Aku masih ingat betul, saat itu. Kau
sudah menghubungiku, pagi-pagi sekali. Kau bilang, ada hal penting yang ingin
dibicarakan. Kau juga memintaku untuk bertemu di tempat biasa. Aku heran, tak
biasanya nada bicaramu seserius itu.
Aku sudah mencoba mencari tahu
alasannya, tapi kau masih tetap merahasiakannya. Meski demikian, aku tetap
menuruti permintaanmu. Ah, kau membuatku semakin penasaran!
Entah sudah berapa lama aku menunggumu
di tempat ini. Pagi pun sudah beranjak menuju siang, tapi sosokmu masih belum
kelihatan. Biar begitu, aku akan tetap menunggumu hingga kau datang. Aku mulai
gelisah. Ada apa sebenarnya?
Ketika hari menjelang sore, kau baru
datang. Biar begitu, kau malah sibuk menyapa sana-sini. Sepertinya, kehadiranku
tidak kau hiraukan. Aku menghela nafas. Kesal.
Tak lama berselang, adzan Ashar
berkumandang. Aku segera bangkit dan bergegas menuju ke mesjid terdekat.
“Jangan pergi dulu! Urusan kita
belum selesai!” cegatmu.
“Aku cuma mau shalat dulu,”
“Oh syukurlah, kukira kau mau pergi
ke mana?”
“Kalau begitu, kita bertemu lagi
nanti.” katamu lagi.
Usai shalat, aku menunggumu di
selasar tapi sosokmu kembali menghilang. Padahal kaki ini pun sudah mulai terasa pegal dan
kesemutan. Rasa penasaran makin memenuhi hati dan pikiranku. Ah, kemana lagi
dirimu?
Lambat laun, kau baru muncul. Itu
pun masih tetap melanjutkan sapaanmu. Aku mulai heran. Selama aku mengenalmu,
tak biasanya dirimu bertindak aneh seperti ini. Hingga akhirnya, aku sengaja
bersembunyi di balik tiang. Dengan harapan, kau akan mencariku.
Benar saja. Ketika bayanganku sudah
tidak kelihatan, kau baru menyadarinya. Tak lama berselang, kau sudah
menghampiriku dan duduk disampingku. Keadaan mesjid yang tadinya ramai, kini
mulai berangsur sepi.
“Ada apa?” tanyaku.
“Tunggu sebentar!” ucapmu sambil
menunduk.
Kami berdua sama-sama diam, dengan
pandangan kosong.
Tanpa kami sadari, keadaan mesjid
sudah benar-benar sepi. Saat itulah, kau mulai mengangkat wajah dan membuka
rahasiamu.
“Kapan kau akan kembali ke kota
hujan?” tanyamu.
Aku menggeleng, “Aku tak akan
kembali ke sana. Pekerjaanku sudah selesai.”
Kau menunduk lesu
“Memangnya kenapa?”
“Aku akan pergi mengembara ke kota
hujan."
“Tapi, kenapa harus ke kota hujan?”
“Yaa, karena kesempatan pertamaku
hadir di kota hujan. Mana mungkin aku membiarkannya begitu saja. Lagipula,
kupikir kau masih mengembara di sana. Sehingga kita bisa tetap bersama-sama
lagi nanti,” jelasmu panjang lebar.
Kini, giliranku yang menunduk sedih,
”Lalu, aku bagaimana?”
Kau menarik nafas berat,
“Sudah kuduga.” ucapmu lirih.
Aku tergugu. Tahukah kau? Kota hujan
telah menyimpan sejuta kenangan untukku. Sebuah kerinduan tersendiri yang tak
pernah bisa kuungkapkan.
****
Teman, kita tak pernah tahu rencana
Allah untuk kita. Waktu kecil, aku selalu berkhayal bisa melihat kabut di kota
hujan. Ah, siapa yang bisa menyangka kalau impianku saat itu bisa menjadi
kenyataan.
Untuk sebuah urusan, aku terdampar
di kota hujan. Kabar kepergianku yang begitu mendadak, tentu membuatmu
terhenyak. Tapi, kapan lagi aku bisa melihat kabut? Bukankah kesempatan itu tak
pernah hadir dua kali?
Sebenarnya, aku juga merasa berat
meninggalkanmu. Tapi kurasa, masa depanku bergantung pada keputusanku saat ini.
