Senin, 13 Februari 2012

Because, I love it


“Kalo gak salah, pertemuannya diadakan setiap kamis sore di Mesjid Salman, Ima datang langsung aja ya! Saya udah lama gak datang.” ucap Ira diujung telpon.
“Mmm, Mesjid Salman-ITB maksudnya?” tanya Ima mencari kejelasan. Ia mulai mengingat-ingat beberapa mesjid terkemuka di kota itu.
“Abis Mesjid Salman yang mana lagi? Tapi, bangunannya terpisah dari kompleks kampus ITB kok, dari rumahmu naik aja Angkutan Umum jurusan Panghegar-Dipati Ukur dan bilang pada supirnya minta turun di Salman. Udah ya! Klik…” sambungan telepon pun terputus.
Ima nyesel jadi orang yang nggak gaul, seumur-umur belum tahu yang namanya Mesjid Salman itu dimana, apalagi sampai singgah di sana. Ya, sama halnya dengan Mesjid Daarut Tauhid milik da’i kondang yang pamornya lagi merosot saat ini.
Meski Mesjid beserta pesantren tersebut telah di kenal di manca Negara, Ima masih belum sempat menginjakkan kakinya disana. Dia hanya dapat melihatnya dengan jelas hanya dari layar kaca. Yang dia tahu hanyalah Mesjid Raya yang letaknya tepat di alun-alun kota. Itu pun  lantaran sering diajak Widi sahabatnya yang hobi berbelanja di mal-mal sekitarnya.
Ah, jadi malu sendiri! ucapnya dalam hati.
“Tapi sekarang tahun baru, aku harus punya langkah baru. Pokoknya kamis besok, aku harus datang! Ayo semangat!” ucapnya menyemangati diri sendiri.
Esok sorenya, Ima sudah berpakaian rapi. Tekadnya sudah bulat untuk datang ke pertemuan itu. Masalah gagal tidaknya, itu urusan nanti yang penting sudah berusaha.
“Hei…, mau kemana, tumben rapi amat?” tanya Mba Wiri pedagang bakso di sebelah.
“Eh Mba, mau pergi pengajian nih!”
“Ooh, yang pinter ngajinya ya!”
Ima hanya mengangguk. Tapi jadi geli juga sih, abisnya dia nggak tahu gimana sebenarnya format acara yang akan diikutinya itu. Ada pengajiannya atau nggak?
Di persimpangan dia berpapasan dengan Mba Titi yang baru pulang belanja di warung “Eh Ima, udah kerja sekarang? Kerja dimana? Kok, berangkatnya sore gini?” tanyanya.
Ima hanya tersenyum simpul. Rasanya, semua pertanyaan itu  tak perlu dijawab. Lagipula Ima sudah kesal lebih dulu pada pertanyaan semacam itu. Ia pun mempercepat langkahnya menuju jalan raya
Uuh, kenapa sih orang-orang? Setiap kali melihat aku pergi, pasti menyangka aku sudah kerja lagi. Memangnya gampang, nyari kerja jaman sekarang? umpatnya kesal.
“Mang, lewat Mesjid Salman- ITB ya!” cegat Ima pada seorang sopir pengendara Angkutan Umum dengan trayek yang disebutkan Ira tempo hari.
Pak sopir itu pun mengangguk. Tanpa ragu lagi, Ima naik kedalam Angkutan Umum tersebut. Berbaur bersama para penumpang lainnya, menuju tempat tujuan masing-masing.
Belakangan ini, bukan hanya Jakarta saja daerah yang menjadi langganan macet tapi kota Bandung pun kini mengalami hal yang serupa. Terkadang Ima tak bisa mengerti akan kebijakan pemerintah kota yang sengaja mengubah jalur Angkutan Umum agar bisa menghindari kemacetan, hingga jarak yang harus ditempuh menjadi lebih jauh dari jarak sebenarnya. Padahal di salah satu titik, kemacetan tetap saja tak bisa dihindari.
