulu menjadi penghuni rumahku. Awalnya, dia selalu setia menemani hari-hariku. Namun semenjak kesibukanku diluar semakin bertambah, dia selalu aku abaikan.
Lama kelamaan, aku juga tak tega melihatnya kotor dan berdebu. Hingga akhirnya, aku terpaksa menyimpannya di tempat yang paling aman. Sungguh, bukan maksudku untuk membalas kesetiaannya, dengan mengurung dia di dalam lemari.
Bila kita sudah tiba di rumahku nanti, aku berjanji akan segera membebaskannya. Agar kalian bisa segera berkenalan. Mudah-mudahan kalian bisa berteman baik, nanti. Sehingga kalian tidak merasa kesepian, saat aku tinggalkan.

Bandung, Medio 2007

The Koster, part 1


Ketika putaran waktu terus merambat semakin jauh. Terkadang, kita tak pernah sadar apa yang telah kita lakukan dalam hidup ini. Padahal dalam setiap jejaknya akan terus  berpacu dengan waktu.Demikian pula dengan episode kehidupan yang baru saja aku jalani saat ini.

Tanpa terasa, sudah hampir tiga perempat tahun, aku belajar hidup jauh dari orang tua. Ibarat bayi merah yang baru mengenal dunia, aku juga baru mengenal betapa kerasnya kehidupan diluar sana.
Sebuah keputusan berat yang tak pernah aku rencanakan sebelumnya. Apalagi sampai membayangkannya. Tapi… inilah kenyataannya. Aku harus hidup jauh dari orang-orang yang aku sayangi.
Kalau boleh memilih, aku ingin tetap berada di rumah, Menemani mereka hingga ujung usianya. Tak tega rasanya, membiarkan tubuhnya yang telah renta bersimbah peluh. Tapi, apa mau dikata bila tak ada seorang pun, yang mengharapkan aku kembali.
Sungguh, aku tidak pernah memiliki pilihan lain. Yang tersisa hanyalah segudang tanya memenuhi kepala, tanpa ada satupun penjelasan yang dapat aku pahami. Kenapa dia lebih memilihnya daripada aku? Kenapa dia lebih rela menyiksa dirinya sendiri hanya demi kebahagiaannya?
Padahal, aku perjuangkan segala hal hanya untuk membuatnya bahagia. Apakah dia tak pernah sadar, kalau semua itu sangat melukai perasaanku. Aku hanya ingin mendapatkan hakku kembali yang sering dia lupakan. Disini, aku hidup seorang diri, mencoba bertahan dalam segala keterbatasan, berusaha untuk tegar biarpun tetap rapuh.
Tak ada yang bisa kujadikan sandaran kecuali Allah. DIA lah yang telah menciptakanku, DIA pula yang telah mengatur kehidupanku. Aku yakin, DIA takkan pernah membuatku terlunta. Karena DIA tak pernah tidur seperti kita.
Tapi… aku hanya manusia biasa. Dimana dalam satu titik jenuh, perasaan kecewa itu akan berbalik menjadi rindu. Ah, seandainya…, kalau saja…, tentu takkan begini  
Entahlah, kenapa banyak butir-butir keluh yang menggenang di hatiku! Bukan mendidikku untuk lebih bersikap bijaksana, Astagfirullah…

Istana Abu, 10 Nopember 2010

Sabtu, 16 Juni 2012

Menjadi, Kutu Loncat!


Behind Odet dan Kebun Kentang

Sepertinya, aku harus berterima kasih pada t’Evi Indriani. Banyak sekali informasi mengenai perkembangan naskah first novelku  yang ada di Tiga serangkai, berasal darinya.
Di suatu siang menjelang sore, dia kembali mengirimiku sebuah sms.
“Hai teman sebangku, naskah kita berdua, akhirnya bisa lolos juga!”
“Lolos apa? kan emang udah lolos seleksi kedua dan dilanjut hingga bab akhir. Pengumumannya seminggu lagi, kan?”
“Bukan… naskah kita lolos seleksi kedua dan akan diterbitkan.”
“Benarkah?” tanyaku lagi seakan tak percaya.
“Iya, infonya ada di facebook. Katanya sih, pemberitahuan resminya melalui via email.”
“Ooh, saya memang belum sempat membuka email dari kemarin. Makasih infonya ya!”
Tanpa membuang waktu, aku buru-buru menyalakan komputer. Lalu membuka akun email milikku. Ternyata benar, m’Windri sudah mengirimiku email kemarin, pukul 2.00 dini hari..
Dalam email tersebut menyebutkan bahwa naskah “Odet dan Ranting Ajaib” akan diterbitkan oleh tiga ananda. Salah satu lini penerbitan buku-buku anak di Tiga Serangkai.
Tak cukup sampai di situ, karena menurut rencana First Novel ini akan diterbitkan secara berseri, dimana tiap seri akan terdiri dari dua judul. Jadi, m’Windri memintaku untuk membuat kisah lanjutan dari Odet.
Aku mengangguk-angguk sendiri. Kemudian, aku melanjutkan membaca email. Ternyata ada biodata yang harus kuisi. Aku pun langsung mengisinya dengan semangat. Tapi, tiba-tiba saja mataku tertegun melihat deretan terakhirnya.
NPWP…
“Waduh, aku kan belum punya NPWP?”
Tanpa membuang waktu, aku buru-buru mengirim sms kembali pada t’Evi
“Harus pake NPWP ya? Saya belum punya NPWP eng!”
“Alhamdulillah, saya udah punya!” jawabnya.
“Eh bikin aja, cara pembuatannya gampang ko.”
“Ya tapi… sekarang kan udah jum’at sore. Paling tidak, saya harus menunggu hingga senin pagi. Betul tidak?”
“Iya juga sih!”
Aku kembali diam. Sebenarnya bukan masalah NPWP yang membuatku bingung. Tapi, bagaimana kisah Odet selanjutnya?  Meski ada sedikit kelonggaran dengan deadline, dua bulan dari sekarang, tapi tetap saja ideku masih benar-benar kosong.
****

Meski sudah dua bulan, kantor diliburkan. Aku bersikukuh bertahan di kostan. Ingin tetap fokus menyelesaikan kisah Odet selanjutnya, menjadi alasan. Karena, kupikir keadaan di kostan, jauh lebih kondisif daripada di rumah.
Semoga, masih ada sedikit harapan yang tersimpan. Kau tahu, aku tak ingin pulang dengan alasan apapun. Aku ingin buktikan, bahwa aku sanggup dan mampu bertahan di tempat ini.
Namun, bertahan hidup di tempat asing tanpa penghasilan sedikitpun, bukanlah perkara gampang. Rasanya tak mungkin, bila hanya mengandalkan uang tabungan yang seadanya. Mau tak mau, aku terpaksa harus meminjam ke sana sini untuk bertahan hidup.
Tak apalah, yang penting aku bisa belajar mandiri. Andai saja, honor itu bisa segera turun secepatnya. Pasti akan segera kututup semua utangku. Ah, kenapa aku seperti tidak ikhlas dalam menulis naskah ini?
Belum apa-apa, aku sudah mengandalkan honor, yang belum jelas berapa dan kapan turunnya. Maaf, tapi aku benar-benar membutuhkannya saat ini.
Ya Allah, kuharap ada keajaiban
Akan tetapi, apa yang kita inginkan, belum tentu sesuai dengan kenyataan. Dan semua rencana yang sudah kususun sedemikian rupa itu harus pupus di tengah jalan. Aku mendapat kabar, kalau ibuku sedang sakit di rumah. 
Tanpa harus berpikir ulang, aku langsung buru-buru pulang. Lalu, kembali tinggal di rumah untuk beberapa waktu lamanya. Tanpa peduli uang kostan yang baru saja kubayar, meski dari hasil pinjaman ke orang.
Yang ada dalam pikiranku hanya satu, ibu segera pulih dan aku kembali ke kostan. Namun, meski sudah hampir dua bulan berjalan, penyakit ibu tak kunjung sembuh. Sementara deadline kisah Odet yang kedua semakin dekat.
Menjadi kutu loncat, sudah menjadi kegiatan sehari-hari. Mulai dari mengurus ibu yang masih sakit, kembali ke naskah, lalu mengurus rumah. Kemudian kembali ke naskah lagi. Saat itu, benar-benar menguras energi
Hanya satu hal yang aku sayangkan, aku sulit sekali untuk fokus. Mungkin karena pikiranku yang bercabang-cabang atau karena kelelahan. Naskah memang sedang aku kerjakan, tapi sepertinya melenceng kemana-mana.
Ah, Ya Allah… Aku harus bagaimana??  T_T
Aku jadi teringat pada sebuah pepatah, “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan…” 
Aku berusaha untuk tetap fokus. Berusaha, untuk tetap menulis selama aku mampu. Seperti ucapan bunda Ary Nilandary. Jika kau hanya mampu menulis selama lima menit, menulislah. Jika kau hanya mampu menulis selama setengah jam, tetap menulislah.
Tanpa sadar, aku mampu menyelesaikan kisah Odet yang kedua ini. Di saat, waktu deadline sudah mepet. Meski hingga saat ini, aku terpaksa harus meninggalkan kostan, aku tidak akan menyesal. Kesempatan mengurus ibu yang sakit, jauh lebih berarti dari segalanya...