Kini mimpiku benar-benar menjadi kenyataan. Menjumpai kabut, telah menjadi
pemandangan sehari-hari.
Kau tahu, ternyata kabut itu biasa
saja, tak begitu istimewa seperti dugaanku. Justru, ada hal lain yang aku
rindukan selain kabut. Aku lebih merindukan dirimu daripada kabut. Kabut itu
dingin, tak sehangat dirimu. Kabut itu pendiam, hingga sulit bagiku untuk
mengajaknya bercanda.
Apa kau merindukanku? Aku juga. Di
sini, aku merindukanmu setiap waktu. Hanya sekedar sms ataupun telepon, rasanya tak cukup untuk mengusir kerinduanku
padamu. Ah, aku jadi ingin pulang. Aku sudah tak sabar untuk menunggu hingga
semua urusan ini tuntas
Maka ketika perjalanan ini harus
kuakhiri, ada perasaan lega menyelinap disanubari. Ingin rasanya, kujumpai
dirimu dan duduk disampingmu, seperti dulu. Menikmati rintik gerimis, di tempat
biasa. Tapi ternyata, kau sudah tak ada di sana.
Mereka bilang, kau pergi mengembara ke
kota hujan. Ah, kenapa harus ke kota hujan segala? Atau jangan-jangan, kau
berniat menyusulku ke sana. Benar begitu?
Tak bisakah kau pilih kota lain saja
yang lebih menjanjikan? Bukankah, aku baru saja meninggalkannya dengan susah
payah. Jangan biarkan aku kembali merindukan dirimu serta kabut di kota hujan.
Ingin rasanya, aku membatalkan semua
rencanamu. Tapi, sungguh egois rasanya, bila aku tetap menahanmu di sini. Aku
tahu pasti impianmu selama ini. Sesedih apapun, aku akan tetap mendukung
keputusanmu.
Sebenarnya, sudah berulang kali kita
hidup berjauhan. Aku merasa sedih, setiap kali kau pergi meninggalkanku. Tapi,
kali ini terasa ada yang beda. Rasanya, kau akan benar-benar pergi
meninggalkanku. Entahlah, kenapa tiba-tiba saja aku merasa begitu.
****
Sesedih apapun diri ini, tapi waktu
yang telah berlalu tak akan pernah bisa kembali. Tanpa dirimu, aku merasa
kehilangan pijakan. Mungkin, aku terbiasa menyimpan namamu di hati dan
pikiranku.
Satu bulan, dua bulan hingga setahun
pertama, aku lalui dengan kerinduan. Aku selalu berharap agar kau bisa cepat
kembali. Aku baru menyadari betapa berartinya dirimu, bagiku. Jika kau pulang
nanti, aku bertekad tak akan membiarkanmu pergi lagi dari sisiku.
Sayangnya, semua harapan itu harus
kukubur dalam-dalam. Belum juga genap dua tahun penantian ini. Kau telah
memilih orang lain, sebagai permaisuri hatimu. Keputusanmu yang begitu
mendadak, benar-benar melukai perasaanku.
Aku sadar, kalau diri ini tak bisa
terus mendampingimu di kota hujan. Tapi, apa kau lupa? aku juga manusia yang
bisa luka dan kecewa. Sungguh, aku
butuh waktu untuk menerima kenyataan, kalau kebersamaan kita telah berakhir.
Kini, kau takkan pernah ada di sampingku lagi. Kau takkan
pernah membuatku tersenyum ceria lagi. Dan kau takkan pernah bisa hadir saat
aku membutuhkanmu lagi. Kali ini, telah ada orang lain yang
menggantikan tempatku di sampingmu.
Orang yang lebih berhak menyayangi
dan merindukanmu daripada aku. Sedangkan aku, hanya untuk mengingatmu saja
sudah terlarang untukku. Lalu,
apa yang seharusnya aku lakukan?
Melangkah mundur dan mencoba menghapus jejak langkahku,
kalau perlu. Ataukah tetap bertahan di sini? Jujur kuakui, aku tak mampu
berpikir apapun saat ini. Aku tak sanggup memilih diantara keduanya.
Bagaimana pun, kau bukanlah sekedar
seorang kekasih bagiku. Kaulah yang telah mengajariku,
apa itu kesederhanaan. Kau pula yang selalu mendukungku untuk tetap menjadi
diri sendiri, tanpa harus meniru gaya orang lain.
Namun bukanlah dirimu, bila tidak
sanggup menyelami perasaanku. Sejauh
apapun aku melangkah, sepertinya kau selalu dapat menemukanku. Sedalam apapun
aku mengubur perasaan ini, kau pasti sanggup menggalinya.
Seperti
diriku yang tak sanggup kehilanganmu, kau pasti merasakan hal yang tak jauh
berbeda. Hingga satu waktu, kau mengirimku sebuah sms seperti ini.
“Seberapa lama kau mengenalku. Aku
takkan berubah, hanya karena statusku yang berubah.”
Tanpa
terasa, ada titik bening yang mulai membasahi pipiku. Aku sungguh terharu
membacanya. Meski sudah lama berlalu, aku masih sengaja menyimpannya.
Mungkin, nuraniku memang tak bisa dibohongi.
Aku
seperti tersadarkan, bahwa perkenalan kita bukan hanya seumur jagung. Kita
telah lama saling mengenal. Bahkan mungkin, kau lebih memahami aku daripada
diriku sendiri. Ah,
kenapa kepercayaanku cepat tergoyahkan hanya karena emosi sesaat?
Selama
ini, kesetiaan dan ketulusanmu
sudah jelas terbukti. Semua itu,
jauh lebih berharga dari semua kekayaan yang ada di dunia. Dan, tak akan pernah
bisa tergantikan oleh apapun. Mana mungkin, aku bisa melupakanmu begitu saja?
Hingga
akhirnya, kita berdua sepakat. Untuk tetap meretas persaudaraan, dengan
jalan hidup masing-masing. Hidupku juga harus terus berjalan, dengan atau tanpa
dirimu. Meski akan terasa sulit untuk mencari pengganti dirimu, tapi aku akan
tetap berusaha.
****
Kata
orang, janji itu adalah utang.
Janji
diantara aku, kamu dan DIA. Biarlah hanya kita bertiga saja yang tahu, tak
perlu melibatkan orang lain. Biarpun akan selalu menjadi mimpi buruk yang
melukai perasaan. Tapi janji tetaplah janji, sebuah utang yang harus dipenuhi.
Mengantarkanmu
pada bidadari hati adalah janji terberat yang harus aku penuhi. Sungguh di luar
dugaan, aku mampu melampauinya. Meski awalnya terasa berat tapi setelah aku
jalani, ada kelegaan tersendiri. Mungkin inilah saatnya, ketulusanku tengah
diuji.
Waktu
terus berlalu tanpa terasa. Kini, usia pernikahanmu sudah menginjak hitungan
tahun. Bahkan kini, si kecil telah hadir untuk melengkapi kebahagian kalian.
Sementara aku, masih tetap seperti ini, sama seperti dulu.
Meski
demikian, aku tak pernah memintamu untuk memenuhi janjimu itu. Biarkanlah semua
berlalu apa adanya. Tapi ternyata, kau benar-benar ingin membuktikannya. Selama
ini, kau berusaha mencarikan orang yang tepat untukku.
Orang
yang bisa kau andalkan untuk menjaga dan melindungiku selamanya. Hingga kau
akan merasa tenang, telah meninggalkanku. Kau pasti ingin mengembalikan
senyumanku yang telah lama hilang, bukan?
Sungguh,
aku sangat berterima kasih padamu. Kuharap, semua usahamu tidak sia-sia. Sekalipun
gagal, aku tak akan pernah menyalahkanmu. Hanya satu hal yang perlu kau ingat.
Bahwa sebaik apapun orang yang kau pilih itu, takkan pernah bisa menggantikan
dirimu di hatiku.
Seperti
yang pernah kau katakan sebelumnya, bahwa semua telah selesai, tak
perlu kita sesalkan. Biar
Allah yang mengatur kehidupanku selanjutnya. Biar Allah yang menentukan pilihan
terbaik untukku.
Biarkan semua ketulusan ini menjadi
harta berharga bagi kita. Biarkan semua berlalu apa adanya dan tetap menjadi
rahasia di hati kita, selamanya.
****
Jalan Braga, April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar