“Kalo
gak salah, pertemuannya diadakan setiap kamis sore di Mesjid Salman, Ima datang
langsung aja ya! Saya udah lama gak datang.” ucap Ira diujung telpon.
“Mmm,
Mesjid Salman-ITB maksudnya?” tanya Ima mencari kejelasan. Ia mulai mengingat-ingat
beberapa mesjid terkemuka di kota itu.
“Abis
Mesjid Salman yang mana lagi? Tapi, bangunannya terpisah dari kompleks kampus
ITB kok, dari rumahmu naik aja Angkutan Umum jurusan Panghegar-Dipati Ukur dan
bilang pada supirnya minta turun di Salman. Udah ya! Klik…” sambungan telepon pun terputus.
Ima
nyesel jadi orang yang nggak gaul, seumur-umur belum tahu yang namanya Mesjid
Salman itu dimana, apalagi sampai singgah di sana. Ya, sama halnya dengan
Mesjid Daarut Tauhid milik da’i kondang yang pamornya lagi merosot saat ini.
Meski
Mesjid beserta pesantren tersebut telah di kenal di manca Negara, Ima masih
belum sempat menginjakkan kakinya disana. Dia hanya dapat melihatnya dengan
jelas hanya dari layar kaca. Yang dia tahu hanyalah Mesjid Raya yang letaknya
tepat di alun-alun kota. Itu pun
lantaran sering diajak Widi sahabatnya yang hobi berbelanja di mal-mal
sekitarnya.
Ah, jadi malu sendiri! ucapnya dalam
hati.
“Tapi
sekarang tahun baru, aku harus punya langkah baru. Pokoknya kamis besok, aku
harus datang! Ayo semangat!” ucapnya
menyemangati diri sendiri.
Esok
sorenya, Ima sudah berpakaian rapi. Tekadnya sudah bulat untuk datang ke
pertemuan itu. Masalah gagal tidaknya, itu urusan nanti yang penting sudah
berusaha.
“Hei…,
mau kemana, tumben rapi amat?” tanya Mba Wiri pedagang bakso di sebelah.
“Eh
Mba, mau pergi pengajian nih!”
“Ooh,
yang pinter ngajinya ya!”
Ima
hanya mengangguk. Tapi jadi geli juga sih, abisnya dia nggak tahu gimana
sebenarnya format acara yang akan diikutinya itu. Ada pengajiannya atau nggak?
Di
persimpangan dia berpapasan dengan Mba Titi yang baru pulang belanja di warung
“Eh Ima, udah kerja sekarang? Kerja dimana? Kok, berangkatnya sore gini?”
tanyanya.
Ima
hanya tersenyum simpul. Rasanya, semua pertanyaan itu tak perlu dijawab. Lagipula Ima sudah kesal
lebih dulu pada pertanyaan semacam itu. Ia pun mempercepat langkahnya menuju
jalan raya
Uuh, kenapa sih orang-orang? Setiap
kali melihat aku pergi, pasti menyangka aku sudah kerja lagi. Memangnya
gampang, nyari kerja jaman sekarang? umpatnya kesal.
“Mang,
lewat Mesjid Salman- ITB ya!” cegat Ima pada seorang sopir pengendara Angkutan
Umum dengan trayek yang disebutkan Ira tempo hari.
Pak
sopir itu pun mengangguk. Tanpa ragu lagi, Ima naik kedalam Angkutan Umum
tersebut. Berbaur bersama para penumpang lainnya, menuju tempat tujuan
masing-masing.
Belakangan
ini, bukan hanya Jakarta saja daerah yang menjadi langganan macet tapi kota
Bandung pun kini mengalami hal yang serupa. Terkadang Ima tak bisa mengerti
akan kebijakan pemerintah kota yang sengaja mengubah jalur Angkutan Umum agar
bisa menghindari kemacetan, hingga jarak yang harus ditempuh menjadi lebih jauh
dari jarak sebenarnya. Padahal di salah satu titik, kemacetan tetap saja tak
bisa dihindari.
Ima
sudah mulai merasa kepanasan, ia berharap agar segera sampai di tempat
tujuannya. Lagipula satu persatu dari penumpang itu mulai turun hanya
menyisakan ia seorang diri.
“Neng,
mau kemana?” tanya pak sopir sambil membelokkan Angkutan Umum itu menuju jalan
Ganeca.
“Kan
tadi udah bilang, mau ke Mesjid Salman-ITB!”
“Mesjid
Salman teh dimana ya?”
“Lho
mang, gimana sih? Kenapa tadi ngangguk waktu saya tanya!” umpat Ima kesal.
“Ya
eneng! Saya mah sopir, nyetir ya nyetir aja. Kalo kampus ITB mah saya tahu.
Tapi kalo Mesjid Salman mah perasaan baru denger sekarang. Ada sih mesjid besar
yang ada di depannya, tapi saya juga nggak tahu namanya. Tuuh!” terangnya sambil menunjuk sebuah mesjid megah yang letaknya
memang bersebrangan dengan kompleks ITB.
“Udahlah,
saya turun disini aja!” ucap Ima sambil melangkah menuju Mesjid tersebut.
Hhh, bener gak yah ini, Mesjid Salman?
Tapi, kalau memang salah juga gak pa pa. Sekalian numpng shalat Ashar aja,
tekadnya.
Sejuk.
Itulah kesan pertama Ima bagi Mesjid yang megah ini. Dari gerbangnya saja sudah
terlihat kalau mesjid ini tak pernah sepi dari aktifitas. Maklum saja namanya
juga masjid kampus, tentu saja bebagai kegiatan kampus yang dilaksanakan
ditempat ini. Ada orang yang berkumpul dalam berbagai kelompok di pelataran
Mesjid. Belum lagi orang yang hilir mudik datang dan pergi meninggalkannya.
Untung
saja, Ima tidak terlalu mengalami kesulitan untuk melaksanakan shalat Ashar
disana. Padahal dirinya baru pertama kali menginjakkan kaki ke tempat ini, tapi
seperti sudah terbiasa.
Selepas
shalat, Ima tertarik pada seorang gadis berwajah teduh yang duduk disebelahnya.
Dari mulutnya yang mungil mengalir lantunan Kalam Ilahi, begitu menyejukan
sanubari. Ima jadi teringat pada dirinya sendiri, yang sudah lama meninggalkan
aktifitas yang satu ini.
Hhh, mengaji…? Kapan ya terakhir kali
aku melakukannya? Rasanya sudah lama aku lewatkan, batinnya seraya menarik
nafas panjang.
“Teh,
numpang tanya?” Ima memberanikan diri untuk menyapanya.
“Kenapa?”
balasnya ramah sambil mnghentikan sementara tilawahnya.
“Apa
benar ada pertemuan penulis di tempat ini?” tanya Ima ragu.
“Ooh
anak baru ya! Saya ini salah satu anggotanya juga. Kenalkan namaku Tenny.”
“Kalo
saya Ima. Tapi teh, kenapa belum dimulai?”
“Memangnya
jam berapa sekarang?”
“Udah
jam 4.15 sore,” ucap Ima sambil melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan
tangannya.
“Sebentar
lagi,”
“Ooh,”
Tidak
lama kemudian mereka mulai berdatangan dan pertemuan rutin itu dimulai. Katanya
sebelum memulainya, mereka tak pernah lepas dari ritual rutinnya yaitu membaca
Kalam Ilahi yang dilanjutkan dengan kalam insani.
Tak
terasa waktu satu setengah jam dilalui dengan cepat. Dan pertemuan pun harus
segera berakhir, sebelum adzan Magrib berkumandang.
“Teman-teman,
kita kedatangan teman baru nih!” sela Teny
“Wah,
suruh kenalan dong!” celutuk seseorang yang berkacamata. Denger-denger sih
namanya K’Adew.
“Iya
teh, mangga..!” tambahnya lagi.
“Itu,
teteh yang berkerudung hijau…!” ujar seseorang yang berjaket merah. Dari raut
wajahnya memang agak terlihat seperti bukan orang sini.
Ima
ikut mencari sosok yang disebut tadi. Ia tak menyadari kalau perhatian semua
orang tertuju padanya, karena hanya dia satu-satunya orang yang mengenakan
kerudung hijau.
“Ima…,”
bisik Tenny
“Ooh,
saya…,” ujar Ima sembari menunjuk hidungnya
“Betul,”
balas semua kompak.
“Assalamulaikum Warahmatulahi Wabarakatu.
Perkenalkan nama saya Amira Imamura.
Panggil saja Ima, asli dari Bandung.”
“Ah
lee, kali ini ada teman dari Jepang tuh!” celutuk yang lain.
“Udah-udah…”
“Alamat…?”
“Bandung
tengah.”
“Ongkos
kesana, mahal nggak?” tanya orang yang mengenakan jaket merah itu.
“Ah
kamu tuh lee, ada-ada aja!” timpal Tenny.
“Ya,
mahal sih kalo dari Garut mah!” jawab Ima ngasal.
“Jadi,
teteh teh orang Garut? Lho, tadi katanya asli orang Bandung!” ujar K’Adew
sambil membetulkan letak kacamatanya yang agak miring.
“Teh, Bandung tengahnya di sebelah mananya
alun-alun?”
“Ya tidak jauh dari sana lah!
“Kalo
gitu rumah teteh di Menara Mesjid Raya, ya!”
“Iih..,” Ima jadi garuk-garuk kerudungnya yang gak
gatal
Semua
orang tertawa mendengar ulahnya K’Adew. Baru kali ini Ima kalah telak dari segi
ngocol hingga ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Selama
pertemuan, ima tidak terlalu memperhatikan materi yang sedang disampaikan. Ia
terlalu asyik memperhatikan keadaan sekeliling. Apalagi penampilan teman-teman
barunya yang unik. Sangat menarik perhatiannya.
Belakangan
giliran mereka yang dikenalkan Tenny. Orang berkacamata yang ngocol dan
beraksen sunda itu namanya k’Adew, katanya sih dia seorang ustadz di daerahnya.
Orang yang berjaket merah itu namanya Lian, berhubung wajahnya agak beda dari
orang kebanyakan dia ngakui sebagai penduduk negeri sakura.
Katanya
sih, dia ngefans sama warna merah. Pantas aja, segala atribut yang dikenakannya
selalu disertai warna merah. Orang yang sejak tadi diam saja namanya Wildan,
dia hanya mengenakan kaos dan sandal jepit. Ada juga sih yang lebih rapi.
Namanya M’Riki, dia berkemeja ria tapi itu pun karena dia adalah salah seorang
karyawan di Salman.
Disebelah
Tenny, ada seorang gadis bertubuh subur namun murah senyum namanya Hasna,
disebelah Hasna ada Noel yang penampilannya mirip anak laki-laki. Hanyalah
kerudung yang membalut kepalanya yang membedakan dia dengan para Ihwan. Ada
seorang Ibu dengan postur lebih besar, keliatannya sudah berkeluarga. Mereka
memanggilnya Umie. Ima sangat gembira ternyata rumah Umie itu searah dengan
rumahnya hingga mereka bisa pulang bareng!
Ima
tidak pernah menyangka bisa bertemu dengan orang-orang yang sifatnya tidak beda
jauh dengannya serta memiliki keinginan yang sama dengan dirinya. Penampilan
mereka pun sama sekali dari yang Ima perkirakan sebelumnya. Jauh lebih
sederhana hingga Ima lebih merasa nyaman
Sungguh
diluar dugaan. Ima tak melihat para ihwan mengenakan baju muslim seperti orang
kebanyakan. Para akhwatnya pun tak semua berjilbab panjang bahkan penampilannya
cenderung cuex dan sederhana diselingi canda tawa. Tapi, disatu sisi disaat
mereka sedang membahas materi, mereka juga bisa benar-benar serius.
Tak
henti-hentinya Ima mengucap syukur pada Sang Khaliq karena pada hari itu
dirinya diberi kesempatan untuk mengubah nasib. Memberikan dirinya pengalaman
yang sangat berharga. Membukakan salah satu pintu kesuksesan untuk mengejar
impiannya.
5 Januari 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar