Awalnya,
aku merasa cukup beruntung menjalani kehidupan yang datar-datar saja,
pengalaman yang biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa dalam
keseharian. Bahkan lebih tepatnya, kehidupan yang kujalani hanyalah
menghabiskan waktu dengan menjalani rutinitas.
Prinsip
hidupku juga nggak aneh-aneh “Jangan berani mencoba, bila tak ingin terjerumus." Namun kehidupan telah mengajarkanku begitu banyak hal. Bahwa prinsip hidupku selama ini, ternyata salah. Justru tanpa berani mencoba, kita takkan pernah punya pengalaman apa-apa.
Tak
ada istilah bolos kuliah, pulang malam, nongkrong di mall, ikutan demo
ke sana sini, serta seabrek kegiatan lainnya mampir dalam kamusku.
Padahal, sederet kegiatan tersebut tak pernah absen dalam buku agenda
teman-teman.
Suatu
hari ada salah seorang teman nyelutuk “Hidup lu, garing amat. Emangnya,
nyaman dengan semua ini? Gambar aja terasa gak matching kalo cuma item
putih. Masa hidup yang cuma sekali ini gak elu warnai juga?”
“Nggak,
gua bukan tukang gambar ataupun tukang lukis!” ucapku sambil melengos
pergi. Diiringi tatapan kesal darinya, karena gak bisa nerusin
ceramahnya kali ini.
Biarpun
hatiku rada berasap, jujur kuakui kalo perkataannya memang ada
benarnya. Dari bayi sampai segede gini, aku memang dibesarkan di kota
kembang tercinta. Tapi kalo ditanya dimana tukang kembang, wuih pasti
kelimpungan karena nggak tau. Hmm, dimana ya! Kata orang sih, di
seputaran Jl. Dewi sartika, sentra bunga balubur sama daerah cihideung-
lembang. Bener nggaknya, aku juga gak lebih tahu.
Dan yang paling bikin aku kelimpungan, kalau beberapa kenalan atau saudara yang tinggal diluar kota, minta diantar berkeliling kota. Tanya ini dan itu, mengenai kota kembang. Namun dari sekian banyak pertanyaan tak pernah jauh dari tempat makan, tempat belanja, tempat wisata, ataupun mesjid.
Mesjid…?
Kalau bicara mengenai rumah Allah yang satu ini, aku harus kembali
menutup wajah...alias malu. Biarpun, usiaku sudah melampaui seperempat
abad tapi pengetahuanku mengenai mesjid-mesjid yang bertebaran di kota kembang ini tak lebih baik dari anak SD.
Semua keindahan dan kemegahan yang ada, hanya dapat aku nikmati melalui media masa serta mendengar apa kata orang. Sepertinya aku harus benar-benar mengubah prinsip hidupku ini. Kalau kita selalu menutup diri dari
dunia luar selamanya. Bisa jadi, hidupku ini tak akan pernah berubah, pengalaman yang kumiliki hanya
monoton saja. Tak indah dan tak berwarna, seperti kata temanku.
Aku
jadi teringat salah satu firman Allah yang mengatakan kalau Allah tak
akan mengubah nasib suatu kaum sebelum dia mengubah nasibnya sendiri.
Jadi… aku harus mulai berubah ya… tapi harus mulai dari mana?
Hmm mungkin, aku harus memulainya dari hal yang dianggap paling penting yaitu Mesjid. Dari sekian banyak mesjid yang berdiri di kota kembang, ada satu tempat yang membuatku penasaran yaitu mesjid Salman – ITB. Kenapa?
Informasi mengenai mesjid yang satu ini agak bersimpang siur.
Biarpun dari namanya saja sudah terdengar seperti mesjid kampus. Tapi dari informasi yang bisa aku dapatkan kalau mesjid salman ini letaknya berada di luar kampus ITB. Lho kenapa bisa? Kali ini, aku harus membuktikan sendiri kebenarannya.
Pokoknya, arah angkot ke mesjid salman itu, lewat dekat rumahmu. Nanti bilang aja, minta turun di mesjid salman, katanya lagi
Biarpun dari namanya saja sudah terdengar seperti mesjid kampus. Tapi dari informasi yang bisa aku dapatkan kalau mesjid salman ini letaknya berada di luar kampus ITB. Lho kenapa bisa? Kali ini, aku harus membuktikan sendiri kebenarannya.
Pokoknya, arah angkot ke mesjid salman itu, lewat dekat rumahmu. Nanti bilang aja, minta turun di mesjid salman, katanya lagi
Berbekalkan keingintahuan dan petunjuk tak lengkap dari seorang kenalan, aku pergi mencari keberadaan Mesjid Salman tersebut. Hingga satu waktu, angkot yang kutumpangi sudah memasuki kampus ITB tanpa terasa. Ternyata hanya menyisakan aku seorang.
“Mo, kemana neng?” sapa pak supir
“Mo ke mesjid Salman, di mana ya!” akhirnya meluncur juga pertanyaan dari mulutku.
“Mesjid Salman…? Emang ada ya, saya sih gak tahu, neng!”
“Uuh, gimana sih! Tadi waktu ditanyain mesjid Salman, ngangguk,” protesku kesal. “Yaa..udah, saya turun disini aja! lanjutku lagi.
“Maaf ya neng! Bapak gak bisa bantu. Tapi kalo nggak salah ada sebuah mesjid besar di depan. Coba cari tahu di sana deh!” ucap sopir itu sembari melarikan angkotnya.
Selepas
angkot itu pergi, giliran aku yang bingung, dongkol, kesel dan juga sebel. Berjalan menyusuri jalanan yang sepi, sendirian. Diantara
pepohonan besar yang menghiasi tiap sisinya. Kalau melihat lingkaran
batangnya yang besar, pasti pepohonan untuk telah hidup lama di tempat
itu. Angin kesejukan meraih punggungku.
Ah, segarnya…! rasanya, semua perasaan tak enak ini menguap begitu saja.
Hanya
melaju beberapa langkah saja, kaki ini sudah tiba di depan gerbang
sebuah mesjid besar. Kuputuskan untuk mampir sebentar kesana sebelum
melanjutkan perjalanan.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di halamannya, suasana familiar sudah bisa kurasakan. Berbagai jenis kegiatan terlaksana di setiap sudutnya. Mulai dari pengajian, kajian, les privat hingga rapat.
Kalau
diamati lebih jeli, mesjid ini memiliki keunikan pada bagian atapnya.
Bagian atap yang bentuknya dome (kubah), menggunakan balok beton
berbentuk cekung yang berprestressed dengan dihiasi kaca patri berwarna.
Dan polesan terakhir terletak pada lapisan terluarnya, yang menggunakan
kayu sirap. Arsitektur bangunannya, benar-benar yang unik.
Semilir
angin membawa sebuah pamlet melayang ke hadapanku. Dari pamplet itu,
barulah aku sadari kalau mesjid besar di depan mataku ini ternyata
mesjid Salman yang selama ini aku cari. Inilah akhir dari pencarianku,
yang kutemukan tanpa sengaja .
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar