Senin, 20 September 2010

Mengail Ketulusan

Kata orang, janji itu adalah utang. Janji diantara kita bertiga, aku, kamu dan DIA. Biarlah hanya kita saja yang tahu, tak perlu melibatkan orang lain. Biarpun janji itu akan selalu menjadi mimpi buruk yang akan melukai perasaanku. Tapi janji tetaplah janji, sebuah utang yang harus kupenuhi.

Kalau boleh jujur, ada perih yang menyelinap dihati saat kabar itu sampai kepadaku. Padahal aku tak pernah tahu, dimanakah tempatmu dalam hati ini. Kamu bukanlah sekadar teman biasa. Namun bukan pula seorang sahabat, seperti sebagian dari mereka yang menganggapku seperti itu. Yang aku tahu, kepedulian dan kesetiaanmu sudah tak diragukan lagi.

Kaulah yang telah mengajarkanku tentang kesederhanaan. Kau selalu menganjurkanku untuk menjadi diri sendiri, tanpa harus meniru orang lain. Kau juga yang mengajarkan akan sebuah ketulusan, tanpa harus peduli apa kata orang, tanpa harus mempermasalahkan bagaimana komentar orang.

Rasanya aku belum siap menerima kenyataan. Biarpun, aku masih bersyukur sebab kau sendiri yang menyampaikan kabar bahagia ini. Tapi yaa… mau gimana lagi? Bukankan Allah telah mengatur semua yang terjadi. DIA telah memberikan pilihan terbaik untuk kita. Karena kita tak pernah tahu, apa yang terbaik untuk kita kelak.

Bukan, bukan maksudku untuk cemburu kepadanya. Bukankah sejak awal kebersamaan ini, kita sudah sepakat untuk saling mengingatkan ketika ada yang bertindak keliru, saling menguatkan ketika ada yang terpuruk, saling menghibur ketika ada yang bersedih. Aku hanya butuh waktu untuk menerima takdir, bahwa kebersamaan itu telah berakhir. Sekarang, kau takkan pernah ada disisiku lagi. Kau takkan pernah membuatku tersenyum ceria lagi. Dan kau takkan pernah bisa hadir saat aku membutuhkanmu lagi. Andai kau tahu, mengantarkanmu pada bidadari hati adalah janji terberat yang harus aku penuhi. Bukannya aku takut kehilanganmu, justru yang kutakutkan seandainya aku tak bisa menepati janji itu. Sungguh, aku sendiri tak percaya ternyata aku sanggup melampaui semuanya. Akhirnya, janji tersebut terbayar tunai, Alhamdulillah. Mungkin inilah saatnya, ketika ketulusanku harus diuji. Kuharap ketulusan ini, akan menjadi hal berharga yang takkan pernah bisa terukur apalagi tergantikan oleh apapun. Biarlah episode kehidupan kali ini, menjadi kisah yang tak pernah ada tandingannya di dunia. Laksana sebuah cerita dari negeri dongeng. Hanya Allah lah yang berhak mengatur dan menilai semuanya…