Selasa, 14 Februari 2012

Flp, Takkan Tergantikan

“Apa pun akan aku lakukan demi flp…”
Mungkin teman-teman di Bandung, pernah atau bahkan sering mendengarku mengatakan hal tersebut. Kenapa? Karena aku ingin memotivasi diri sendiri. Kuharap, satu saat nanti impian ini benar-benar menjadi kenyataan.
Aku hanyalah orang biasa yang hidup dalam lingkungan seba terbatas. Bahkan sebuah survey mengatakan kalau tempat tinggalku termasuk salah satu daerah terpadat di dunia. Aku sadar, semua tak akan berjalan mudah. Butuh kerja keras dan pengorbanan yang tidak sedikit.
Apalagi, pemahaman masyarakat di kampungku tentang profesi ini masih sangat awam. Mereka hanya mau menghargai pekerjaan seseorang yang pergi pagi, pulang sore dan akhir bulan mendapat uang.
Mereka pikir, menulis itu dianggap sebagai pekerjaan yang membuang-buang waktu. Begitu pula dengan keluargaku. Bahkan ibuku sendiri pernah bilang, “Untuk apa menulis? Tak ada hasilnya, hanya menumpuk kertas saja!”
Meski hanya sekali beliau berucap begitu, tapi efek yang diakibatkannya jauh lebih besar. Rasanya aku masih bisa terima, kalau ucapan itu meluncur dari orang lain. Akan tetapi, ini muncul dari orang yang paling aku harapkan tetap ada disampingku dan selalu membelaku.
Mendengar perkataannya, semangatku langsung turun seketika. Hingga berbulan-bulan, aku terus berpikir ulang untuk tetap bertahan atau harus berhenti sampai di sini?
Tapi, bukankah pilihan hidup ini tidaklah salah? Masa aku akan menyerah begitu saja. Aku yakin, Allah tak akan diam saja, melihat keadaanku saat ini. Semoga Allah segera menunjukkan jalan terbaik untukku.
Hingga satu waktu, aku meminjam majalah seorang sahabat. Dari salah satu cerpen yang dimuat, penulisnya berasal dari Bandung. Irawati, namanya. Kebetulan tempat tinggalnya tidak begitu jauh dari rumahku.
Kemudian, aku mencoba menghubunginya dan mengemukakan keinginanku ini lewat selembar surat. Alhamdulillah beliau membalasnya. Hingga beberapa waktu, kami masih berhubungan, dengan saling berkirim surat. Dan setelah hampir setahun berkenalan, kami baru bisa bertatap muka langsung.
Dari beliau lah, mengalir informasi mengenai pertemuan rutin Flp Bandung, setiap kamis sore di Salman-ITB. Ingin rasanya segera datang ke tempat itu. Ingin tahu, seperti apa pertemuan penulis itu. Seberapa hebatnya mereka dan segudang pertanyaan lainnya berseliweran di kepalaku.
Sayangnya, aku tidak boleh terburu-buru. Aku perlu waktu untuk menunggu situasinya tenang. Aku juga perlu mengumpulkan keberanian untuk bisa bertemu dengan orang-orang kalangan atas seperti mereka. Perasaan minder benar-benar menguasai diriku.
Akan tetapi, aku tak ingin menyerah begitu saja. Bagaimana hidupku bisa maju, bila hanya berkutat dalam lingkungan yang itu-itu saja. Maka dari itu, dengan uang seadanya dan no kontak Teny, aku memaksa datang ke sana. Aku memang telah menghubunginya, beberapa kali.
Berbekal alasan ikut pengajian, aku pamit pergi dari rumah. Biarpun, terbersit rasa bersalah dalam hati. Seandainya aku bisa memilih, tentu aku tidak ingin melakukannya. Tapi, sungguh aku tak punya cara lain.
Kamisan pertamaku, benar-benar mengubah cara pandangku. Aku kira, pertemuan Flp itu resmi dan kaku, seperti kuliah di kampus-kampus. Yang hanya sebatas bayangan saja. Karena aku tak pernah merasakan menjadi mahasiswa di kampus mana pun.
Ternyata pertemuannya terasa santai. Meski materi terus mengalir dari pembicara, namun para pesertanya merasa tidak terbebani. Apalagi buat orang baru sepertiku. Bukan hanya itu, aku juga sampai terheran-heran dengan teman-teman baru di sekelilingku. Kamisan pertamaku, benar-benar menyiapkan segudang kejutan untukku.
Ada Adew habtsa, Noel Saga dan almah. Rinrin Migristine yang berasal dari kampus yang sama yakni Sospol. Ada Lian Kagura dari Biologi, Yuni Hasna dari Sastra Inggris. Teny juga berasal dari Hukum. (= Fakultas hukum maksudku..)
Serta Hendra Vejaay katanya sudah terkenal. Padahal aku baru pertama kali mengenalnya saat itu. Ada Fely Mulyani, Umi Riani, Riki Cahya serta masih banyak lagi yang lain, yang tak bisa kusebutkan di sini. Namun yang paling mengejutkanku adalah Alin You yang berasal dari peternakan, juga Wildan Nugraha dari pertanian.
Ds. Nyampai - Cikole (Lembang)
 Masih belum hilang kekagetanku, aku juga bertemu dengan Ananda Putri yang berasal dari Psikologi, Ade Fariyani dari keperawatan serta abang Tareq Barasabha dari kedokteran. Pak dokter yang tetap istiqomah dengan sastra.
Ah ternyata, para penulis itu tak harus teman sebaya, tak harus berasal dari kalangan atas saja. Apalagi memiliki latar pendidikan sastra Indonesia. Siapa saja yang mempunyai kemauan, masih bisa bergabung di sana.
Mulanya hanya ingin mencoba sekali. Lama kelamaan, masih ingin terus datang. Segala cara telah aku upayakan agar aku bisa tetap bertahan di Flp. Dari mulai tak jujur pada orang tua, hingga membongkar semua isi tabungan.
Aku pernah sengaja berjualan makanan ringan ala kadarnya, hanya untuk mengganti ongkos angkutan umum. Bahkan aku sering berjalan kaki, jika benar-benar tak punya uang.
Namun aku tak pernah merasa terbebani oleh semua itu. Justru aku malah menikmati setiap prosesnya.
Sungguh, Allah itu sesuai dengan prasangka hamba-NYA. Setelah beberapa tahun berjalan, dengan segala pengorbanan yang telah kulakukan. Allah berkenan meluluhkan hati kedua orang tuaku. Hingga akhirnya, mereka mau menerima pilihan hidupku. Tak ada hal lain yang lebih berharga bagiku selain restu dari kedua orang tua, Alhamdulillah..
Hingga satu waktu, kang Irfan Hidayatullah hadir, aku terperangah. Bukan karena aku pengagum karya-karyanya. Namun karena wajahnya begitu familiar bagiku. Kenapa ya? Rupanya beliau adalah salah satu anggota musyid yang terkenal di kota Bandung ini. Dulu, aku sering menonton konser nasyid yang diisi oleh beliau dan rekan-rekannya.
Sungguh, aku tak menyangka kalau beliau adalah seorang penulis terkenal. Ah, betapa kupernya aku. Katanya bercita-cita ingin jadi penulis, tapi penulis yang berasal dari Bandung pun aku tidak tahu.
Tak hanya sampai di situ, Flp menghadirkan kejutan untukku. Saat itu, ketika acara silaturahmi nasional tahun 2008 lalu. Siapa sangka kalau ketua pelaksananya yakni Koko Nata menyempatkan diri untuk menyapaku.
Sebenarnya, aku sering mendengar namanya. Seorang Koko Nata dengan segala karya-karyanya. Tapi sungguh, aku tak pernah menyangka. Kalau dia adalah orang yang sama, yakni teman lamaku yang telah lama menghilang. Saat dia memutuskan pindah ke Palembang.
Bagiku, Flp tak ubahnya seperti rumah yang nyaman untuk bernaung. Tanpa disadari, sudah hampir bertahun-tahun aku masih kerasan tinggal di sini. Bisa saling berbagi dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama, adalah kebahagiaan tersendiri.
Akan tetapi, hingga menginjak tahun keenam di flp, masih belum banyak karyaku yang di muat media. Mungkin aku tidak terlalu bernafsu untuk menjadi orang sukses dan terkenal. Aku hanya ingin orang-orang di sekelilingku tahu, bahwa inilah pilihan hidupku. Aku hanya ingin membuktikan, kalau pekerjaan seperti ini pun, memang ada di sekitar kita.
Mau sedikit ataupun banyak tak ada bedanya, yang paling penting karyaku bisa bermanfaat bagi orang-orang yang membacanya. Andai suatu saat nanti aku sudah tidak ada di dunia ini lagi. Setidaknya, orang-orang tahu kalau aku pernah ada, melalui karya-karyaku yang tidak seberapa.
Meski demikian, aku menyimpan segudang kenangan yang takkan pernah habis aku ceritakan. Di flp, aku menemukan teman dan juga sahabat. Di flp, aku menemukan saudara yang tidak lahir dari rahim yang sama. Di flp pula, aku pernah menangis dan juga tertawa ketika baru menyadari betapa indahnya dunia.
Biarpun semua datang dan pergi. Ke mana pun mereka pergi, namun akan selalu ada dalam hati. Hubungan kekeluargaan flp yang sedemikian eratnya, takkan pernah tergantikan oleh apapun.
Bandung, awal 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar