Selasa, 29 Maret 2011

The Koster part 2

"Kau harus tahu, kalau hidupmu bukan untuk dirimu sendiri..."

Aku memang seorang perempuan dan belum menikah. Meski demikian, aku bisa merasakan bagaimana beratnya perjuangan seorang ibu. Lima belas tahun, bukanlah waktu yang sebentar. Selama itu pula, aku harus mengecek kembali perasaanku yang sebenarnya. Benar-benar tulus, ataukah hanya terpaksa?
Kalau boleh jujur, aku tidak ingin berada dalam posisi ini. Membesarkan seorang anak lelaki yang usianya hampir menginjak remaja. Biarpun kedua orang tuanya masih ada tapi seolah dia tidak punya siapa-siapa. Terlalu kejam rasanya bila aku menyebutnya, seperti seorang anak yang terbuang. Tapi, itulah kenyataannya. 
Sungguh aku tak punya pengalaman sedikitpun dalam hal pengasuhan anak. Namum, ketika semua ini terjadi dihadapanku, bagaimana aku bisa tinggal diam dan tidak peduli? Tentu saja, aku tak bisa mengandalkan ayah dan ibuku yang telah renta. Mau tak mau, aku ikut  sibuk mendidik serta berusaha mencukupi segala kebutuhannya.
Di satu sisi, aku memang sadar kalau semua ini adalah salah satu episode kehidupan yang harus kujalani. Tapi aku hanya manusia biasa, aku ingin mewujudkan impian dan masa depanku sendiri. Bahkan, aku sering mempertanyakan keberadaan orang tuanya, dimana letak tanggung jawab mereka?
Bukankah anak itu masih darah daging mereka, tapi kenapa tidak ada rasa peduli sedikitpun. Sementara itu, aku harus mengorbankan segala-galanya, mulai dari harta, tenaga  serta masa muda demi anak itu. Semua sirna demi suatu hal yang seharusnya tak perlu aku perjuangkan.
Setelah sekian lama aku berjuang, bukanlah titik terang yang aku temui. Melainkan batu cadas yang bukan hanya membuatku terbentur. Bahkan nyaris terpental. Anak itu putus sekolah. Bukan aku tidak kasihan padanya. Dengan penghasilanku yang seadanya, rasanya tak cukup membagi antara kebutuhan hidup serta biaya sekolahnya. Ampunkan aku, Tuhanku...
Biar demikian, aku terus berusaha memompa semangatnya. Meski putus sekolah, kuharap dia tidak minder apalagi sampai putus asa. Sedapat mungkin, aku menekankan padanya agar dia memiliki kemampuan yang lebih daripada orang lain yang bersekolah.
Jaman sekarang, ijazah tak bisa menjamin seseorang untuk maju. Namun keahlian dan kerja keraslah yang bisa membuatnya bertahan. Meski tidak bersekolah, aku tetap mengingatkan kalau budi pekerti yang utama. Aku selalu menyarankan agar dia bisa bersikap santun pada siapa saja. Bukankah prilaku santun tak pernah diajarkan di sekolah ??
Akan tetapi, belakangan ini aku sering termenung sendiri. Apa yang akan terjadi pada diriku ini dua atau tiga tahun mendatang? Bagaimana bila saat itu aku masih tetap sendiri? Ah, semoga saja ketakutanku ini tidak pernah terbukti. Hanya satu hal yang menguatkanku, bahwa tak ada hal yang sia-sia dalam pandangan- NYA. Semoga semua ini menjadi amal shaleh yang akan menolongku di akhirat kelak... Semoga...
Aku sadar, biarpun selama ini dia berada dalam pengasuhanku. Tapi, dia bukan darah dagingku. Sehingga aku tak bisa memaksanya untuk tetap berada di sampingku. Cepat atau lambat, dia pasti akan kembali kepada orang tuanya. Meski semua itu pastinya akan sangat menyakitkan untukku. Sungguh, aku tak pernah meminta apapun darinya. Aku hanya ingin dia menjadi orang baik yang berguna...

Bandung, 12012012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar