Masih lekat dalam ingatan, saat itu aku tengah membuka
jejaring sosial facebook. Sekilas, aku melihat promosi workshop First Novel
gratis di Salamadani. Sayang, aku tidak begitu begitu tertarik.
Alasanku sederhana saja. Selama ini aku masih belum bisa
membuat cerpen yang bagus, satupun. Lalu, untuk apa ikut workshop novel segala?
Hingga akhirnya, workshop tersebut, berlalu begitu saja.
Tak lama kemudian, acara yang sama kembali diadakan oleh
penyelenggara yang berbeda. Kali ini, Tiga Serangkai yang mengadakan workshop
First Novel gratis. Tak tanggung-tanggung, mereka mengadakan seleksi ketat di
empat kota yakni Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta.
Siapapun yang ingin ikut workshop diharuskan mengirim
sinopsis atau outline cerita untuk diseleksi. Kalau naskahnya bisa lolos, maka
dia berhak ikut workshop. Jadi, tidak menutup kemungkinan bagi siapa pun yang
berada di kota lain untuk berpartisipasi.
Bukan hanya itu, naskah peserta workshop juga mendapat
kesempatan diterbitkan di bawah bendera Tiga Ananda. Salah satu lini penerbitan
buku anak di Tiga Serangkai.
Meski demikian, aku masih tetap acuh tak acuh. Padahal Bandung
menjadi kota pertama seleksi dan pabers lain yang ada di luar bandung, tengah
sibuk mempersiapkan diri agar bisa lolos seleksi.
Beberapa bulan berselang, buku-buku first novel hasil
workshop Bandung sudah mulai launcing. Semenjak saat itu, First novel mulai
ramai dibicarakan orang. Rasa sesal mulai terasa saat melihatnya.
Andai saja aku ikut mengirim sinopsis juga, mungkin
kenyataannya akan berbeda. Setidaknya, aku masih bisa ikut berharap siapa tahu
ada keajaiban, lolos seleksi. Semenjak saat itu, aku bertekad untuk tidak
melewatkan kesempatan berikutnya.
Maka, ketika seleksi kedua mulai diumumkan, aku langsung mengirim
sebuah sinopsis. Sebenarnya, aku juga
tidak begitu yakin kalau naskah milikku ini bisa ikut bersaing dengan yang
lain. Masalah lolos atau tidak, urusan nanti. Yang penting sudah berusaha ^_^
Selepas itu, aku tetap menjalankan aktifitas seperti biasa. Bukan
lantaran, tidak ikut menunggu pengumuman. Tapi, karena masih tak yakin dengan
kemampuan sendiri.
Apalagi kalau melihat buku-buku First Novel yang baru di
launching itu. Hampir semua penulisnya, orang-orang yang sudah terbiasa
menerbitkan buku. Sedangkan aku? Belum ada satu pun, buku yang kumiliki.
Rasanya kata minder, sudah memenuhi kepalaku.
Kalau bisa lolos seleksi sekali pun, belum tentu aku bisa
datang ke Yogyakarta dan ikut workshopnya. Apalagi waktu pelaksanaannya hampir
berbarengan dengan acara launcing buku ‘Ketika
Detak Jantungku Berhenti’.
Acara tersebut digagas oleh teman-teman di flp bandung untuk
mengenang alm. Nurul F Huda. Salah seorang penggagas Forum Lingkar Pena yang
baru saja menghembuskan nafas terakhirnya pada pertengahan Mei 2011.
Otomatis, konsentrasiku terfokus pada acara tersebut. Dengan
waktu yang hanya berselang satu hari, rasanya mustahil bila aku tidak memilih
salah satu diantaranya.
****
Beberapa minggu berselang, salah seorang teman pabers di
Bandung mengirimku sebuah sms, tiba-tiba.
“Syfa, mau pergi bareng ke Yogya?” tanyanya.
“Hhh, ke Yogya?”
“Iya, ikut worshop First Novel Tiga Serangkai tea?”
“Saya lolos seleksi gitu?” tanyaku tak percaya.
“Ih gimana sih? Baca pengumumannya di facebook,” katanya
lagi.
Tanpa membuang waktu, aku langsung membuka akun Facebook untuk
memastikan. Ternyata benar, namaku terdaftar sebagai salah peserta workshop
First Novel Tiga Serangkai di Yogyakarta. Alhamdulillah…
Akan tetapi, kebahagiaanku tidak bertahan lama. Kini, aku malah
bimbang untuk memilih. Antara pergi ke Yogyakarta dan ikut workshop. Ataukah batal
pergi dan tetap konsen pada launcing? Rasanya, kedua-duanya, sama pentingnya
untukku.
Andai saja, semua berlangsung di Bandung, tentu aku tak akan
kelimpungan seperti ini. Namun, jarak antara Bandung dan Yogyakarta itu terlalu
jauh.
Apa mungkin aku bisa berada di dua kota dalam waktu yang
relatif singkat? Rasanya mustahil. Tapi, kapan lagi aku memiliki kesempatan
berharga seperti ini?
Ah, kenapa aku jadi serba salah begini!
Untuk menuntaskan kepenasaran, aku sengaja jalan-jalan ke
stasiun. Hanya untuk menanyakan tiket kereta tujuan Yogyakarta. Siapa tahu, ada
tiket yang sesuai dengan kantongku agar aku bisa tetap pergi.
Sayang sekali, tiket tujuan Yogyakarta untuk pemberangkatanku
nanti sudah habis terjual. Kalau pun ada, harganya sangat melambung dan tak
dapat aku jangkau. Kemudian, aku pun iseng menanyakan tiket kelas ekonomi
dengan tujuan yang sama.
Ternyata harganya hanya Rp 24.000,- saja. Tanpa berpikir
panjang, kuputuskan untuk membelinya. Masalah kembali ke Bandung, itu urusan
nanti. Yang terpenting, aku bisa tiba di Yogya sabtu pagi dan ikut workshop.
Begitu tiba di rumah, aku langsung menyimpan tiket itu di
tempat yang paling aman. Dengan tiket ini, apa sekiranya yang akan terjadi
dengan hidupku, beberapa waktu ke depan? Hanyalah Allah yang tahu.
Hingga waktu pemberangkatan, aku masih tidak percaya dengan
keputusan yang kubuat sendiri. Kau tau? Biarpun harganya tidak seberapa, tapi
tiket itu sangat berarti bagiku. Ibarat sebuah kunci yang akan membuka harapan baru
bagiku, untuk hidup lebih maju.
Ketika tiba di stasiun Kiaracondong, para penumpang lain sudah banyak yang menunggu. Begitu pula dengan kereta yang aku tunggu, ternyata sudah penuh sesak oleh penumpang. Dari tujuh gerbong yang telah disediakan, empat diantaranya sudah dipenuhi rombongan dari Padalarang.
Ketika tiba di stasiun Kiaracondong, para penumpang lain sudah banyak yang menunggu. Begitu pula dengan kereta yang aku tunggu, ternyata sudah penuh sesak oleh penumpang. Dari tujuh gerbong yang telah disediakan, empat diantaranya sudah dipenuhi rombongan dari Padalarang.
Kabarnya, setiap jumat malam kereta
ekonomi jurusan timur sudah di sewa oleh rombongan. Andai saja, aku tahu akan begini jadinya. Tentu
aku akan memilih pergi kamis malam dan menginap di sana semalam.
Hhh, kalian mungkin tahu sendiri seperti apa keadaan kereta
ekonomi. Pelayanannya yang tidak memuaskan sangat berimbang dengan harga
tiketnya yang murah. Ingin rasanya aku memutar langkah tapi sekarang, semua sudah
kepalang basah.
Aku terpaksa ikut berdesak-desakan bersama penumpang lain. Lalu,
mencoba mencari tempat yang senyaman mungkin, untuk menikmati perjalanan yang
tidak sebentar ini. Sepertinya, kami tak peduli dengan keselamatan diri kami sendiri. Yang terpenting, kami bisa tiba ditempat tujuan. Seperti diriku ini,
yang bertekad, harus tiba di Yogyakarta besok pagi.
Tak cukup sampai di situ, karena para pedagang asongan memaksa
masuk ke sela-sela gerbong yang panas dan pengap untuk menjajakan dagangannya.
Apa mereka tidak mengerti, kalau hanya untuk bergerakpun, para penumpang
kesulitan.
Setelah terjebak dalam kondisi seperti ini selama hampir
10jam, akhirnya kereta yg aku tumpangi tiba juga di stasiun lempuyangan. Sementara
waktu yang tersisa 90 hanya menit saja. karena itu, aku putuskan untuk langsung
menuju tempat acara yakni hotel Grand Palace dengan taksi
Tiba di tempat acara, belum ada seorang peserta pun yang
hadir di tempat acara. Saat aku hubungi mba Windri, rupanya dia bersama tim
dari Tiga Serangkai masih dalam perjalanan menuju Yogyakarta.
Ah rupanya, aku kepagian. Sambil menunggu peserta lain yang
datang, aku sengaja melepas lelah di lobi. Keadaan di tempat ini, sungguh
berbanding terbalik dengan keadaan dalam kereta api tadi. Tak lama berselang,
datanglah mba Sapto Rini, mba Yuniar Khaerani, teh Evi Indriani, teh Nia Haryanto, mba Asri Andarini dan yang lain.
Setelah tim dari Tiga Serangkai datang, maka acara workshop itu
pun segera di mulai. Beberapa orang diantara peserta, diminta mempresentasikan naskah
yang ditulisnya. Aku langsung merinding mendengarnya. Bagaimana tidak, Ide
mereka bener-bener unik dan fresh.Sementara ideku sendiri? rasanya terlalu klise.
Untung saja, m’Windri masih memberi kesempatan bagi yang ingin terus melanjutkan konsep atau mau mengubahnya. Saking seru acaranya, hingga waktu berjalan tanpa terasa. Seperti rasa kantuk yang nyaris tak aku rasakan meski tak tidur semalaman. Menjelang ashar, acara workshop itu harus berakhir.
Sebenarnya, hati ini masih ingin berlama-lama di kota gudeg, agar bisa menikmati suasana malam di Malioboro, yang sudah melegenda. Sayangnya, aku harus segera kembali ke Bandung karena acara launcing buku yang sudah kami persiapkan akan berlangsung esok paginya.
Untung saja, m’Windri masih memberi kesempatan bagi yang ingin terus melanjutkan konsep atau mau mengubahnya. Saking seru acaranya, hingga waktu berjalan tanpa terasa. Seperti rasa kantuk yang nyaris tak aku rasakan meski tak tidur semalaman. Menjelang ashar, acara workshop itu harus berakhir.
Sebenarnya, hati ini masih ingin berlama-lama di kota gudeg, agar bisa menikmati suasana malam di Malioboro, yang sudah melegenda. Sayangnya, aku harus segera kembali ke Bandung karena acara launcing buku yang sudah kami persiapkan akan berlangsung esok paginya.
Akan tetapi, untuk menuntaskan kepenasaran, aku mampir dan
berkeliling sebentar di pasar Beninghardjo. Hanya sekedar melihat-lihat
koleksi batiknya dan membeli sedikit oleh-oleh untuk keluarga di rumah. Setelah cukup lelah berkeliling, aku sengaja memilih naik bis menuju terminal. (Kapan lagi, naik bis di Yogyakarta, moment langka ^_^)
Selain harganya yang murah meriah, bis yang aku maksud juga biasa melintas di depan pasar Beninghardjo. Sehingga aku tak perlu kerepotan membawa barang bawaan. Maka ketika bisnya datang, aku segera memilih bangku terdepan, agar dapat melihat pemandangan dengan lebih leluasa.
Mungkin hanya itulah, satu-satunya kesempatan yang kumiliki. Melihat penduduk Yogyakarta yang baru pulang beraktifitas, dari balik jendela. Entah itu anak-anak yang baru pulang sekolah, ataupun para pekerja yang sedang mencari nafkah untuk keluarganya.
Sebuah pemandangan yang membuat mataku benar-benar terpesona. Di sini, tak ada kemacetan. Apalagi asap kendaraan yang menyesakkan dada. Sebagian besar penduduknya, lebih senang mengayuh sepeda daripada membayar cicilan motor keluaran terbaru.
Meski hari sudah semakin sore, tapi matahari masih tetap bersinar cerah. Bis terus melaju perlahan menyusuri jalanan kota. Secara tidak langsung, aku masih bisa menikmati suasana Yogyakarta, tepat seperti yang kuharapkan. Meski hanya sepintas, namun aku cukup merasa puas.
Selain harganya yang murah meriah, bis yang aku maksud juga biasa melintas di depan pasar Beninghardjo. Sehingga aku tak perlu kerepotan membawa barang bawaan. Maka ketika bisnya datang, aku segera memilih bangku terdepan, agar dapat melihat pemandangan dengan lebih leluasa.
Mungkin hanya itulah, satu-satunya kesempatan yang kumiliki. Melihat penduduk Yogyakarta yang baru pulang beraktifitas, dari balik jendela. Entah itu anak-anak yang baru pulang sekolah, ataupun para pekerja yang sedang mencari nafkah untuk keluarganya.
Sebuah pemandangan yang membuat mataku benar-benar terpesona. Di sini, tak ada kemacetan. Apalagi asap kendaraan yang menyesakkan dada. Sebagian besar penduduknya, lebih senang mengayuh sepeda daripada membayar cicilan motor keluaran terbaru.
Meski hari sudah semakin sore, tapi matahari masih tetap bersinar cerah. Bis terus melaju perlahan menyusuri jalanan kota. Secara tidak langsung, aku masih bisa menikmati suasana Yogyakarta, tepat seperti yang kuharapkan. Meski hanya sepintas, namun aku cukup merasa puas.
Di luar dugaan, ternyata bis tersebut membawaku melintasi beberapa tempat penting yang sebenarnya ingin aku kunjungi. Sungguh, aku merasa sangat beruntung...