Rabu, 29 Februari 2012

Tiket Ekonomi pun, Tak Apalah


Masih lekat dalam ingatan, saat itu aku tengah membuka jejaring sosial facebook. Sekilas, aku melihat promosi workshop First Novel gratis di Salamadani. Sayang, aku tidak begitu begitu tertarik.
Alasanku sederhana saja. Selama ini aku masih belum bisa membuat cerpen yang bagus, satupun. Lalu, untuk apa ikut workshop novel segala? Hingga akhirnya, workshop tersebut, berlalu begitu saja.
Tak lama kemudian, acara yang sama kembali diadakan oleh penyelenggara yang berbeda. Kali ini, Tiga Serangkai yang mengadakan workshop First Novel gratis. Tak tanggung-tanggung, mereka mengadakan seleksi ketat di empat kota yakni Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta.
Siapapun yang ingin ikut workshop diharuskan mengirim sinopsis atau outline cerita untuk diseleksi. Kalau naskahnya bisa lolos, maka dia berhak ikut workshop. Jadi, tidak menutup kemungkinan bagi siapa pun yang berada di kota lain untuk berpartisipasi.
Bukan hanya itu, naskah peserta workshop juga mendapat kesempatan diterbitkan di bawah bendera Tiga Ananda. Salah satu lini penerbitan buku anak di Tiga Serangkai.
Meski demikian, aku masih tetap acuh tak acuh. Padahal Bandung menjadi kota pertama seleksi dan pabers lain yang ada di luar bandung, tengah sibuk mempersiapkan diri agar bisa lolos seleksi.
Beberapa bulan berselang, buku-buku first novel hasil workshop Bandung sudah mulai launcing. Semenjak saat itu, First novel mulai ramai dibicarakan orang. Rasa sesal mulai terasa saat melihatnya.
Andai saja aku ikut mengirim sinopsis juga, mungkin kenyataannya akan berbeda. Setidaknya, aku masih bisa ikut berharap siapa tahu ada keajaiban, lolos seleksi. Semenjak saat itu, aku bertekad untuk tidak melewatkan kesempatan berikutnya.
Maka, ketika seleksi kedua mulai diumumkan, aku langsung mengirim sebuah sinopsis.  Sebenarnya, aku juga tidak begitu yakin kalau naskah milikku ini bisa ikut bersaing dengan yang lain. Masalah lolos atau tidak, urusan nanti. Yang penting sudah berusaha ^_^
Selepas itu, aku tetap menjalankan aktifitas seperti biasa. Bukan lantaran, tidak ikut menunggu pengumuman. Tapi, karena masih tak yakin dengan kemampuan sendiri.
Apalagi kalau melihat buku-buku First Novel yang baru di launching itu. Hampir semua penulisnya, orang-orang yang sudah terbiasa menerbitkan buku. Sedangkan aku? Belum ada satu pun, buku yang kumiliki. Rasanya kata minder, sudah memenuhi kepalaku.
Kalau bisa lolos seleksi sekali pun, belum tentu aku bisa datang ke Yogyakarta dan ikut workshopnya. Apalagi waktu pelaksanaannya hampir berbarengan dengan acara launcing buku ‘Ketika Detak Jantungku Berhenti’.
Acara tersebut digagas oleh teman-teman di flp bandung untuk mengenang alm. Nurul F Huda. Salah seorang penggagas Forum Lingkar Pena yang baru saja menghembuskan nafas terakhirnya pada pertengahan Mei 2011.
Otomatis, konsentrasiku terfokus pada acara tersebut. Dengan waktu yang hanya berselang satu hari, rasanya mustahil bila aku tidak memilih salah satu diantaranya.
****

Beberapa minggu berselang, salah seorang teman pabers di Bandung mengirimku sebuah sms, tiba-tiba.
“Syfa, mau pergi bareng ke Yogya?” tanyanya.
“Hhh, ke Yogya?”
“Iya, ikut worshop First Novel Tiga Serangkai tea?”
“Saya lolos seleksi gitu?” tanyaku tak percaya.
“Ih gimana sih? Baca pengumumannya di facebook,” katanya lagi.
Tanpa membuang waktu, aku langsung membuka akun Facebook untuk memastikan. Ternyata benar, namaku terdaftar sebagai salah peserta workshop First Novel Tiga Serangkai di Yogyakarta. Alhamdulillah…
Akan tetapi, kebahagiaanku tidak bertahan lama. Kini, aku malah bimbang untuk memilih. Antara pergi ke Yogyakarta dan ikut workshop. Ataukah batal pergi dan tetap konsen pada launcing? Rasanya, kedua-duanya, sama pentingnya untukku.
Andai saja, semua berlangsung di Bandung, tentu aku tak akan kelimpungan seperti ini. Namun, jarak antara Bandung dan Yogyakarta itu terlalu jauh.
Apa mungkin aku bisa berada di dua kota dalam waktu yang relatif singkat? Rasanya mustahil. Tapi, kapan lagi aku memiliki kesempatan berharga seperti ini?
Ah, kenapa aku jadi serba salah begini!  
Untuk menuntaskan kepenasaran, aku sengaja jalan-jalan ke stasiun. Hanya untuk menanyakan tiket kereta tujuan Yogyakarta. Siapa tahu, ada tiket yang sesuai dengan kantongku agar aku bisa tetap pergi.   
Sayang sekali, tiket tujuan Yogyakarta untuk pemberangkatanku nanti sudah habis terjual. Kalau pun ada, harganya sangat melambung dan tak dapat aku jangkau. Kemudian, aku pun iseng menanyakan tiket kelas ekonomi dengan tujuan yang sama.
Ternyata harganya hanya Rp 24.000,- saja. Tanpa berpikir panjang, kuputuskan untuk membelinya. Masalah kembali ke Bandung, itu urusan nanti. Yang terpenting, aku bisa tiba di Yogya sabtu pagi dan ikut workshop.
Begitu tiba di rumah, aku langsung menyimpan tiket itu di tempat yang paling aman. Dengan tiket ini, apa sekiranya yang akan terjadi dengan hidupku, beberapa waktu ke depan? Hanyalah Allah yang tahu.
Hingga waktu pemberangkatan, aku masih tidak percaya dengan keputusan yang kubuat sendiri. Kau tau? Biarpun harganya tidak seberapa, tapi tiket itu sangat berarti bagiku. Ibarat sebuah kunci yang akan membuka harapan baru bagiku, untuk hidup lebih maju.
 Ketika tiba di stasiun Kiaracondong, para penumpang lain sudah banyak yang menunggu. Begitu pula dengan kereta yang aku tunggu, ternyata sudah penuh sesak oleh penumpang. Dari tujuh gerbong yang telah disediakan, empat diantaranya sudah dipenuhi rombongan dari Padalarang.
Kabarnya, setiap jumat malam kereta ekonomi jurusan timur sudah di sewa oleh rombongan. Andai saja, aku tahu akan begini jadinya. Tentu aku akan memilih pergi kamis malam dan menginap di sana semalam.
Hhh, kalian mungkin tahu sendiri seperti apa keadaan kereta ekonomi. Pelayanannya yang tidak memuaskan sangat berimbang dengan harga tiketnya yang murah. Ingin rasanya aku memutar langkah tapi sekarang, semua sudah kepalang basah.
Aku terpaksa ikut berdesak-desakan bersama penumpang lain. Lalu, mencoba mencari tempat yang senyaman mungkin, untuk menikmati perjalanan yang tidak sebentar ini. Sepertinya, kami tak peduli dengan keselamatan diri kami sendiri. Yang terpenting, kami bisa tiba ditempat tujuan. Seperti diriku ini, yang bertekad, harus tiba di Yogyakarta besok pagi.
Tak cukup sampai di situ, karena para pedagang asongan memaksa masuk ke sela-sela gerbong yang panas dan pengap untuk menjajakan dagangannya. Apa mereka tidak mengerti, kalau hanya untuk bergerakpun, para penumpang kesulitan.
Setelah terjebak dalam kondisi seperti ini selama hampir 10jam, akhirnya kereta yg aku tumpangi tiba juga di stasiun lempuyangan. Sementara waktu yang tersisa 90 hanya menit saja. karena itu, aku putuskan untuk langsung menuju tempat acara yakni hotel Grand Palace dengan taksi
Tiba di tempat acara, belum ada seorang peserta pun yang hadir di tempat acara. Saat aku hubungi mba Windri, rupanya dia bersama tim dari Tiga Serangkai masih dalam perjalanan menuju Yogyakarta.
Ah rupanya, aku kepagian. Sambil menunggu peserta lain yang datang, aku sengaja melepas lelah di lobi. Keadaan di tempat ini, sungguh berbanding terbalik dengan keadaan dalam kereta api tadi. Tak lama berselang, datanglah mba Sapto Rini, mba Yuniar Khaerani, teh Evi Indriani, teh Nia Haryanto, mba Asri Andarini dan yang lain. 
Setelah tim dari Tiga Serangkai datang, maka acara workshop itu pun segera di mulai. Beberapa orang diantara peserta, diminta mempresentasikan naskah yang ditulisnya. Aku langsung merinding mendengarnya. Bagaimana tidak, Ide mereka bener-bener unik dan fresh.Sementara ideku sendiri? rasanya terlalu klise. 
Untung saja, m’Windri masih memberi kesempatan bagi yang ingin terus melanjutkan konsep atau mau mengubahnya. Saking seru acaranya, hingga waktu berjalan tanpa terasa. Seperti rasa kantuk yang nyaris tak aku rasakan meski tak tidur semalaman. Menjelang ashar, acara workshop itu harus berakhir. 
 Sebenarnya, hati ini masih ingin berlama-lama di kota gudeg, agar bisa menikmati suasana malam di Malioboro, yang sudah melegenda. Sayangnya, aku harus segera kembali ke Bandung karena acara launcing buku yang sudah kami persiapkan akan berlangsung esok paginya. 
Akan tetapi, untuk menuntaskan kepenasaran, aku mampir dan berkeliling sebentar di pasar Beninghardjo. Hanya sekedar melihat-lihat koleksi batiknya dan membeli sedikit oleh-oleh untuk keluarga di rumah.  Setelah cukup lelah berkeliling, aku sengaja memilih naik bis menuju terminal. (Kapan lagi, naik bis di Yogyakarta, moment langka ^_^) 
Selain harganya yang murah meriah, bis yang aku maksud juga biasa melintas di depan pasar Beninghardjo. Sehingga aku tak perlu kerepotan membawa barang bawaan. Maka ketika bisnya datang, aku segera  memilih bangku terdepan, agar dapat melihat pemandangan dengan lebih leluasa.  
 Mungkin hanya itulah, satu-satunya kesempatan yang kumiliki. Melihat penduduk Yogyakarta yang baru pulang beraktifitas, dari balik jendela. Entah itu anak-anak yang baru pulang sekolah, ataupun para pekerja yang sedang mencari nafkah untuk keluarganya.
 Sebuah pemandangan yang membuat mataku benar-benar terpesona. Di sini, tak ada kemacetan. Apalagi asap kendaraan yang menyesakkan dada. Sebagian besar penduduknya, lebih senang mengayuh sepeda daripada membayar cicilan motor keluaran terbaru.

Meski hari sudah semakin sore, tapi matahari masih tetap bersinar cerah. Bis terus melaju perlahan menyusuri jalanan kota.  Secara tidak langsung, aku masih bisa menikmati suasana Yogyakarta, tepat seperti yang kuharapkan. Meski hanya sepintas, namun aku cukup merasa puas.
Di luar dugaan, ternyata bis tersebut membawaku  melintasi beberapa tempat penting yang sebenarnya ingin aku kunjungi. Sungguh, aku merasa sangat beruntung...

Rabu, 22 Februari 2012

Hal yg harus dihindari Orang Tua


REPUBLIKA.CO.ID

Memiliki dan membesarkan sang buah hati punya seni tersendiri. Apalagi, kata para pemerhati anak, tidak ada sekolah khusus untuk menjadi orang tua. Tak jarang, kita terlalu yakin mampu membesarkan buah hati dengan cara sendiri. Ternyata, tidak semudah itu. Berawal dari komunikasi sehari-hari, perkembangan anak pun bisa saja terganggu. Nah, bapak dan ibu, ada kata-kata yang sebaiknya tidak Anda lontarkan untuk buah hati tercinta.
Apa itu?

''Pergi sana! Bapak Mau Sendiri!''
Ketika Anda kerap melontarkan kata-kata ini pada anak, Suzette Haden Elgin, pendiri Ozark Center, mengatakan anak-anak akan berpikir tidak ada gunanya berbicara dengan orang tuanya karena mereka selalu diusir. ''Jika Anda terbiasa mengatakan hal-hal itu pada anak-anak sejak mereka kecil, biasanya mereka akan mengatakan hal serupa ketika dewasa.''

''Kamu Itu...''
Pelabelan pada anak adalah cara pintas untuk mengubah anak-anak. Jika seorang ibu mengatakan, ''Anak saya memang pemalu'', maka anak akan menelan begitu saja label itu tanpa bertanya apa pun. Apalagi, bila kita memberikan label buruk pada anak-anak, itulah yang akan melekat dalam benak mereka. Seumur hidup.

''Jangan Nangis''
Atau, kata-kata serupa seperti, ''Jangan cengeng'' atau ''Nangis melulu''. Padahal, untuk anak-anak yang belum dapat mengekspresikan emosi lewat kata-kata, mereka hanya dapat menyalurkannya dengan cara menangis. Adalah wajar, bila anak-anak merasa sedih atau ketakutan. ''Sebenarnya, wajar saja bila ortu ingin melindungi anak mereka dari perasaan-perasaan itu. Tapi, dengan mengatakan ''jangan'' tidak berarti anak-anak akan lebih baik. ''Ini juga akan memberikan kesan bahwa emosi mereka tidak benar, bahwa tidak baik untuk merasa takut atau sedih,'' ujar Debbie Glasser, direktur Family Support Services.
Lebih baik, katakan pada anak bahwa Anda memahami perasaan sedih yang dia alami. ''Ibu paham kamu takut dengan ombak. Ibu janji tidak akan melepaskan tanganmu lagi, Nak...''

''Kenapa kamu tidak bisa seperti saudaramu?''
''Lihat tuh, Doni rapi banget mengancing bajunya. Kok kamu tidak bisa?''
Para pakar menilai wajar orang tua membandingkan anak-anaknya. Ini akan menjadi referensi terhadap perkembangan anak-anak. Namun, tolong, jangan katakan ini di depan anak-anak. Ini karena tiap anak adalah individu yang berbeda. Mereka punya kepribadian tersendiri. Membandingkan anak dengan orang lain berarti Anda menginginkan anak Anda menjadi orang yang berbeda.

Selasa, 14 Februari 2012

Flp, Takkan Tergantikan

“Apa pun akan aku lakukan demi flp…”
Mungkin teman-teman di Bandung, pernah atau bahkan sering mendengarku mengatakan hal tersebut. Kenapa? Karena aku ingin memotivasi diri sendiri. Kuharap, satu saat nanti impian ini benar-benar menjadi kenyataan.
Aku hanyalah orang biasa yang hidup dalam lingkungan seba terbatas. Bahkan sebuah survey mengatakan kalau tempat tinggalku termasuk salah satu daerah terpadat di dunia. Aku sadar, semua tak akan berjalan mudah. Butuh kerja keras dan pengorbanan yang tidak sedikit.
Apalagi, pemahaman masyarakat di kampungku tentang profesi ini masih sangat awam. Mereka hanya mau menghargai pekerjaan seseorang yang pergi pagi, pulang sore dan akhir bulan mendapat uang.
Mereka pikir, menulis itu dianggap sebagai pekerjaan yang membuang-buang waktu. Begitu pula dengan keluargaku. Bahkan ibuku sendiri pernah bilang, “Untuk apa menulis? Tak ada hasilnya, hanya menumpuk kertas saja!”
Meski hanya sekali beliau berucap begitu, tapi efek yang diakibatkannya jauh lebih besar. Rasanya aku masih bisa terima, kalau ucapan itu meluncur dari orang lain. Akan tetapi, ini muncul dari orang yang paling aku harapkan tetap ada disampingku dan selalu membelaku.
Mendengar perkataannya, semangatku langsung turun seketika. Hingga berbulan-bulan, aku terus berpikir ulang untuk tetap bertahan atau harus berhenti sampai di sini?
Tapi, bukankah pilihan hidup ini tidaklah salah? Masa aku akan menyerah begitu saja. Aku yakin, Allah tak akan diam saja, melihat keadaanku saat ini. Semoga Allah segera menunjukkan jalan terbaik untukku.
Hingga satu waktu, aku meminjam majalah seorang sahabat. Dari salah satu cerpen yang dimuat, penulisnya berasal dari Bandung. Irawati, namanya. Kebetulan tempat tinggalnya tidak begitu jauh dari rumahku.
Kemudian, aku mencoba menghubunginya dan mengemukakan keinginanku ini lewat selembar surat. Alhamdulillah beliau membalasnya. Hingga beberapa waktu, kami masih berhubungan, dengan saling berkirim surat. Dan setelah hampir setahun berkenalan, kami baru bisa bertatap muka langsung.
Dari beliau lah, mengalir informasi mengenai pertemuan rutin Flp Bandung, setiap kamis sore di Salman-ITB. Ingin rasanya segera datang ke tempat itu. Ingin tahu, seperti apa pertemuan penulis itu. Seberapa hebatnya mereka dan segudang pertanyaan lainnya berseliweran di kepalaku.
Sayangnya, aku tidak boleh terburu-buru. Aku perlu waktu untuk menunggu situasinya tenang. Aku juga perlu mengumpulkan keberanian untuk bisa bertemu dengan orang-orang kalangan atas seperti mereka. Perasaan minder benar-benar menguasai diriku.
Akan tetapi, aku tak ingin menyerah begitu saja. Bagaimana hidupku bisa maju, bila hanya berkutat dalam lingkungan yang itu-itu saja. Maka dari itu, dengan uang seadanya dan no kontak Teny, aku memaksa datang ke sana. Aku memang telah menghubunginya, beberapa kali.
Berbekal alasan ikut pengajian, aku pamit pergi dari rumah. Biarpun, terbersit rasa bersalah dalam hati. Seandainya aku bisa memilih, tentu aku tidak ingin melakukannya. Tapi, sungguh aku tak punya cara lain.
Kamisan pertamaku, benar-benar mengubah cara pandangku. Aku kira, pertemuan Flp itu resmi dan kaku, seperti kuliah di kampus-kampus. Yang hanya sebatas bayangan saja. Karena aku tak pernah merasakan menjadi mahasiswa di kampus mana pun.
Ternyata pertemuannya terasa santai. Meski materi terus mengalir dari pembicara, namun para pesertanya merasa tidak terbebani. Apalagi buat orang baru sepertiku. Bukan hanya itu, aku juga sampai terheran-heran dengan teman-teman baru di sekelilingku. Kamisan pertamaku, benar-benar menyiapkan segudang kejutan untukku.
Ada Adew habtsa, Noel Saga dan almah. Rinrin Migristine yang berasal dari kampus yang sama yakni Sospol. Ada Lian Kagura dari Biologi, Yuni Hasna dari Sastra Inggris. Teny juga berasal dari Hukum. (= Fakultas hukum maksudku..)
