Behind Odet dan Kebun Kentang
Sepertinya, aku harus berterima kasih pada t’Evi Indriani. Banyak sekali informasi
mengenai perkembangan naskah first novelku
yang ada di Tiga serangkai, berasal darinya.
Di suatu siang menjelang sore, dia kembali mengirimiku sebuah
sms.
“Hai teman sebangku, naskah kita berdua, akhirnya bisa lolos
juga!”
“Lolos apa? kan emang udah lolos seleksi kedua dan dilanjut
hingga bab akhir. Pengumumannya seminggu lagi, kan?”
“Bukan… naskah kita lolos seleksi kedua dan akan diterbitkan.”
“Benarkah?” tanyaku lagi seakan tak percaya.
“Iya, infonya ada di facebook. Katanya sih, pemberitahuan
resminya melalui via email.”
“Ooh, saya memang belum sempat membuka email dari kemarin.
Makasih infonya ya!”
Tanpa membuang waktu, aku buru-buru menyalakan komputer. Lalu
membuka akun email milikku. Ternyata benar, m’Windri sudah mengirimiku email kemarin, pukul 2.00 dini hari..
Dalam email tersebut menyebutkan bahwa naskah “Odet dan
Ranting Ajaib” akan diterbitkan oleh tiga ananda. Salah satu lini penerbitan
buku-buku anak di Tiga Serangkai.
Tak cukup sampai di situ, karena menurut rencana First Novel
ini akan diterbitkan secara berseri, dimana tiap seri akan terdiri dari dua
judul. Jadi, m’Windri memintaku untuk membuat kisah lanjutan dari Odet.
Aku mengangguk-angguk sendiri. Kemudian, aku melanjutkan
membaca email. Ternyata ada biodata yang harus kuisi. Aku pun langsung
mengisinya dengan semangat. Tapi, tiba-tiba saja mataku tertegun melihat
deretan terakhirnya.
NPWP…
“Waduh, aku kan belum punya NPWP?”
Tanpa membuang waktu, aku buru-buru mengirim sms kembali pada
t’Evi
“Harus pake NPWP ya? Saya belum punya NPWP eng!”
“Alhamdulillah, saya udah punya!” jawabnya.
“Eh bikin aja, cara pembuatannya gampang ko.”
“Ya tapi… sekarang kan udah jum’at sore. Paling tidak, saya
harus menunggu hingga senin pagi. Betul tidak?”
“Iya juga sih!”
Aku kembali diam. Sebenarnya bukan masalah NPWP yang
membuatku bingung. Tapi, bagaimana kisah Odet selanjutnya? Meski ada sedikit kelonggaran dengan deadline,
dua bulan dari sekarang, tapi tetap saja ideku masih benar-benar kosong.
****
Meski sudah dua bulan, kantor diliburkan. Aku bersikukuh bertahan
di kostan. Ingin tetap fokus menyelesaikan kisah Odet selanjutnya, menjadi
alasan. Karena, kupikir keadaan di kostan, jauh lebih kondisif daripada di
rumah.
Semoga, masih ada sedikit harapan yang tersimpan. Kau tahu,
aku tak ingin pulang dengan alasan apapun. Aku ingin buktikan, bahwa aku
sanggup dan mampu bertahan di tempat ini.
Namun, bertahan hidup di tempat asing tanpa penghasilan
sedikitpun, bukanlah perkara gampang. Rasanya tak mungkin, bila hanya
mengandalkan uang tabungan yang seadanya. Mau tak mau, aku terpaksa harus meminjam
ke sana sini untuk bertahan hidup.
Tak apalah, yang penting aku bisa belajar mandiri. Andai
saja, honor itu bisa segera turun secepatnya. Pasti akan segera kututup semua
utangku. Ah, kenapa aku seperti tidak ikhlas dalam menulis naskah ini?
Belum apa-apa, aku sudah mengandalkan honor, yang belum jelas
berapa dan kapan turunnya. Maaf, tapi aku benar-benar membutuhkannya saat ini.
Ya Allah, kuharap ada
keajaiban
Akan tetapi, apa yang kita inginkan, belum tentu sesuai dengan kenyataan. Dan semua rencana yang sudah kususun sedemikian rupa itu harus pupus di tengah jalan. Aku mendapat kabar, kalau ibuku sedang sakit di rumah.
Akan tetapi, apa yang kita inginkan, belum tentu sesuai dengan kenyataan. Dan semua rencana yang sudah kususun sedemikian rupa itu harus pupus di tengah jalan. Aku mendapat kabar, kalau ibuku sedang sakit di rumah.
Tanpa harus berpikir ulang, aku langsung buru-buru pulang.
Lalu, kembali tinggal di rumah untuk beberapa waktu lamanya. Tanpa peduli uang
kostan yang baru saja kubayar, meski dari hasil pinjaman ke orang.
Yang ada dalam pikiranku hanya satu, ibu segera pulih dan aku
kembali ke kostan. Namun, meski sudah hampir dua bulan berjalan, penyakit ibu
tak kunjung sembuh. Sementara deadline kisah Odet yang kedua semakin dekat.
Menjadi kutu loncat, sudah menjadi kegiatan sehari-hari.
Mulai dari mengurus ibu yang masih sakit, kembali ke naskah, lalu mengurus
rumah. Kemudian kembali ke naskah lagi. Saat itu, benar-benar menguras energi
Hanya satu hal yang aku sayangkan, aku sulit sekali untuk
fokus. Mungkin karena pikiranku yang bercabang-cabang atau karena kelelahan.
Naskah memang sedang aku kerjakan, tapi sepertinya melenceng kemana-mana.
Ah, Ya Allah… Aku harus
bagaimana?? T_T
Aku jadi teringat pada sebuah pepatah, “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan…”
Aku berusaha untuk tetap fokus. Berusaha, untuk tetap menulis
selama aku mampu. Seperti ucapan bunda
Ary Nilandary. Jika kau hanya mampu menulis selama lima menit, menulislah.
Jika kau hanya mampu menulis selama setengah jam, tetap menulislah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar