Diary
Minnie.
Begitulah,
dia menamaimu. Sebenarnya, aku tak habis pikir, bagaimana bisa dia memilihkan
nama itu untukmu.
Bukankah
Minnie hanyalah seekor tikus betina yang sengaja dihadirkan Walt Disney untuk
menemani Mickey yang selalu sendirian dan kesepian. Lalu, apa hubungannya
denganmu?
Lihat
saja! Ukuran tubuhmu juga tidak mini, justru terlihat lebih gempal malah. Ups,
salah. Rasanya tak pantas bila menyebutmu gempal. Hmm… sepertinya, tebal
mungkin lebih cocok untukmu.
Namun,
ketika melihat matamu yang bulat mengerjap-ngerjap, kurasa kau begitu bahagia
dengan sebutan itu. Baiklah, aku mengalah. Mulai saat ini hingga nanti, aku
akan tetap menyebutmu ‘Diary Minnie’
Kau
setuju, bukan?
Tentu
saja kau setuju. Apalagi belakangan ini, teman-teman kita ikut-ikutan memanggilmu
‘Minnie’. Ah Min, aku masih ingat betul, awal perjumpaan kita. Saat itu, tak
biasanya dia datang menghampiriku. Lalu menyerahkanmu ke tanganku.
“Rawat
dia baik-baik!” pesannya singkat.
“A...
ku,” tanyaku sembari menunjuk hidungku sendiri.
Dia
mengangguk.
“Tapi…
kenapa harus?” tolakku ragu.
“Bukankah
kau sudah berjanji padaku?”
“Berjanji
padamu, kapan?” alisku bertaut
Dia
menghela nafas. Kelihatannya, dia tak ingin berdebat lagi denganku.
“Kau
tak pernah mau mengisi kumpulan puisi milikku?”
“Apa?
apa hanya itulah alasanmu?” tanyaku memastikan.
Bukannya
menanggapi pertanyaanku, Kau malah beranjak meninggalkanku.
Hei,
tunggu…
Kau
pun menghentikan langkahmu sejenak, lalu berbalik. Hatiku mulai bernafas lega..
“Oh
ya, kau boleh mengisinya dengan apa saja. Mau bercerita, mengoceh, mengadu,
atau corat coret sekalipun juga boleh. Pokoknya segala hal selain puisi.” ujarmu mengingatkan.
Tak
lama kemudian, kau kembali melangkah hingga bayanganmu hilang di tikungan
diantara sorotan lampu taman.
Aku
terhenyak. Seperti tersadarkan dari mimpi. Meski sudah berkali-kali, kau
memintaku untuk mengisi buku kumpulan puisimu. Aku selalu menolak. Alasannya,
aku tidak begitu akrab dengan puisi.
Bahkan
aku sempat bilang padanya, “Jangan pernah memintaku membuat sebuah puisi karena
aku takkan pernah melakukannya.”
****
Biarpun
enggan, akhirnya kau kubawa pulang. Entah kenapa, dia mempercayaiku untuk
merawatmu. Padahal kau tau sendiri, aku tak pernah punya tempat khusus untuk
menyimpanmu. Rasa ragu mulai menyergap hatiku, aku takut tubuh mulusmu akan
kotor dan berdebu.
Minie…
Apa
itu suatu kebetulan atau tidak, tapi kau akan menemukan Minnie lain yang lebih
dulu menjadi penghuni rumahku. Awalnya, dia selalu setia menemani hari-hariku. Namun
semenjak kesibukanku diluar semakin bertambah, dia selalu aku abaikan.
Lama
kelamaan, aku juga tak tega melihatnya kotor dan berdebu. Hingga akhirnya, aku terpaksa
menyimpannya di tempat yang paling aman. Sungguh, bukan maksudku untuk membalas
kesetiaannya, dengan mengurung dia di dalam lemari.
Bila
kita sudah tiba di rumahku nanti, aku berjanji akan segera membebaskannya. Agar
kalian bisa segera berkenalan. Mudah-mudahan kalian bisa berteman baik, nanti. Sehingga
kalian tidak merasa kesepian, saat aku tinggalkan.
Bandung, Medio 2007