Serta Hendra Vejaay katanya sudah terkenal. Padahal aku baru pertama kali mengenalnya saat itu. Ada Fely Mulyani, Umi Riani, Riki Cahya serta masih banyak lagi yang lain, yang tak bisa kusebutkan di sini. Namun yang paling mengejutkanku adalah Alin You yang berasal dari peternakan, juga Wildan Nugraha dari pertanian.
Ds. Nyampai - Cikole (Lembang)
 Masih belum hilang kekagetanku, aku juga bertemu dengan Ananda Putri yang berasal dari Psikologi, Ade Fariyani dari keperawatan serta abang Tareq Barasabha dari kedokteran. Pak dokter yang tetap istiqomah dengan sastra.
Ah ternyata, para penulis itu tak harus teman sebaya, tak harus berasal dari kalangan atas saja. Apalagi memiliki latar pendidikan sastra Indonesia. Siapa saja yang mempunyai kemauan, masih bisa bergabung di sana.
Mulanya hanya ingin mencoba sekali. Lama kelamaan, masih ingin terus datang. Segala cara telah aku upayakan agar aku bisa tetap bertahan di Flp. Dari mulai tak jujur pada orang tua, hingga membongkar semua isi tabungan.
Aku pernah sengaja berjualan makanan ringan ala kadarnya, hanya untuk mengganti ongkos angkutan umum. Bahkan aku sering berjalan kaki, jika benar-benar tak punya uang.
Namun aku tak pernah merasa terbebani oleh semua itu. Justru aku malah menikmati setiap prosesnya.
Sungguh, Allah itu sesuai dengan prasangka hamba-NYA. Setelah beberapa tahun berjalan, dengan segala pengorbanan yang telah kulakukan. Allah berkenan meluluhkan hati kedua orang tuaku. Hingga akhirnya, mereka mau menerima pilihan hidupku. Tak ada hal lain yang lebih berharga bagiku selain restu dari kedua orang tua, Alhamdulillah..
Hingga satu waktu, kang Irfan Hidayatullah hadir, aku terperangah. Bukan karena aku pengagum karya-karyanya. Namun karena wajahnya begitu familiar bagiku. Kenapa ya? Rupanya beliau adalah salah satu anggota musyid yang terkenal di kota Bandung ini. Dulu, aku sering menonton konser nasyid yang diisi oleh beliau dan rekan-rekannya.
Sungguh, aku tak menyangka kalau beliau adalah seorang penulis terkenal. Ah, betapa kupernya aku. Katanya bercita-cita ingin jadi penulis, tapi penulis yang berasal dari Bandung pun aku tidak tahu.
Tak hanya sampai di situ, Flp menghadirkan kejutan untukku. Saat itu, ketika acara silaturahmi nasional tahun 2008 lalu. Siapa sangka kalau ketua pelaksananya yakni Koko Nata menyempatkan diri untuk menyapaku.
Sebenarnya, aku sering mendengar namanya. Seorang Koko Nata dengan segala karya-karyanya. Tapi sungguh, aku tak pernah menyangka. Kalau dia adalah orang yang sama, yakni teman lamaku yang telah lama menghilang. Saat dia memutuskan pindah ke Palembang.
Bagiku, Flp tak ubahnya seperti rumah yang nyaman untuk bernaung. Tanpa disadari, sudah hampir bertahun-tahun aku masih kerasan tinggal di sini. Bisa saling berbagi dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama, adalah kebahagiaan tersendiri.
Akan tetapi, hingga menginjak tahun keenam di flp, masih belum banyak karyaku yang di muat media. Mungkin aku tidak terlalu bernafsu untuk menjadi orang sukses dan terkenal. Aku hanya ingin orang-orang di sekelilingku tahu, bahwa inilah pilihan hidupku. Aku hanya ingin membuktikan, kalau pekerjaan seperti ini pun, memang ada di sekitar kita.
Mau sedikit ataupun banyak tak ada bedanya, yang paling penting karyaku bisa bermanfaat bagi orang-orang yang membacanya. Andai suatu saat nanti aku sudah tidak ada di dunia ini lagi. Setidaknya, orang-orang tahu kalau aku pernah ada, melalui karya-karyaku yang tidak seberapa.
Meski demikian, aku menyimpan segudang kenangan yang takkan pernah habis aku ceritakan. Di flp, aku menemukan teman dan juga sahabat. Di flp, aku menemukan saudara yang tidak lahir dari rahim yang sama. Di flp pula, aku pernah menangis dan juga tertawa ketika baru menyadari betapa indahnya dunia.
Biarpun semua datang dan pergi. Ke mana pun mereka pergi, namun akan selalu ada dalam hati. Hubungan kekeluargaan flp yang sedemikian eratnya, takkan pernah tergantikan oleh apapun.
Bandung, awal 2012

