Minggu, 11 November 2012

Cathar 1


Mien, kau tahu, kan?
Aku sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta.
Apa aku akan terus melamun memikirkannya? 
Apa aku akan kehilangan selera makan karena perasaanku yang sedang berbunga-bunga. Apa aku bisa bahagia dengan rasa cinta yang ada? Ataukah aku harus kembali merana seperti pengalamanku sebelumnya. Entahlah,

Mien,
Aku bukan tak ingin jatuh cinta lagi. Hanya saja, aku tak sanggup membayangkan. Bagaimana bila perasaan ini kembali terluka dan kecewa. Apa yang baru saja aku alami belakangan ini, membuatku harus berpikir ulang.

Please, move on!
Sungguh, bukan inginku untuk terus berkutat di masa lalu. Aku juga ingin melupakan dia dan mencari pengganti dirinya. Tapi kenapa, semua usahaku selalu menemui jalan buntu?

Padahal selama ini, aku sudah berusaha membuka hati untuk orang lain. Mulai dari orang yang belum kukenal sebelumnya. Hingga orang yang kehidupannya benar-benar asing bagiku. Kupikir, kami bisa memulai segalanya dari awal. Karena itulah, aku mencoba menepis semua  keraguanku padanya.

Tapi hasilnya, sungguh mengecewakan. Rasanya semua usahaku tidak ada artinya. Terkadang, aku sering merenung sendiri. Apa mungkin, diri inilah yang bermasalah? Hingga akhirnya, mereka tetap meninggalkanku seorang diri.

Mien,
Saat ini, aku merasa sendirian dan kesepian.
Kini, tak ada seorang teman ataupun sahabat yang tersisa untukku.
Bahkan, kini tak ada satu tempat pun yang bisa aku kunjungi saat hati ini, benar-benar terluka dan kecewa...
Apa yang harus kulakukan, Mien?

Meski begitu, aku tetap tak ingin menyalahkan siapapun. Aku juga tak ingin berharap pada siapapun. Apalagi sampai meminta bantuan makhluk apapun. Biarlah Allah yang mengatur hidupku, hendak ke mana arah hidupku di kemudian hari.

Kata orang, pasrah menyerah dengan menerima kenyataan itu beda tipis. Benarkah? Lalu, bagaimana harus aku bersikap. Setelah sebuah pilihan yang telah aku putuskan beberapa tahun ke belakang.

Entahlah, tapi kurasa alasanku hanya satu. Aku masih belum punya pilihan lain yang lebih baik. Hingga aku menemukan penggantinya maka semua ini masih tetap tak akan berubah, hingga kapan pun.

Mungkin pula, aku terlambat meminta. Ingin bertemu jodoh dan menikah saat usiaku sudah menginjak kepala tiga. Padahal bagi orang lain, sudah meminta hal yang serupa saat dia masih duduk di bangku sekolah atau pada saat kuliah.

Sungguh, bukan aku tak pernah memikirkannya. Tapi, rasanya kenyataan dihadapanku yang tak pernah memberikan kesempatan untuk melakukannya. Aku juga ingin seperti orang lain, ingin menata hidupku sendiri. 

Aku jadi teringat pada obrolanku dengan seorang teman suatu waktu, “Minta jodoh itu, harus rinci dan jelas. Jangan ngasal dan seadanya. Saya juga butuh waktu lima tahun, hingga bertemu istri saya ini.”

Ya Allah,.. Tolonglah, jangan selama itu.
Aku tak sanggup menunggu hingga lima tahun
Sungguh, aku benar-benar membutuhkannya, saat ini.     
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar