Senin, 09 April 2012

Biarkan Apa Adanya

“Seberapa lama kau mengenalku. Aku takkan berubah, hanya karena statusku yang berubah.”

Hingga kini, pesan singkat itu masih sengaja kusimpan di inbox ponselku. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, aku masih terharu jika tak sengaja membacanya. Ah semoga kau benar-benar tulus mengatakannya. Bukan lantaran tak ingin membuatku terluka.
Sejak dulu, kau memang tak pernah tahan melihatku bersedih. Kau selalu berusaha  untuk membuatku tersenyum kembali. Tapi tidak untuk kali ini, keputusanmu yang begitu mendadak, tetap saja membuatku bersedih.
Kau tau, kau adalah orang yang paling berarti dalam hidupku. Aku juga tahu, kau akan pergi meninggalkanku cepat atau lambat. Tapi sungguh, aku tak pernah menyangka kau akan pergi secepat ini. Salahkah aku, bila tak  mampu membendung air mata yang telah jatuh lebih dulu?
Jangan pergi, tetap tinggallah di sini bersamaku!
Ingin rasanya aku mengatakannya saat itu, sayang lidah ini terasa kelu. Tak ada sedikitpun alasan untuk menahanmu di sini. Aku tahu betul, seperti apa impianmu selama ini. Aku akan selalu mendukung apapun keputusanmu, meski harus melukai perasaanku.
Sekalipun engkau akan memilih orang lain selain diriku. Itu adalah konsekuensi yang harus aku terima dalam kebersamaan kita. Siapa sangka, kalau hal ini akan menjadi kenyataan. Sungguh aku tidak mampu berpikir apapun. Lambat laun, tangisku pecah juga.
Bagiku, kau jauh lebih berharga daripada kekasihku. Selama ini, ketulusanmu sudah jelas terbukti. Ketulusanmu, tak akan pernah bisa tergantikan oleh apapun. Kurasa, semua telah berakhir sampai disini. 
Kini, telah ada orang lain yang menggantikan tempatku di sisimu. Orang yang lebih berhak menyayangi dan merindukanmu daripada aku. Tapi kau adalah kau, dengan semua keunikan yang ada dalam dirimu.
Jujur kuakui, kalau aku memang sengaja menghindar di awal usia pernikahanmu. Alasannya? Karena aku tak ingin menjadi pihak ketiga diantara kalian. Tapi, kau tak ingin kehilanganku begitu saja, bukan?
Hingga akhirnya, kau mengirimiku sebuah pesan singkat seperti itu. Kau juga pasti tak ingin, ukhuwah yang telah susah payah kita retas bersama bisa hancur seketika. Hanya karena keegoan yang hadir sesaat.
Kurasa, itulah pilihan terbaik untuk kita. Tetap meretas tali ukhuwah, dengan jalan hidup kita masing-masing. Bagaimana pun, nurani takkan pernah bisa dibohogi. Allah Maha Tahu, apa yang tampak dan tersembunyi.
****

Hari ini. Masih di sudut yang sama, aku masih menanti orang yang sama. Lama sudah,  aku menunggumu. Kaki ini pun, sudah terasa pegal dan kesemutan. Meski demikian, aku takkan beranjak pulang hingga kau datang.
Rasanya, baru kemarin kau pamit. Tapi ternyata, sudah hampir tiga tahun kau pergi. Kau memang tak pernah berjanji untuk kembali. Karena aku, tak pernah memintamu untuk mengatakannya.
Meski sudah lama berlalu, kejadian tersebut masih tetap terbayang di pelupuk mata. Sore itu, usai gerhana matahari, kita duduk bersama merangkai cita-cita. Kau tahu, sebenarnya aku berharap ada kalimat lain akan meluncur dari mulutmu.
Sayangnya tidak. Kupikir, kau memang lebih bijak menyikapi hal seperti ini daripada aku. Tapi rupanya, kebenaran harus tetap terungkap. Setelah sekian lama terpendam, akhirnya aku baru tahu kalau sebenarnya kau juga mengharapkan hal yang sama.
Sungguh, aku tak pernah mengiranya sama sekali. Aku ragu kalau semua ini hanya anganku saja. Aku terlalu takut untuk kehilanganmu. Aku khawatir, suasana nyaman ini akan berubah menjadi kacau
Mungkin selama ini, aku terlalu polos untuk menyadari semua gesture yang ada. Aku baru sadar betapa berartinya dirimu, saat kau sudah tak ada di sisi. Sudahlah tak perlu kita sesalkan lagi, semua telah berakhir. Biarkan semua ketulusan ini menjadi harta berharga bagi kita. Biarkan semua berlalu apa adanya dan tetap menjadi rahasia di hati kita, selamanya.
****
Jalan Braga, April 2012