Senin, 13 Februari 2012

Mengail Ketulusan


Kuakui, belakangan ini aku merasa sangat kelelahan. Terlalu berambisi untuk mengejar setiap celah kesempatan yang terekam dalam pandangan hingga melupakan kondisi fisik sendiri. Terlalu asyik berpetualang di tiga atau bahkan empat kota yang berbeda dalam kurun waktu yang sempit.
Emang sih, semua itu merupakan sebuah kesempatan langka tapi kalo ujung-ujungnya kecapen terus ngeborong macem-macem penyakit  kayak muntahber, radang tenggorokan, demam, susah makan, susah ngomong.
Ih bete!! enggak enak banget, diem...tiduran doang, gak ngapa-ngapain bawaannya pusing, liat tulisan dimana-mana sama..bulet-bulet kayak kue  bakpaw...Ah, rasanya lengkap sudah penderitaanku. Hya, pokoknya have nice a bed rest,we!
Sebenarnya, hati dan perasaanku yang lebih kacau dan gak karuan lagi. Saat teman yang paling dekat denganku pamit pergi keluar kota untuk bekerja. Biarpun aku sudah memperkirakan peristiwa itu bakal terjadi dan telah berulang untuk kedua kalinya tapi tetap saja kesedihan itu enggan beranjak pergi. Aku masih sedih kalo harus kehilangan  teman sebaik dia.
Aku tahu dia tak pergi jauh, bukankah kita masih bisa berkomunikasi via sms ataupun telepon? Dan yang paling penting pekerjaan tersebut sangat dia idamkan. Bagaimana jadinya kalau dia menolak tawaran yang begitu sempurna? Aku tahu betul impiannya. Tentunya, aku dukung keputusannya kali ini, biarpun aku sendiri merasa luka.
Aneh juga sih!...aku cukup terpukul dengan keputusan yang dibuat sendiri. Aku...suka aja temenan sama dia, abis orangnya lucu, selalu bikin aku tersenyum dan ketawa, terus enak diajak ngobrol pula. Dia juga gak pandang genre. Kan ada tuh orang yang sok jaim, bikin kita kikuk kalo mo ngomong ma tu orang.
Dan yang paling membuatku merasa kehilangan adalah ketulusannya sebagai seorang sahabat benar-benar sudah teruji. Dia tak pernah pergi dari sisiku saat sedang susah, apalagi kalau sedang senang. Dia selalu ada untuk menghiburku, membuat semua hal yang terasa berat menjadi ringan dan hilang. Jarang ada lho orang yang mau nemenin kita saat kita lagi susah!
Aku bisa bebas bercerita akan banyak hal padanya. Dan berhubung aku ini cewe yang ribet dan banyak ngomel, dia sih santai-santai aja nanggapin semua keluhanku. Paling cuma komentar dikit, kalo nggak ”hmm”, ”ohh”, atau ”sudahlah  tapi anehnya setelah itu aku bakal ngerasa ringan saja, kayak abis  bawa sekarung sampah terus dibuang ke tempat sampah. Plong..., gitu!! 
Disaat dia pamit, tentu aja aku kelabakan kayak kebakaran jenggot. Rasanya ada gempa lokal disekitar tanah tempat aku berpijak. Sepertinya, semangat hidupku menghablur entah kemana. Aku gak tahu mo ngapain, rasanya hidup ini terasa timpang. Aku berusaha mencari milikku yang hilang tapi tahu apa.
Kerjaanku cuma nangis dan bersedih! Uuh, ko aku jadi cengeng begini sih! Aneh, padahal kalo lagi patah hati biasanya aku masih bisa ketawa ketiwi tapi kehilangan sahabat seperti dia, bisa berpengaruh pada kondisi fisikku. Dan lihat saja, beberapa hari kemudian... kondisiku langsung ngedrop kayak sekarang.
Namun ada satu janji yang belum kutepati. Sebuah janji yang kali ini benar-benar menguji ketulusanku sebagai sahabatnya. Sebuah janji untuk mencarikan seseorang untuk dijadikan permaisuri hatinya. Nah itu yang berat,  padahal sendainya aku bisa menyanggupi permintaannya, tentu saja ketulusanku sudah teruji untuk menjadi sahabatnya. Apa aku bisa mewudkan kemurnian janji itu? Hya, moga aku bisa dan ikhlas...Allahu alam
Intinya, aku sadar. Mungkin umur persahabatanku dengannya hanya sampai disini. Biarpun hanya seumur jagung, tapi begitu banyak hal yang dapat kami raih disini. Dan semoga kami dapat menjalani sisa hidup ini dengan jalan hidup masing-masing. Semoga suatu hari nanti, aku bisa mendapatkan seorang pengganti yang lebih baik darinya. Semoga...

Bandung, 4 Pebruari 2009