Senin, 20 Juni 2011

Penyesalan Tini

Semenjak mimih pergi menjadi TKW, Watini terpaksa tinggal bersama kakeknya di kampung. Ayahnya sudah lama meninggal, saat dia masih bayi. Watini sendiri, tak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya.
Terkadang, Tini berharap seandainya waktu bisa diputar mundur. Meski mimih hanya menjadi buruh cuci dan tinggal di petak kardus di pinggiran sungai, tapi setidaknya mereka selalu bersama. Mimih selalu ada untuk Tini, kapan pun dia memerlukannya.
Kini, Tini tak pernah tahu kabar Mimih disana. Kerinduannya harus terhalang oleh jarak yang begitu jauh. Tak hanya itu, Tini juga kangen dengan teman-temannya sesama pengamen jalanan. Ingatannya jadi melayang ke masa silam, saat mereka harus bersimbah peluh karena sama – sama dikejar kamtib.
Ah, bagaimana nasib mereka saat ini, ya!
Sungguh berbeda dengan kehidupan yang dia jalani saat ini. Meski sudah hampir setahun, tak ada hal lain yang berarti selain sekolah. Setiap kali membuka mata, semua masih tampak sama seperti ketika pertama kali Tini menginjakkan kaki di tempat ini.
Tak ada yang istimewa. Apa yang dilihat dan didengarnya hanya hanya itu-itu saja. Tak pernah jauh dari kokok ayam… buka mata… mandi… dan memberi makan ayam. Kemudian dilanjutkan dengan menyapu kebun belakang, sebelum akhirnya pergi ke sekolah.
“Uuh, membosankan!” gerutunya.
“Tini! kamu ada dimana?” panggil kakek.
Suara kakek yang terdengar tiba-tiba, membuyarkan lamunannya seketika.
“Tinii!” panggil kakek sekali lagi. Kali ini, nada suaranya terdengar lebih tinggi. Kalau sudah seperti itu, berarti kakek sedang kesal.
“Aduh, gawat! Kakek pasti marah nih!” kata Tini was – was.
Namun belum sempat Tini berbalik, tubuh rentanya sudah berdiri di belakang punggungnya. Kontan, Tini terperanjat hingga beras dan dedak yang ada di nampan tumpah dan tercecer di depan kandang ayam.
“I.. Iya, kek!” jawab Tini tergagap.
“Ya ampun, tumpah lagi?” seru kakek. Matanya semakin melotot, kacamatanya hampir saja loncat dari batang hidungnya.
“Maaf.. Tini tidak sengaja!” sesal Tini
“Lho, ko bengong! Ayo pungutin..!” hardiknya lagi.
Gara- gara kecerobohannya ini, tugas Tini menyapu halaman belakang menjadi berlipat, hampir saja dia terlambat pergi ke sekolah.
“Uuh, kakek pelit! Beras yang udah jatuh itu kan kotor, masa harus dipungut lagi?” gerutunya.


Tadi pagi, Tini benar-benar kesal. Meski sudah bercanda dengan teman-temannya di sekolah tapi perasaan kesal dihatinya masih tak kunjung hilang. Maka saat tiba di rumah, Tini buru-buru masuk kamar dan mengunci diri di dalamnya. Begitu juga waktu kakek memanggilnya tadi, Tini tidak menyahut dan pura-pura tidur.
Sementara itu, di kebun belakang anak-anak sudah berkumpul. Di pekan terakhir setiap bulannya, kakek sengaja mengumpulkan anak-anak untuk mendengarkan dongengnya. Kebiasaan seperti itu sudah ada, jauh sebelum Tini datang ke tempat itu.
“Kek, hari ini mau mendongeng apa?” tanya Udin
“Terserah kalian! Kakek punya banyak dongeng kok,”
“Horee…,” seru anak- anak bersok sambil bertepuk tangan
“Gimana kakek saja, yang penting ceritanya bagus.” celutuk Reni.
“Baiklah, tapi kalian harus duduk tenang mendengarnya. Jika tidak, kakek tidak mau meneruskan ceritanya.”
“Siaap…,” seru anak-anak kompak.
Kemudian kakek Iskandar pun memulai ceritanya, “Suatu waktu, di sebuah negeri mengalami musim paceklik berkepanjangan. Putri sangat sedih melihat rakyatnya kelaparan. Lalu putri tersebut terus berdo’a agar masa paceklik itu segera berakhir.” tutur Kakek sembari menghela nafas.
“Sayang, Tuhan belum juga mengabulkan do’anya. Namun putri tak mau cepat menyerah, dia terus saja berdo’a putri hingga kelelahan dan akhirnya tertidur. Ternyata putri tak pernah bangun dari tidurnya. Rakyat sangat sedih mendengar berita kematian putri”
Sementara itu Dari dalam kamar, Tini ikut menyimak diam-diam. Meski telinganya sudah ditutup bantal namun suara kakek masih juga terdengar. Sebenarnya, Tini paling suka dongeng. Dulu, mimih sering mendongeng untuknya. Dia tak pernah menyangka kalau bakat mendongeng mimih miliki itu ternyata diwariskan dari kakek.
Tini merasa sangat menyesal. Kali ini dia merutuk dirinya sendiri. Kenapa tadi pagi dia harus marah-marah. Ujung-ujungnya, dia sendiri yang rugi, tidak bisa mendengarkan dongeng kakek dari dekat bersama teman-teman barunya. Coba kalau tidak begini, Tini pasti sudah berada diantara mereka dan duduk paling depan.
“Waah, kasihan putri itu ya!” celutuk Udin.
“Pst… jangan berisik! Dengar dulu, lanjutan ceritanya,” timpal Reni.
Kakek Iskandar diam, menunggu anak-anak tenang. Setelah itu, barulah dia mulai melanjutkan ceritanya, “Tak lama berselang, sejenis rumput yang tak biasa tumbuh di atas pusara sang putri. Hingga satu waktu, sepasang kakek nenek pencari kayu bakar menemukannya. Keindahan rumput itu, menarik perhatian keduanya. Maka mereka memutuskan untuk memelihara dan membawanya pulang.”
“Keduanya terus merawatnya dengan sabar dan tekun. lambat laun, rumput yang berwarna kehijauan itu mulai menguning. Tiap batangnya terdiri dari beberapa bulir yang makin lama semakin merunduk.”
“Kakek dan nenek itu begitu penasaran melihat bulir yang makin menggembung setiap hari. Lalu, mereka mulai mencicipinya lebih dulu. Ternyata isinya putih, kecil dan semu manis rasanya. Karena keras, si nenek memasaknya hingga matang. Ternyata rasanya lebih enak kalau matang.”
“Kemudian, keduanya segera memberitahukan rumput tersebut kepada para penduduk. Mereka pun berduyun duyun mengikuti saran keduanya. Sejak saat itu, penduduk negeri tak pernah kelaparan lagi. Mereka juga mengganggap kalo tumbuhan padi itu merupakan penjelmaan dari putri tadi.”
“Kek, tumbuhan itu masih ada disekitar kita?” sela Udin
“Tentu saja. Tumbuhan itu masih tumbuh subur hingga kini.”
“Jadi penasaran, tanaman apa, ya?” kata Udin
Kakek hanya tersenyum sambil membuka peci miliknya lalu mengenakannya kembali.
“Ayo, kalian tebak sendiri!” pancing kakek.
Anak-anak berlomba untuk berpikir, termasuk juga Reni. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling kebun, hingga matanya tertuju ke sisi kanan kebun, tempat dimana kakek mengandangkan semua ayam-ayamnya.
“Kecil… keras… berwarna putih! Ko seperti beras ya?” celutuk Reni
“Tepat!”
“Benarkah? Padahal Reni hanya mengira-ngira saja lho!” ucapnya bangga.
“Kek, boleh tanya nggak?”
Kakek mengangguk mengiyakan.
“Kenapa sih, adit suka dimarahin kalo makan gak dihabisin?”
Entah kenapa, pertanyaan Adit kali ini seperti yang menyentil hati Titi. Jantung Titi mulai berdegup tak teratur. Ada perasaan bersalah mulai mengalir di tubuhnya.
“Deg.. ko, pertanyaannya kayak yang nyindir aku sih?” bathinnya.
“Kalo makanannya gak dihabisin nanti putri tadi bakal menangis?” celutuk Udin.
“Bukan begitu, semua itu hanyalah cerita. Sebenarnya kisah tadi tak pernah ada. Tumbuhan padi telah Allah ciptakan, untuk memenuhi kebutuhan makan manusia.” Kakek menjelaskan.
“Lalu, kenapa kita tak boleh membuang-buang makanan?” tanya Adit lagi.
“Karena membuang-buang makanan itu adalah tindakan mubazir yang dilarang oleh agama.” jelas kakek lagi
Watini merasa menyesal, telah berburuk sangka pada kakek. Hanya berselang menit, Titi sudah berlari meninggalkan kamarnya dan buru-buru menghampiri kakek dengan mata yang masih basah.
“Kek, maafkan Tini, ya!” ucap Tini sambil memeluk kakek.
Kakek tersenyum lega, karena cucu kesayangannya sudah menyadari kekeliruannya. Sedangkan beberapa pasang mata yang ada di sana terheran-heran melihatnya. Kenapa dongengnya berakhir seperti ini??


Bandung, 7 Juni 2011

1 komentar:

  1. Best No Deposit Bonus Codes in India - Herzamanindir.com
    5 steps1.Visit the official website of No Deposit https://febcasino.com/review/merit-casino/ India.
    Benefits of using febcasino.com a no deposit goyangfc.com bonus.
    Benefits of using a no deposit bonus.
    Benefits of using a no deposit bonus.
    Online https://octcasino.com/ Sincere Accessory 바카라 domain www.online-bookmakers.info

    BalasHapus