Ima sudah mulai merasa kepanasan, ia berharap agar segera sampai di tempat tujuannya. Lagipula satu persatu dari penumpang itu mulai turun hanya menyisakan ia seorang diri.
“Neng, mau kemana?” tanya pak sopir sambil membelokkan Angkutan Umum itu menuju jalan Ganeca.
“Kan tadi udah bilang, mau ke Mesjid Salman-ITB!”
“Mesjid Salman teh dimana ya?”
“Lho mang, gimana sih? Kenapa tadi ngangguk waktu saya tanya!” umpat Ima kesal.
“Ya eneng! Saya mah sopir, nyetir ya nyetir aja. Kalo kampus ITB mah saya tahu. Tapi kalo Mesjid Salman mah perasaan baru denger sekarang. Ada sih mesjid besar yang ada di depannya, tapi saya juga nggak tahu namanya. Tuuh!” terangnya sambil menunjuk sebuah mesjid megah yang letaknya memang bersebrangan dengan kompleks ITB.
“Udahlah, saya turun disini aja!” ucap Ima sambil melangkah menuju Mesjid tersebut.
Hhh, bener gak yah ini, Mesjid Salman? Tapi, kalau memang salah juga gak pa pa. Sekalian numpng shalat Ashar aja, tekadnya.
Sejuk. Itulah kesan pertama Ima bagi Mesjid yang megah ini. Dari gerbangnya saja sudah terlihat kalau mesjid ini tak pernah sepi dari aktifitas. Maklum saja namanya juga masjid kampus, tentu saja bebagai kegiatan kampus yang dilaksanakan ditempat ini. Ada orang yang berkumpul dalam berbagai kelompok di pelataran Mesjid. Belum lagi orang yang hilir mudik datang dan pergi meninggalkannya.
Untung saja, Ima tidak terlalu mengalami kesulitan untuk melaksanakan shalat Ashar disana. Padahal dirinya baru pertama kali menginjakkan kaki ke tempat ini, tapi seperti sudah terbiasa.
Selepas shalat, Ima tertarik pada seorang gadis berwajah teduh yang duduk disebelahnya. Dari mulutnya yang mungil mengalir lantunan Kalam Ilahi, begitu menyejukan sanubari. Ima jadi teringat pada dirinya sendiri, yang sudah lama meninggalkan aktifitas yang satu ini.
Hhh, mengaji…? Kapan ya terakhir kali aku melakukannya? Rasanya sudah lama aku lewatkan, batinnya seraya menarik nafas panjang.
“Teh, numpang tanya?” Ima memberanikan diri untuk menyapanya.
“Kenapa?” balasnya ramah sambil mnghentikan sementara tilawahnya.
“Apa benar ada pertemuan penulis di tempat ini?” tanya Ima ragu.
“Ooh anak baru ya! Saya ini salah satu anggotanya juga. Kenalkan namaku Tenny.”
“Kalo saya Ima. Tapi teh, kenapa belum dimulai?”
“Memangnya jam berapa sekarang?”
“Udah jam 4.15 sore,” ucap Ima sambil melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya.
“Sebentar lagi,”
“Ooh,”
Tidak lama kemudian mereka mulai berdatangan dan pertemuan rutin itu dimulai. Katanya sebelum memulainya, mereka tak pernah lepas dari ritual rutinnya yaitu membaca Kalam Ilahi yang dilanjutkan dengan kalam insani.
Tak terasa waktu satu setengah jam dilalui dengan cepat. Dan pertemuan pun harus segera berakhir, sebelum adzan Magrib berkumandang.
“Teman-teman, kita kedatangan teman baru nih!” sela Teny
“Wah, suruh kenalan dong!” celutuk seseorang yang berkacamata. Denger-denger sih namanya K’Adew.
“Iya teh, mangga..!” tambahnya lagi.
“Itu, teteh yang berkerudung hijau…!” ujar seseorang yang berjaket merah. Dari raut wajahnya memang agak terlihat seperti bukan orang sini.
Ima ikut mencari sosok yang disebut tadi. Ia tak menyadari kalau perhatian semua orang tertuju padanya, karena hanya dia satu-satunya orang yang mengenakan kerudung hijau.
“Ima…,” bisik Tenny
“Ooh, saya…,” ujar Ima sembari menunjuk hidungnya
“Betul,” balas semua kompak.
Assalamulaikum Warahmatulahi Wabarakatu. Perkenalkan nama saya Amira Imamura. Panggil saja Ima, asli dari Bandung.”
“Ah lee, kali ini ada teman dari Jepang tuh!” celutuk yang lain.
“Udah-udah…”
“Alamat…?”
“Bandung tengah.”
“Ongkos kesana, mahal nggak?” tanya orang yang mengenakan jaket merah itu.
“Ah kamu tuh lee, ada-ada aja!” timpal Tenny.
“Ya, mahal sih kalo dari Garut mah!” jawab Ima ngasal.
“Jadi, teteh teh orang Garut? Lho, tadi katanya asli orang Bandung!” ujar K’Adew sambil membetulkan letak kacamatanya yang agak miring.
 “Teh, Bandung tengahnya di sebelah mananya alun-alun?”
“Ya  tidak jauh dari sana lah!
“Kalo gitu rumah teteh di Menara Mesjid Raya, ya!”
“Iih..,”  Ima jadi garuk-garuk kerudungnya yang gak gatal
Semua orang tertawa mendengar ulahnya K’Adew. Baru kali ini Ima kalah telak dari segi ngocol hingga ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Selama pertemuan, ima tidak terlalu memperhatikan materi yang sedang disampaikan. Ia terlalu asyik memperhatikan keadaan sekeliling. Apalagi penampilan teman-teman barunya yang unik. Sangat menarik perhatiannya.
Belakangan giliran mereka yang dikenalkan Tenny. Orang berkacamata yang ngocol dan beraksen sunda itu namanya k’Adew, katanya sih dia seorang ustadz di daerahnya. Orang yang berjaket merah itu namanya Lian, berhubung wajahnya agak beda dari orang kebanyakan dia ngakui sebagai penduduk negeri sakura.
Katanya sih, dia ngefans sama warna merah. Pantas aja, segala atribut yang dikenakannya selalu disertai warna merah. Orang yang sejak tadi diam saja namanya Wildan, dia hanya mengenakan kaos dan sandal jepit. Ada juga sih yang lebih rapi. Namanya M’Riki, dia berkemeja ria tapi itu pun karena dia adalah salah seorang karyawan di Salman.
Disebelah Tenny, ada seorang gadis bertubuh subur namun murah senyum namanya Hasna, disebelah Hasna ada Noel yang penampilannya mirip anak laki-laki. Hanyalah kerudung yang membalut kepalanya yang membedakan dia dengan para Ihwan. Ada seorang Ibu dengan postur lebih besar, keliatannya sudah berkeluarga. Mereka memanggilnya Umie. Ima sangat gembira ternyata rumah Umie itu searah dengan rumahnya hingga mereka bisa pulang bareng!
Ima tidak pernah menyangka bisa bertemu dengan orang-orang yang sifatnya tidak beda jauh dengannya serta memiliki keinginan yang sama dengan dirinya. Penampilan mereka pun sama sekali dari yang Ima perkirakan sebelumnya. Jauh lebih sederhana hingga Ima lebih merasa nyaman
Sungguh diluar dugaan. Ima tak melihat para ihwan mengenakan baju muslim seperti orang kebanyakan. Para akhwatnya pun tak semua berjilbab panjang bahkan penampilannya cenderung cuex dan sederhana diselingi canda tawa. Tapi, disatu sisi disaat mereka sedang membahas materi, mereka juga bisa benar-benar serius.
Tak henti-hentinya Ima mengucap syukur pada Sang Khaliq karena pada hari itu dirinya diberi kesempatan untuk mengubah nasib. Memberikan dirinya pengalaman yang sangat berharga. Membukakan salah satu pintu kesuksesan untuk mengejar impiannya.

5 Januari 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar